Melamar
Merana tiba-tiba datang
Menenteng mahar
Menghadirkan kejutan, sekaligus keterpurukan
Mentereng belagu, bermodal aroma langu
Mencumbu membabi-buta, memperkeruh tilikan
Mencemburu tiada guna, mengalah bukan pilihan
Meratap bukan jalan! Aku tiada tandingan! Aku cuma kelilipan!
Mahar tiada bandingan, yang belum tinggal perkenan!
Muka berpapasan, berparaskan kebengisan
Membenci tiada henti, bikin aku iri setengah mati!
Mati Kutu
Desir mulut tak kunjung henti
memanjat doa, menimbun luka
Kutu mengamuk dengan sesama kawan
Ombak menghantam tanpa perkenan
Empati di atas harga diri, waras di bawah yang mati
Tunggang langgang, mengais isi bumi
Mendarat di bawah bumi yang tidak lagi dijeruji
Kaki melambat,
memijak,
meresap isi hati
Kepalaku dibawa lari kutu tak tahu diri
Akal sehatku dipupuk rapi oleh pati
Kutu berjatuhan dari atas awan
Ombak menggulung, mengulum,
menenun hingga buih berlabuh
Beban yang kami pikul tak lagi jadi pukul
Aku mau pergi, sampai hilang jejak kaki
Tak banyak yang lari, karena pilu selalu menemani
Batu-batu itu kemari lagi, tanpa peduli isi budi
Merebahkan tubuh di atas bumi tidak lagi sesulit mati
Aku mempersiapkan diri, menemui pemilik tubuh ini
Di Ujung Tanduk, Menunduk
Melahap malu melihat wajahmu
Merundung nekat melirik parasmu
Gairahku ada di genggamanmu
Birahiku dijinakkan lantunan palsu
Semburat fajar di celanaku
Memijar tak tertahankan
Baka dinantikan, dijanjikan
Duniawi yang kudambakan,
dunia yang menganiaya
Rupamu kuidamkan
Romanmu selalu dipikiran
Tapi, sebentar,
berdiriku belum benar
Pucuk Dicinta Ulam Tiba
kukuku habis kukuliti
lebam di buku-buku jari tidak lagi kuindahi
pikiranku digerus rasa jeri
dingin mengelabui, sekujur tubuh terasa mati
pipiku membara, air mata tidak tersisa
hamparan melati merebak di sebelah kiri
sembari mengangkat jemari,
sisi kanan menampik gamparan
apa selanjutnya; mendabik atau menghakimi?
mau sampai kapan aku telentang di sini?
air mengalir tiada henti
membasahi kain-kain yang menyelubungi
larik mengais sisa-sisa pedih
berkelebat penantian misteri
kutemui ujung tandukku seorang diri
dini hari ini, tengkukku kelak bersemuka dengan bumi
pemberontakan______ tanggal __ bulan ______ tahun _____
kubangan anyir berwarna merah
mewarnai ibu kota
menyelimuti jalan raya
berbondong-bondong mereka berkelana
mencari celah, mewasiatkan hujah
ke sana, ke mari,
susah payah mereka bawa tubuhnya
tak pernah menuai sambutan
mereka bukan butuh perhatian
“mereka perlu menyaksikan realita!”
waktu kian berjalan mundur
ia kerap mengulur-ngulur
tanpa peduli semangat mereka kian luntur