Ziarah
di hadapan nisanmu
yang bisu, terlafal doa
dari kitab yang mahamulia
jernih terasa
ingatan masa lalu,
ketika kasih hujanmu
mensucikan harapan
di tengah kemarau panjang
dari sudut dunia
yang pernah kau singgahi
aku melangkah terseok
tanpa tujuan, sedang
kau satu-satunya arah
yang bisa kujadikan alasan
andai kelak
tanpa sebuah isyarat
waktu tak lagi berdetak
akankah kita berjumpa
dalam dekap rahmat-Nya
atau justru aku terlempar jauh
ke hamparan gersang
di mana linang air mata
tak lagi berharga
di mana pertobatan
tak lagi punya makna
(Lampung, 2022)
–
Segala yang Bernyawa akan Merasakan Dukalara
sekuntum mawar telah
jatuh ke tanah, layu
tak tercium lagi wangimu
seekor kumbang
hinggap di tangkai menguning,
jauh di dalam benaknya berkata:
“andai kutahu kematian terasa
begitu getir, mungkin aku
memilih untuk tak terlahir.”
namun hidup terlanjur bergulir
tanpa sebuah pertanda
ke arah yang begitu rahasia
tak ada yang siap mengecap
pahit dari manis masa lalu
tak ada yang siap mengucap
ikhlas tanpa sebuah tanya
tak ada yang siap memeram
segumpal luka di dada
oleh karenanya
bagi setiap yang mati
akan selalu ada air mata
(Lampung, 2022)
–
Di Manakah Arah Pulang
tak ada mata angin
yang bisa digenggam
untuk jadi pedoman
arah pulang
aku biru
telapak kaki telah jadi tanah
kemarau, jemari merah
anyir bau darah
sesaat terlintas
inginku bertemu Musa
lalu bertanya
di manakah letak
puncak Tursina?
sesaat terlintas
inginku bertemu Isa
lalu bertanya
haruskah kutebus dosa
di bukit Golgota?
dan sekali lagi hari terpejam
aku masih sama
melangkah ke kamar mandi
membasuh bau busuk dari tubuh ini
tapi masih saja bau yang itu jua
esok pun begitu
aku masih sama
melangkah ke kamar mandi
kini dengan niatan bebersih hati
tapi masih saja ada bau yang sama
entah aku tak tahu
ada apa pada diriku
tiap kali aku ingin pulang pada-Mu
aku selalu saja dikalahkan
oleh keresahan-keresahan itu
(Lampung, 2022)
–
Di Terminal Rajabasa Hujan Jatuh Perlahan
november masih saja sama
seperti seorang anak yang ditinggal mati ibunya
dari saku langit remang cahaya pagi
seekor anak kucing berjalan sendiri
melengking suaranya, apakah ia menangis?
aku tak tahu bagaimana kucing menangis
apakah ia mengadu kepadaku
perihal orang tuanya yang entah ke mana?
aku tak tahu bahasa kucing
tetapi ia masih saja melengking
kucing hitam itu mendekat
melompat di antara air yang menggenang
sisa hujan semalam, dari warmindo
mengalun lagi november rain
apakah kau ingin bercerita
tentang kematian bapak-ibumu
yang mungkin digilas ban kendaraan itu? tanyaku
sebab aku tak tahu bahasa kucing
dan yang kupunya hanya sepotong roti
ini untukmu dan sisanya untukku
(Lampung, 2021)
–
Perihal Kepergian
apa yang bisa diceritakan
perihal kepergian
saat lampu kota tertidur
deru kendaraan perlahan mereda
kutemukan diriku tersesat
jauh di dalam lorong gelap-hati
berisi ingatan-ingatan
yang pernah jadi kebahagiaan
namun ternyata rapuh
lalu menghilang perlahan
malam-malam lewat
dari bingkai foto itu
rona wajahmu perlahan
memudar juga di ingatanku
hanya dengung nina bobo
yang masih menggema
ketika demam di tubuhku
tak kunjung mereda
engkau haru dan rindu
yang kerap kuceritakan
kepada diri sendiri
lalu diam, kemudian
di pelupuk mata
duka menetes
begitu derasnya
(Lampung, 2022)