Suara ketukan merusak lelap tidur Sanusi. Tadinya, dia mengira suara itu hanya bagian dari mimpi buruknya. Sayangnya, setelah satu menit lebih, ketukan itu belum sirna juga, menarik paksa mata Sanusi untuk terbuka.
“Siapa?” seraknya spontan. Dia mengerjapkan matanya yang masih lengket penuh kerak agar bisa membaca waktu yang tertera di jam dinding di seberangnya. Pukul tiga lebih lima belas menit, di pagi hari. Sinting!
Ketukan itu kini berubah menjadi gedoran. Lagi-lagi Sanusi bertanya siapa di sana. Tetap tak ada jawaban.
Sanusi menyeret kakinya ke pintu dan membukanya.
“Jahanam, siapa kau berani bertamu jam segini!”
Sosok di hadapannya nyaris tidak terlihat karena menyaru dengan hitamnya kegelapan malam yang belum beranjak menjadi pagi. Tubuhnya lebih tinggi dari ambang pintu. Ketika sosok itu bicara, suaranya getir seperti tanah berpasir yang diseret di bawah sol sepatu. Seketika seluruh bulu di tubuh Sanusi meremang.
“Sanusi, waktumu di dunia sudah habis,” ujar sosok itu. “Saatnya ikut saya.”
Orang lain mungkin akan pingsan. Atau lari tunggang langgang. Atau menebak dirinya cuma mengigau sebagai lanjutan dari tidur bermimpi buruk tadi.
Namun Sanusi hanya berdiri diam di situ, berkedip-kedip bodoh. Dia baru ingat, semalam dia sekarat, setelah berhasil melarikan diri dari para penagih utang yang menghajarnya.
“Oh, ya sudah,” kata Sanusi. “Sebentar, aku pakai jaket dulu.”
Sanusi mengambil jaket buluk kesayangannya yang biasa dia sampirkan di belakang pintu dan melangkah keluar. Udara yang dinginnya tidak wajar seketika menggigiti seluruh tubuhnya. Sanusi menyadari, tamunya bahkan lebih tinggi dari atap rumah bedeng yang Sanusi sewa untuk bersembunyi dari kejaran para penagih utang. Dia sanggup menghalangi cahaya bulan yang masih tersisa sedikit.
“Kau tidak takut?” tanya sosok itu, nun jauh di atas sana.
“Setidaknya kau bukan debt collector, kan?” Sanusi mengangkat bahu dan seketika berjengit. Memar-memar di tubuhnya adalah hasil karya tiga orang penagih utang yang disewa seorang rentenir kemarin. Katanya, utang Sanusi mencapai tiga belas juta, belum termasuk bunga. Sanusi yang cuma tukang parkir tentu tidak punya uang sebanyak itu. Dia bahkan tidak ingat kapan terakhir kali punya cukup uang untuk mengirimkan nafkah kepada anak istrinya di kampung.
Alhasil, para penagih utang itu, orang-orang yang berbadan seperti terbuat dari besi, menghadiahinya tinju dan tendangan di sudut gang sepi. Beruntung, tepat pada saat itu serombongan anak TK yang sedang dikawal gurunya lewat di dekat mereka. Sanusi ingat ada salah satu di antara mereka yang berteriak-teriak, membuat seluruh teman-temannya ikut semarak. Entah apa sebabnya, Sanusi tidak tahu dan tidak peduli. Yang penting, keributan bocah-bocah itu berhasil mengalihkan perhatian para penyerangnya, dan memberi kesempatan bagi Sanusi untuk kabur.
Sosok hitam menjulang itu mengangguk. Meskipun kepalanya mencapai langit dan tidak bisa Sanusi lihat, Sanusi tetap tahu bahwa dia sedang mengangguk.
“Jadi, kita akan ke atas atau ke bawah?” tanya Sanusi.
Sanusi sudah lama tidak beribadah. Sepertinya terakhir dia salat dan mengaji adalah di waktu kanak-kanaknya. Meskipun begitu, dia tentu paham konsep surga dan neraka. Konon, katanya surga ada di atas, di langit, di atas awan. Dan neraka ada di bawah tanah, jauh di pusat bumi yang panas menggelegak. Kalau kau baik semasa hidup, kau akan masuk surga. Kalau kau jahat, kau akan masuk neraka. Sanusi sebenarnya tidak ambil pusing. Hidup di dunia sudah cukup melelahkan baginya. Surga atau neraka, hanyalah tempat yang lain. Tak ada ekspektasi di kepalanya.
Sosok hitam itu tidak menjawab. Langkahnya yang panjang-panjang membuat Sanusi terengah-engah mengikutinya. Entah mengapa fajar tak kunjung tiba, padahal rasanya Sanusi sudah berjalan cukup lama. Tetapi, langit masih saja pekat. Perkampungan padat di sekelilingnya pun anehnya terlihat begitu sepi tanpa kehidupan. Biasanya ada saja satu dua orang atau motor yang lewat, entah karena baru pulang meronda, entah karena mau beranjak ke masjid di ujung jalan sebelum azan subuh.
Pelan-pelan kesadaran merayap ke benak Sanusi.
“Kita sudah nggak di bumi lagi, ya?”
Sosok itu mengangguk lagi, tidak bisa Sanusi lihat tetapi dia sadari. “Sebentar lagi kita sampai.”
Sanusi merasakan setiap pertanyaannya tersangkut di tenggorokan. Tubuhnya sudah bukan tubuhnya lagi. Kelopak matanya bahkan sudah tidak bisa dia katupkan. Di sekelilingnya hanya ada remang yang janggal. Gelap yang bukan gulita, karena dia bisa melihat ada cahaya temaram terselimutkan selaput yang mencegahnya terpancar ke mana-mana.
“Tadi kamu bertanya, kita ke atas atau ke bawah?”
Suara yang seperti pasir terinjak sol sepatu itu bergaung dalam, seperti bersumber dari kepala Sanusi sendiri.
“Tidak keduanya. Semesta tidak pernah semubazir itu. Jika waktumu sudah habis, kau akan memulai waktu yang baru. Awal yang baru. ”
Sanusi tidak paham, tetapi tentu saja tidak ada satu pun dari yang barusan dia alami yang bisa dia pahami. Anehnya, dia tidak berkeberatan.
Kemudian, cahaya itu tidak lagi terhalangi. Silaunya merobek jalan keluar dan hampir membutakan mata Sanusi.
Dia mulai menangis sekencang-kencangnya.
***
Bayi yang baru lahir itu diberi nama Jordan. Pipinya gemuk dan kulitnya seputih adonan bakpao.
Jordan tumbuh tanpa mengenal kekurangan. Apa yang dia minta, dia dapatkan dalam sekejap mata. Anak itu tidak pernah tidak ada maunya, seolah itu pembalasan dendamnya akan kehidupan yang pernah serba kekurangan di masa lalu.
Suatu hari, ketika Jordan berusia lima tahun, dia dan teman-teman sekelas di TK-nya digiring oleh gurunya ke taman kota sambil bernyanyi Potong Bebek Angsa. Jordan benci menyanyi. Namun yang paling dia benci adalah berjalan menyusuri gang-gang kotor dan becek di belakang sekolahnya, yang gurunya bersikeras perlu dilakukan agar murid-muridnya bisa mengenal lingkungan sekitar. Jordan selalu merasa mual setiap kali dia dekat-dekat lorong sempit seperti ini. Tempat ini mengingatkan dia akan suatu kenangan yang buruk, yang membuat bahunya seakan ngilu seperti bahu kakek-kakek. Jadi, dia pun memutuskan untuk berulah.
“Aduh!” teriaknya tanpa sebab. “Bu Guru! Azka tadi pukul Jordan!”
“Nggak, Bu! Jordan bohong!”
Azka mendorong Jordan. Jordan membalas sampai kawannya terjerembab.
Tidak lama, anak-anak lain ikut berteriak, menjerit, saling dorong. Beberapa mengompol. Kekacauan mereka tak sanggup sang guru tenangkan. Ajakan untuk bernyanyi Heads Shoulders Knees and Toes dibalas dengan tangisan meminta pulang ke mama.
Jordan tidak menyadari, bahwa di penghujung gang yang tadi, seorang pria berjaket buluk baru saja berhasil meloloskan diri dari tiga lelaki berbadan besar yang tadinya sedang menghajarnya, karena perhatian mereka teralihkan oleh keributan para anak TK tidak jauh dari sana.
***