Tiba-tiba air bermunculan melalui langit-langit yang belakangan kau sering tatap. Di luar gelap dan hujan belum tampak berhenti dalam waktu dekat. Petir menebalkan tanda bahwa cuaca masih begitu nyaman dengan kondisi yang ia tumpahkan ke permukaan.
Berbeda dengan saat awal-awal kau injak kota ini, gemuruh amarahmu biasanya menggelegar ketika tahu lagi-lagi kau harus menyiapkan ember dan harus mengepel air yang meluber setiap deras hujan mengguyur indekosmu yang apak itu.
Sekarang, tak acuh tergambar jelas lewat air mukamu yang kini menjorok ke arah tetes demi tetes air di genangan dekat teras. Tanganmu yang begitu kurus itu menuju asbak berbentuk pelir, wadah sampah rokok yang kau bawa dari kampung. Sialnya kau pelupa dalam beberapa hal, kau mencoba ingat siapa yang dulu memberimu buah tangan yang membuatmu tidak percaya diri karena ukurannya itu. Selongsong batang sisa isapan semalam itu tergapit di mulutmu, isi kepala mengajakmu berkilas balik.
***
Aroma nasi kuning menguar sampai ke rumah. Kau diundang untuk datang ke rumah tetangga, mewakili Ayah dan Ibu. Sebuah syukuran yang terlalu berlebihan, pikirmu. Kau menanyakan relevansinya dalam benakmu. Kau paham bahwa anak dari tetanggamu itu sukses di kota dan kau beberapa waktu lagi akan menyusulnya, berharap keberuntungan juga berpihak padamu kelak.
Dongeng-dongeng indah senantiasa diperdengarkan dari tiap-tiap rumah, betapa taraf hidup hanya bisa ditingkatkan bila meninggalkan kampung halaman dengan upah minimum yang begitu mencekik sendi-sendi kehidupan.
Kau akan ke kota penawar harapan. Istilah terakhir yang sering diucap ibumu, sebelum ia meninggalkanmu untuk mengais upah di negeri timur sana. Agaknya, kau belum sampai berumur 5 tahun saat itu.
“Kalau kuliahnya diundur dulu, gimana?” Tanya ibumu terakhir kali kau meneleponnya.
Ayahmu? Barangkali gerombolan besi yang diletakkan di bak mobil pikap secara tak sengaja merajam perutnya sepulang dari warung yang banyak menyimpan dan menghimpun angka-angka, barangkali kemaluannya diinjak-injak oleh orang-orang di rumah pelacuran dan karena batang kemaluannya urung lemas dipilihlah pisau daging sebagai penuntas amukan.
Kau kurang puas karena tidak kesampaian menjadi aktor utama untuk mengantarkan ajal menemui ayahmu, latihan menghentikan napas lawan dalam sekejap pun sia-sia belaka.
Kau berkemas, membawa apa pun yang kau anggap penting untuk dibawa. Berbekal uang bulanan ala kadarnya dari Ibu, kau ke kota yang, konon, menawarkan harapan itu.
Malam hari, entah pukul berapa, kereta yang kau pesan lepas landas. Jelas, kau mengambil kursi yang berdekatan dengan jendela. Dengan lanskap sawah yang ditelan gelap, kau mulai memikirkan restoran tempatmu bekerja.
Kau berharap segenggam keahlian yang kautimba dari SMK, bisa menjadi modal untuk mudah beradaptasi dengan alur kerja yang ditetapkan. Kau juga mulai membayangkan kos yang kau sudah sewa jauh-jauh hari. Letaknya tak jauh dari tempat kau bekerja. Dan, oksigen satu-satunya fasilitas yang diberi. Ada harga, ada rupa, pikirmu.
Setelah perjalanan 8 jam, akhirnya kau menginjak kota yang disebut-sebut menawarkan sebongkah harapan. Ketika debu-debu berkeliaran, asap-asap bertebaran, dan terik matahari menusuk tulangmu, kau tidak heran.
Kendati demikian, kau tipis-tipis berpikir adanya kontradiksi antara “harapan” yang ibumu sering ucap dengan kondisi yang kau lalui saat pertama kau menjajal kota itu.
Kau menghabiskan hari di kos, sehari sebelum tangga menuju “kesuksesan” pertama hendak kau pijak.
Hari pertama bekerja, kau diminta untuk menjadi pelayan terlebih dahulu sampai 3 bulan ke depan. Kau harus ramah kepada para konsumen, pinta sang manajer restoran.
Merekahkan senyum, menyapa, dan berkomunikasi kepada orang-orang bukan perkara sulit untukmu yang mudah menyembunyikan emosi, sebab situasi yang kelewat jahanam telah kau lalui.
Kau mulai mengamati laku dan lisan orang-orang kota itu. Para orang tua yang merayakan hari jadi pernikahannya, sepasang kekasih muda dengan kemesraan yang melingkupnya, juga tak jarang kemarahan yang justru hadir di tengah-tengah mereka. Ada pula, entah pasangan atau bukan, tapi gestur mengatakan demikian. Namun kau ragu ketika melihat kerut wajah mereka yang amat berjarak.
Keheranan yang lain yang menggaruk matamu adalah kelekatan yang diciptakan dari dua pria di ujung sana. Salah satunya tak jarang melempar senyum kepadamu. Kau mencoba untuk tak merasa aneh, karena ini kota dengan segala perbedaan dengan kampung halaman yang sedikit menyisakan harapan. Di sini, sekali lagi, konon, harapan melimpah ruah.
Kau mulai melebur dengan suasana kota yang cuacanya keji, candaan para rekan sejawat, teriakan sang kepala juru masak, hingga kemacetan yang membuatmu telat dan memaksa gajimu turun dengan tidak utuh di akhir bulan.
Untuk sementara waktu kau bisa sedikit-sedikit lupa dengan hal-hal yang kau anggap beban sebelumnya. Tetapi, sayangnya ia hanya berjalan selama 28 hari. Video singkat yang muncul dari layar gawaimu memberitakan: Seorang TKI Tewas di Tangan Majikan akibat Mencuri.
Gelap. Semua serba gelap. Persis ketika kau naik kereta dengan pemandangan yang begitu pekat. Sekira 10 detik selanjutnya video itu menyuarakan nama ibumu dengan lengkap. Tapi sayang, profesionalitas harus terus dijaga. Serasa tercabik-cabik, sehari setelahnya kautahu pemerintah hanya merespons: Kami menghormati hukum yang berlaku pada negara tersebut.
Kau juga kesal karena pemerintah sama sekali tak peduli pada nasib Ibu. Kau berharap setidaknya mereka mencari tahu tentang Ibu dan apakah dia punya anak atau tidak dan setelah tahu bahwa si ibu pencuri punya anak, “seenggaknya kasih dikit duit, lah. Makan sekali di sini harganya kayak makan dua kali di kampung,” gerutumu.
Oh, ya, kau merasa ibumu beruntung karena keringanan kakinya untuk melebarkan selangkangan untuk para juragan nun jauh di sana tidak terendus para penyebar berita. Pun, sebetulnya kau juga tidak yakin bahwa mencuri adalah penyebab ibumu dijagal nyawanya.
Suatu waktu kau kedapatan shift kedua, sehingga jam masuk agak siang. Namun kau harus pulang malam. Di dekat-dekat jam pulang, terdapat pelanggan datang. Seorang pria, berkulit putih nan mulus. Kaus hitam terlekat di badannya, entah kekecilan atau lengan dan perutnya yang terlampau kotak-kotak. Celana pendek memamerkan bulu kakinya yang lebat. Rantai yang mengalungi leher dan cincin di jari manisnya memancarkan perak sejurus diangkatnya tangan tanda ia memanggilmu untuk melayaninya.
“Sendiri, Kak? Teman yang satunya yang biasa diajak ke sini mana?”
“Nasi goreng seafood-nya dua, satunya untuk kamu. Kamu udah mau kelar, kan, kerjanya?”
Kau menyantapnya setelah pekerjaanmu selesai. Segera kau tersedak setelah mendengar lawan makanmu menawarkan kau sejumlah uang yang bisa dibilang banyak. Dipertegas dengan sejumlah nasi yang kaumuntahkan dari mulut karena syarat yang ia lontarkan kepadamu. Kendati begitu, kau mengiyakan setelah bermenit-menit lamanya kau berpikir.
Dia bukakan pintu mobil untukmu. Udara dingin di luar maupun di dalam tak kuasa menahan peluh yang secara perlahan membasahi wajahmu. Kau masih bergeming. Lelaki yang berada di sebelahmu mencoba memecah sepi dengan memutar lagu barat yang samar-samar kau dengar liriknya berbunyi gravity dengan syahdu. Bersamaan dengan suara alunan gitar yang keluar di tengah-tengah kalian, dia berkata, “jadi, nggak, sih?”
Kau tenggelam dalam hitam. Cerita berhenti sampai di sana. Oh, ya, kau pelupa. Kau tidak tahu apa-apa yang terjadi setelahnya. Entah kau lupa atau enggan atau malu mengatakannya.
***
Air hujan sudah tak lagi turun. Kini, kau menatap kaca yang retak dan berlumuran darah.
“Harapan, hanyalah semangkuk wadah untuk menabur butir-butir mimpi atas segala yang didamba, bukan sebentuk kepastian.”
Kau melukisnya dengan merah pekat di tembok, dengan barisan huruf yang bentuknya tak keruan.
Sejenak kau merasa ajal mendekat. Pun jika harus demikian, kau senang karena tidak harus mati dengan dirajam besi atau diinjak-injak kemaluannya atau dipotongnya batang kemaluanku karena urung lemas. Kelak di alam baka yang sama, dari kejauhan kau akan mengintip Ayah dan Ibu menderita dalam sepi.
Di depan, terdengar suara pintu tergedor, sembari menyebut namamu berulang kali.
***
Editor: Ghufroni An’ars
One Reply to “Ode Kota Penawar Harapan”