Seorang yang senang mengulas film dan buku. Juga menulis esai, serta mendengarkan lagu.

Perundungan dalam Satu Lingkaran

Nu'man Nafis Ridho

2 min read

Film asal Tiongkok berjudul Better Days mengembalikan ingatan kita tentang masalah perundungan. Film adaptasi novel In His Youth, In Her Beauty karya Jiu Yuexi ini, menampilkan realitas kehidupan remaja perempuan yang cukup pelik. Kepelikan hidup tokoh Chen Nian yang diperankan Zhou Dongyu diawali dari kisah perundungan yang dialaminya di sekolah.

Chen Nian adalah siswi SMA yang tengah menghadapi ujian kelulusan untuk memasuki perguruan tinggi. Semestinya, fase melewati tes kelulusan agar dapat diterima di perguruan tinggi negeri atau ternama menjadi hal yang biasa dialami tiap remaja di perkotaan. Namun, dalam kasus Chen Nian, fase itu menjadi rumit lantaran ia berasal dari keluarga ekonomi kelas bawah.

Kenelangsaan hidup Chen Nian hadir sebab adanya akumulasi status sosial: ia miskin dan seorang perempuan. Kehidupannya tentu akan berbeda jika ia lahir dari keluarga kaya. Baginya, ada kemungkinan lain. Agaknya, kesedihan hidupnya akan berkurang jika dirinya memiliki kelimpahan uang.

Kepelikan Nian bertambah setelah teman sependeritaannya memilih jalan cepat dalam menyelesaikan masalah. Hu Xiaodie yang diperankan Zhang Yifan memilih mengakhiri hidupnya dengan melompat dari lantai paling atas gedung sekolah. Ia lebih memilih bebas dari tubuhnya daripada hidup dalam badai perundungan. Hu, yang juga perempuan, tak tahan dirundung teman-taman sekelas selama bertahun-tahun. Dirundung dan sendirian membuatnya memantapkan diri untuk mengakhiri hidup.

Kisah memilukan tentang orang yang bunuh diri pernah didendangkan grup musik Efek Rumah Kaca melalui lagu berjudul “Tubuhmu Membiru Tragis” (2008). Walaupun tokoh fiktif yang bunuh diri dalam lagu tersebut bukan mati lantaran tak kuat menahan perundungan, rasanya kita bisa merasakan kepiluan yang sama jika mendengar beberapa lirik dari lagu tersebut. Kita simak beberapa baris lariknya:

Kulihat engkau terkulai/ Tubuhmu membiru, tragis/ Tragis/ Perihmu yang menganga/ Tak hentinya bertanya//

Ketakberdayaan jasad yang melakukan bunuh diri disyairkan Efek Rumah Kaca lewat lagunya. Pedih yang dialaminya menjadi sumber pertanyaan manusia lainnya. Mungkin itu bukan empati, bisa jadi sekadar keingintahuan semu.

Dalam film Better Days,  hal itu juga dialami Hu. Ketika tubuhnya tergeletak di tanah tanpa ada lagi denyutan jantung, jasadnya hanya sekadar jadi objek tangkapan kamera gawai orang-orang. Penderitaannya bergulir ke percakapan digital begitu saja. Penelusuran tak benar-benar terjadi. Kisah itu hanya jadi berita yang bertahan dalam satu hari penyiaran.

Realitas yang Rapuh

Dalam film tersebut, kita juga diperlihatkan bahwa relitas itu tak utuh atau bulat sepenuhnya. Yang ada, realitas terlihat sangat rapuh. Kita seakan sulit untuk berdiri dan yakin atas suatu pendirian mengenai kelompok mana yang menyudutkan dan tersudutkan. Kita tidak disuguhkan realitas yang sekadar memiliki dua kutub: benar dan salah. Ia terdiri dari berbagai macam individu yang mandiri dengan pemikiran, kesengsaraan, situasi, dan pilihannya.

Better Days memperlihatkan bahwa dunia memang tersegmentasi atas jenis kelamin, status, dan kelas ekonomi. Namun, jika menyangkut suatu masalah di antara ketiganya, kita akan sulit untuk menyatakan dengan yakin bahwa satu kelompoklah yang menyudutkan atau tersudutkan.

Baca juga:

Hu Xiaodie dan Chen Nian mendapati perundungan itu justru datang dari lingkaran yang sama dengan mereka, yakni sesama perempuan. Adanya kesamaan kelompok bukan berarti memunculkan ketidakmungkinan perlakuan buruk terhadap sesama.

Setelah sebelumnya kita mengetahui bahwa korban dan pelaku sama-sama perempuan, pada kenyataannya, tak menutup kemungkinan bahwa korban perundungan juga berasal dari kelompok laki-laki.

Realitas ini pernah diangkat oleh Yusi Avianto Pareanom dalam cerpen yang berjudul “Alfion” di buku Muslihat Musang Emas (2017). Alfion yang seorang lelaki juga menerima perundungan. Kesengsaraan yang ia rasakan bahkan berasal dari orang yang berjenis kelamin sama, yakni laki-laki. Kenelangsaan itu bertambah lantaran perundung berasal dari lingkaran keluarga, yaitu oleh ayahnya.

Dalam dunia nyata, tentu kita masih ingat kisah perundungan seorang laki-laki yang terjadi di lingkungan kerja Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Laki-laki itu mengalami perundungan oleh teman sejawatnya. Para perundung jugalah seorang pria. Kisah itu tersebar dan menuai perhatian masyarakat di media sosial Twitter.

Kisah korban dan pelaku perundungan ini tak melulu ihwal kelompok yang beralawanan. Mereka bisa jadi berasal dari satu lingkaran yang sama. Kerapuhan realitas itulah yang coba dimunculkan dalam film Better Days.

Dalam realitas, adanya perbedaan dalam suatu kelompok sudah seperti kepastian. Tokoh-tokoh dalam film itu berdiri atas pikiran dan pengalaman yang amat personal. Hal inilah yang coba disuguhkan dalam film Better Days. Penonton tak disuguhkan sebuah harapan hidup yang semu, tetapi justru diperlihatkan pada sebuah realitas yang menyedihkan.

Larik-larik obituari amat mungkin dialami siapa saja. Entah ia perempuan atau laki-laki. Kaum muda ataupun tua. Dan mungkin juga, dalang dari semua itu bisa dilakukan oleh siapa saja, bahkan orang-orang satu lingkaran yang dekat dalam hidup kita.

Larik itu bukan milik salah satu kelompok. Ia milik tiap individu yang mengalami ketidakadilan. Seperti yang pernah dilantunkan Sisir Tanah atau yang sekarang kita kenal sebagai Bagus Dwi Danto. Danto mengungkapkan dalam tembangnya yang berjudul “Obituari Air Mata” (2017). Kita simak:

Kita tuan pada masing-masing/ Keinginan-keinginan/ Kita tuan pada masing-masing/ Kebohongan-kebohongan/ Kita tuan pada masing-masing/ Keputusan-keputusan//

Danto mengisyaratkan bahwa manusia bertanggung jawab atas keputusan, keinginan, dan kebohongannya masing-masing. Oleh sebab itu, pengusutan dan penelusuran lebih perlu dilakukan. Jangan terlalu terburu-buru mengambil kesimpulan dan kemudian menggeneralisasinya.

Nu'man Nafis Ridho
Nu'man Nafis Ridho Seorang yang senang mengulas film dan buku. Juga menulis esai, serta mendengarkan lagu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email