Pembelajar sepanjang hayat. Spesies bumi yang tertarik dengan isu pendidikan, perempuan, dan sosial politik.

Sudahkah Kita Menjadi Muslimah Reformis?

Sindi Nur Diansyah

3 min read

“Kemajuan suatu bangsa dapat juga diukur dari kemajuan kaum perempuannya,

sebuah negara tak dapat dikatakan maju jika perempuan di negara itu tidak maju”

-B. R. Ambedkar

Mengutip dari seorang politisi dari India bernama B. R. Ambedkar, sebuah negara tidak dapat maju jika mayoritas perempuan tidak maju di ruang publik. Hal itu diperkuat dengan jumlah perempuan di setiap negara jumlahnya hampir setengah dari populasi. Tapi, apakah dengan jumlah kuantitas ini menjamin kualitas kehadiran perempuan dalam negaranya?

Sebelum menjawab pertanyaan itu mari coba kita pecah terlebih dahulu apa yang ingin saya utarakan dalam tulisan ini. Subjek dalam tulisan ini adalah Muslimah; setiap perempuan yang beragama Islam pastilah mendapat sebutan Muslimah. Sementara kalau dari asal mulanya, Muslimah adalah kata serapan dari bahasa Arab yang pengertiannya ialah perempuan yang menganut agama Islam. Kemudian reformis, mengutip KBBI reformis adalah orang yang mendukung reformasi.

Muslimah reformis menurut Musdah Mulia adalah gagasan tentang perempuan yang memiliki spiritualitas dan integritas moral, memiliki komitmen penegakan nilai-nilai kemanusian, terutama kesetaraan dan keadilan gender, memilki komitmen kebangsaan, serta kepedulian terhadap pelestarian lingkungan. Namun yang menjadi menarik sebetulnya reformasi apa yang diinginkan oleh Muslimah itu sendiri.

Reformasi yang para perempuan dan juga Muslimah inginkan adalah hilangnya budaya patriarki dalam seluruh ranah kehidupan. Berharap hilangnya konstruksi masyarakat bahwa perempuan adalah urusan domestik, yang secara tidak sadar membangun hubungan laki-laki berada pada kedudukan yang dominan, sementara perempuan dalam subordinat. Darinya ketimpangan relasi membuat perempuan terbatas dalam geraknya, baik dalam ranah privat maupun publik.

Ketimpangan relasi terjadi berabad-abad lamanya dalam dunia patriarki ini, baik secara fisik, psikologis, maupun seksual. Agama Islam hadir untuk mengangkat derajat perempuan, namun sering kali agama dianggap sebagai penghalang untuk kemajuan perempuan serta menjadi manusia seutuhnya.

Kesalahpahaman

Dalam dunia Muslim terdapat beberapa kelompok yang masih mengklaim bahwa ajaran agama tidak berubah sepanjang sejarah dan dari sana pemahaman tentang ajaran itu tidak dapat diubah sedikit pun meski kehidupan masyarakat sudah berubah. Klaim ini menghasilkan ajaran yang konservatif dan menekankan kepatuhan mutlak pada apa yang dianggap sebagai kewajiban agama. Pemahaman mutlak ini tentu menguntungkan kaum laki-laki.

Baca juga: Hukum Islam Tetap dan Berubah: Antara Syari’ah dan Fiqh

Kaum laki-laki berabad-abad lamanya merasa memiliki kuasa, dan dapat melakukan apa saja terhadap perempuan. Pemahaman semacam ini jika terus mendoktrin dari generasi ke generasi maka rantai itu tidak dapat terputus. Padahal, surga dan neraka ditentukan oleh dirinya sendiri, tidak memandang laki-laki ataupun perempuan. Islam hadir dengan mengedepankan kasih sayang, persaudaraan, dan kemaslahatan untuk semua makhluk di alam semesta.

Ada juga kesalahpahaman bahwa segala hal yang berasal dari Arab dianggap budaya dari Nabi. Padahal dalam kenyataanyaan negara-negara Islam masih melanggengkan budaya patriarki. Seperti Mesir menjadi salah satu negara yang terkenal dengan tindakan honour killing, yaitu pembunuh perempuan untuk menjaga kehormatan. Dan di Mesir juga sebanyak 80% perempuan di daerah pedesaan dipukuli suami bila menolak hubungan seks.

Belum Bebas 

Jurnal-jurnal psikologi yang membahas tentang perempuan menyatakan bahwa perempuan lebih banyak mengalami gangguan psikologis daripada laki-laki. Gangguan itu antara lain depresi, kecemasan, diet dan bobot tubuh. Clara Thompson seorang psikiater mengatakan bahwa faktor gangguan pada perempuan sebetulnya terjadi karena kuatnya budaya yang ada dalam masyarakat ketimbang faktor biologis perempuan itu sendiri. Dalam masyarakat patriarkal, gender menjadi variabel yang signifikan dalam membentuk inferioritas perempuan.

Kepada perempuan, masyarakat patriarkial tidak memberikan dukungan, dan malah melanggengkan praktik-praktik yang diskriminatif dan merendahkan. Tak heran jika variabel itu membuat harga diri dan percaya diri perempuan cenderung lebih rendah daripada laki-laki. Selain itu masyarakat juga mempercayai mitos kesempurnaan. Definisi perempuan standar ideal adalah karakter-karakter fisik dan psikologis yang di dalamnya ada sikap dan perilaku yang harus dimiliki oleh perempuan. Contoh sederhana dalam bentuk fisik adalah perempuan harus langsing dan cantik. Padahal yang paling penting adalah kesehatan mental, saat kondisi jiwa dan raga baik maka sesorang dapat berfikir jernih.

Jika setiap perempuan masih sibuk memikirkan keidealan di masyarakat, kapan akan fokus pada misi kemanusiaan? Sehingga penting bagi setiap Muslimah memiliki integritas moral. Orang yang memiliki integritas moral tidak mudah terombang-ambingkan oleh godaan. Godaan yang dimaksud sangat banyak, seperti budaya keidealan perempuan masyarakat. Bagi muslimah yang reformis, godaan seperti itu sudah bukan hal yang harus ditanggapi berlebihan. Karena ada misi kemanusiaan yang lebih ingin dikerjakan daripada mendengarkan mitos masyarakat.

Contoh paling sederhana yang dapat dilakukan oleh Muslimah reformis adalah dengan tidak menjadi bagian dari masyarakat yang mebudayakan mitos-mitos masyarakat tentang idealnya seorang perempuan. Setiap perempuan dan juga muslimah berhak hidup sesuai keinginannya sendiri tanpa ada suara-suara sumbang yang menumbangkan untuk terus hidup menebar kebermanfaatan.

Perempuan dalam Ruang Publik 

Pernah dengar kalau abad 21 adalah Abad Perempuan? Kira-kira apa maksudnya? Kalau bagi saya, istilah itu bisa dipahami bahwa perempuan di abad ini akan memilki peran dan posisi yang diperhitungkan dalam proses demokrasi di tatanan negara. Merujuk Andrea Fleschenberg, negara-negara Asia dalam beberapa tahun terakhir mulai menghadirkan sosok perempuan dalam subjek politik. Perempuan menjadi presiden, perdana menteri maupun pimpinan utama di balik kekuatan politik oposisi.

Perempuan mulai tampil dalam ranah publik dan bahkan duduk pada posisi pengambil kebijakan. Demikian juga di Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia dan salah satu negara demokrasi terbesar di dunia. Muslimah di Indonesia dalam sejarahnya telah mengambil peran dalam ruang publik di berbagai profesi.

Perempuan di Indonesia sejak dahulu adalah perempuan tangguh yang berada pada garis terdepan dalam misi kemanusian, seperti mengembangan lembaga pendidikan, lembaga kesehatan, hingga lembaga berita atau pers. Mari menjadi muslimah yang melihat fakta-fakta sejarah dan sosial yang lebih valid daripada memperdepatkan teks-teks normatif yang memiliki pandangan eksklusif. Jangan menormalisasi agama sebagai legistimasi budaya patriarki.

Selamat Hari Kartini!

Sindi Nur Diansyah
Sindi Nur Diansyah Pembelajar sepanjang hayat. Spesies bumi yang tertarik dengan isu pendidikan, perempuan, dan sosial politik.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email