Di Ujung Tanduk, Menunduk

Rania Alyaghina

1 min read

Melamar

Merana tiba-tiba datang

Menenteng mahar

Menghadirkan kejutan, sekaligus keterpurukan

Mentereng belagu, bermodal aroma langu

Mencumbu membabi-buta, memperkeruh tilikan

Mencemburu tiada guna, mengalah bukan pilihan

Meratap bukan jalan! Aku tiada tandingan! Aku cuma kelilipan!

Mahar tiada bandingan, yang belum tinggal perkenan!

Muka berpapasan, berparaskan kebengisan

Membenci tiada henti, bikin aku iri setengah mati!

 

Mati Kutu

Desir mulut tak kunjung henti 

memanjat doa, menimbun luka

Kutu mengamuk dengan sesama kawan

Ombak menghantam tanpa perkenan

Empati di atas harga diri, waras di bawah yang mati

Tunggang langgang, mengais isi bumi

Mendarat di bawah bumi yang tidak lagi dijeruji

Kaki melambat, 

memijak, 

meresap isi hati

Kepalaku dibawa lari kutu tak tahu diri

Akal sehatku dipupuk rapi oleh pati

Kutu berjatuhan dari atas awan

Ombak menggulung, mengulum, 

menenun hingga buih berlabuh

Beban yang kami pikul tak lagi jadi pukul

Aku mau pergi, sampai hilang jejak kaki

Tak banyak yang lari, karena pilu selalu menemani

Batu-batu itu kemari lagi, tanpa peduli isi budi

Merebahkan tubuh di atas bumi tidak lagi sesulit mati

Aku mempersiapkan diri, menemui pemilik tubuh ini

 

Di Ujung Tanduk, Menunduk

Melahap malu melihat wajahmu

Merundung nekat melirik parasmu

Gairahku ada di genggamanmu

Birahiku dijinakkan lantunan palsu

Semburat fajar di celanaku

Memijar tak tertahankan

Baka dinantikan, dijanjikan

Duniawi yang kudambakan,

dunia yang menganiaya

Rupamu kuidamkan

Romanmu selalu dipikiran

Tapi, sebentar, 

berdiriku belum benar

 

Pucuk Dicinta Ulam Tiba

kukuku habis kukuliti 

lebam di buku-buku jari tidak lagi kuindahi

pikiranku digerus rasa jeri

dingin mengelabui, sekujur tubuh terasa mati

pipiku membara, air mata tidak tersisa

hamparan melati merebak di sebelah kiri

sembari mengangkat jemari, 

sisi kanan menampik gamparan

apa selanjutnya; mendabik atau menghakimi?

mau sampai kapan aku telentang di sini?

air mengalir tiada henti

membasahi kain-kain yang menyelubungi

larik mengais sisa-sisa pedih

berkelebat penantian misteri 

kutemui ujung tandukku seorang diri

dini hari ini, tengkukku kelak bersemuka dengan bumi

 

pemberontakan______ tanggal __ bulan ______ tahun _____

kubangan anyir berwarna merah

mewarnai ibu kota

menyelimuti jalan raya

berbondong-bondong mereka berkelana

mencari celah, mewasiatkan hujah

ke sana, ke mari,

susah payah mereka bawa tubuhnya

tak pernah menuai sambutan

mereka bukan butuh perhatian

“mereka perlu menyaksikan realita!”

waktu kian berjalan mundur

ia kerap mengulur-ngulur

tanpa peduli semangat mereka kian luntur

Rania Alyaghina

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email