Mengenang–Merayakan

Dalam Peluk Kekekalan dan Puisi Lainnya

Ikhsan Noer Fauzi

1 min read

DALAM PELUK KEKEKALAN
Thomas Wolfe

Dalam peluk kekekalan,
anak pertama terlahir dengan rajah
di tubuhnya. Dan kau telah mengukir
tafsir segala yang tak terbahasa

Ia tumbuh dan tercatat
sebagai riwayat, tersemat pada takdir
Tanah Langit yang mengabadikan
namamu dalam wujud malaikat

Di tubuhnya nalar bergerak,
berarak ke setiap rapalan zaman
Merengkuh siapa saja
yang berziarah di jantung-jantung falsafah

Ia adalah markah
dari gairah yang memenuhi permenungan

Satu matlamat tergenggam
Dalam kesendirian
manusia terlahir dari penjara ke penjara
Dari ketiadaan asing,
menuju ruang-ruang yang tak terkatakan

(Majalengka, 2021-2022)

DI AMBANG IKHLAS

Atas apapun yang telah kau putuskan
sebagai suatu kebijaksanaan
Percayalah, semuanya
akan bermuara pada kebaikan

Tuhan menyayangimu
sebagai perempuan yang membawa ketenangan kepada siapa pun,
yang tengah tenggelam di rona matamu—
yang tumbuh menyertai gerimis kasihmu

Sungguh,
mereka yang datang padamu tanpa menyiratkan awan hitam di dadanya,
ialah mereka yang sebenar-benarnya berbahagia

(Majalengka, 2021)

KUNANG-KUNANG

Di kamar lengang,
kita masih saja
bermandikan madu dan cahaya
21.59
Kupu-kupu terbang
Satu menit berselang ialah pertaruhan

Dan malam senantiasa
menaungi setiap pergulatan
: Kodrati—ikhtiari
Seumpama kita yang liar
terasing dalam ribaan merah bara
Selayaknya mereka
yang bijak sembunyi, di balik warna bunga-bunga

Hibat telah hilang
Kunang-kunang memberi
isyarat pada Surga
: Kerlip—kedip mata kita

“Pilihlah satu dari tujuh dosa
paling masyhur di jagat raya.”

(Majalengka, 2022)

SANGHYANG RANGKAH

Tengadah, di tanah ini ialah batas
Sebelum langit meninggi, sebelum awan berarak serupa kapas di ujung jari
Dan kota, menampakkan dirinya serupa diorama

Ini punggung perhentian!
Dari Tegal Jamuju kami datang
Berpeluh debu, lalu-lalang napas panjang: menjelang cahaya disadur bulan
Beradu berat mata, sulang-menyulang senda dan lakon—ialah hias mukimnya tenda-tenda

Ini punggung perhentian!
Dari Goa Walet kami melenggang
Pulang, lindap sudah jiwa urban
Tabik telah tergenggam, dalam damai
tidur panjang Atap Pasundan

(Majalengka, 2022)

GAYATRI

Adakah kau dengar kedatanganku?
Tatkala rawi itu jatuh menanggalkan
cahayanya pada cerminmu

Sebelumnya, senyap
telah kucerna pada tiap-tiap rupa
tri-matra yang terpatri di tanah tinggi

Lalu adakah kudengar kedatanganmu?
Tatkala candra itu kukuh menunggalkan cahayanya pada cerminku

Takdir, barangkali lebih pendiam
dari yang kita kira
Dan kita, tak pernah mengerti apa-apa

(Majalengka, 2022)

*****

Editor: Moch Aldy MA

Ikhsan Noer Fauzi
Ikhsan Noer Fauzi Mengenang–Merayakan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email