Homofictus

Dalam Lemari Kamar yang Mati

Ikhsan Muhammad

5 min read

Begitu sampai di tanganmu, aku telah terbungkus kertas kado.

Kamu membuka bungkus kado dengan penuh semangat. Dan kudapati wajah semringah bersama kedua matamu yang berbinar-binar menatap lekat. Temanmu membawa aku dari toko busana langganannya, tempat ketika beberapa kali dalam waktu-waktu tertentu aku akan melihat kalian berdua memilah-milih pakaian untuk dibawa pulang.

Semenjak hari istimewa itu aku resmi jadi bagian hidupmu. Banyak waktu telah kita lalui. Sungguh menyenangkan saat aku melekat di kulitmu yang hangat—menghapal suhu tubuhmu dan menjadi basah oleh keringat.

Aku akan sangat kesal saat kamu tanggalkan. Kamu akan meninggalkan aku di kamar mandi yang dingin itu untuk mengalami serangkaian prosesi seumpama penyiksaan dalam mesin pencucian. Bubuk diterjen kadang membuatku tersedak. Gelembung sabun rasanya tidak enak. Terik matahari mengakibatkan serat-serat benangku menegang. Kemudian di tempat inilah rangkaian siksaan itu akan berakhir—aku setia menanti kedatanganmu dalam penjara pengap nan gelap, yang sering kamu sebut lemari ini.

Belakangan aku jadi jarang melihatmu. Oleh alasan yang tidak aku mengerti, kamu lebih menyukai kemeja merah polos yang menjemukan itu. Aku yakin ia tak mengerti larik-larik sajak yang menjalari tubuhmu sebaik aku. Andai bisa kuberi tahu padamu sejak awal kedatanganku dalam hidupmu, kehadiranku tidak disukai oleh pakaian lain dalam lemari ini. Maka aku juga tidak menyukai mereka. Bagi mereka aku adalah benda asing, hadiah dari seseorang yang kamu cintai, sehingga aku berharga. Sedangkan mereka hanya pakaian biasa yang tidak menyimpan perasaan istimewa.

“Kamu pakai kaus itu lagi?” temanmu bertanya pada perjumpaan kalian yang tak mampu lagi kuhitung.

“Aku menyukainya,” begitu kamu akan menjawab. Tubuhmu juga setuju.

“Warna biru selalu cocok untukmu.”

Temanmu merasa lucu lantaran kamu sering hadir dengan dandanan serupa. Kamu telah menjadikan aku satu-satunya pilihan untuk menemanimu menghabiskan seharian penuh waktu bersama temanmu itu. Dan karenanya aku merasa bangga.

Bersamamu aku jadi banyak tahu aktivitas yang kerap kalian lakukan; Kalian akan jalan-jalan, berkeliling taman, menonton film, menyinggahi toko buku, sampai duduk santai dengan obrolan ringan diselingi tawa sambil menyesap kopi di kafe langganan kalian.

Sebagai pakaian aku punya kemampuan membaca perasaan tubuh tempatku melekat. Tubuhmu adalah bait-bait puisi yang setia kueja berulang kali. Pada waktu-waktu tertentu akan kurasakan tubuhmu menguarkan aneka macam perasaan. Seperti aroma feromon yang manis, ombak lautan energi di seluruh otot nadi, juga getaran kontras yang membingungkan—akan kualami sensasi gigil, gemetar, hangat, geliat, dan gentar sekaligus. Kadang darah yang mengalir di setiap inci larik-larik sekujur otot tubuhmu bergejolak hebat, hal itu pernah terjadi sewaktu kalian berpelukan. Akan aku alami semua pengalaman itu tanpa bahasa. Tubuhmu adalah buku sajak tanpa kata-kata; bersamanya, kamu sungguh bahagia.

***

Setiap harinya aku selalu mendapat pengetahuan baru. Lama bersamamu aku mengerti jika kamu punya semacam ketakutan terhadap gemuruh petir. Suara menggelegar yang datang bersama gemuruh hujan itu membuat tubuhmu tidak nyaman. Kamu akan meringkuk di atas kasur, menutupi seluruh tubuhmu dengan selimut tebal hingga kepala kala hujan turun lebat dan petir menyambar-nyambar.

Mengetahui hal tersebut, temanmu pun menghadiahimu sebuah kotak musik, meskipun kotak musik itu bukan hadiah ulang tahun sepertiku. Kamu bisa mendengarkan alunan nadanya sebagai lagu pengantar kantuk. Setiap malam, ketika hujan lebat dan petir menyambar-nyambar, kamu akan membuka kotak musik itu, seksama menikmati alunan suaranyanya, lalu terlelap.

Aku dan kotak musik pun berkawan akrab. Kami selalu membicarakan dirimu dan aneka warna-warni perasaan yang setia menguar memenuhi kamar ini. Sambil memandangi kami, kamu akan mengucapkan satu nama. Nama temanmu.

Di kesempatan lain, aku pernah melihat kamu di depan benda yang kamu sebut laptop, kamu sedang memandangi gambar-gambar dirimu bersama temanmu itu. Kamu berkali-kali menyebutkan kekasihku, kekasihku, kekasihku, begitu sering hingga aku bisa mengerti jika kata-kata itu setara dengan makna belahan jiwa. Kamu memilih sebuah gambar yang menampilkan kalian tengah berlibur di sebuah pantai dengan tebing-tebing tinggi berlatar langit sore. Dalam gambar-gambar itu aku adalah pakaian yang kamu kenakan.

Kamu pun melakukan sesuatu pada gambar-gambar itu. Kamu menambahkan stiker berbentuk hati guna menutupi wajah temanmu. Lalu sebuah stiker wajah tersenyum menutupi gambar wajahmu. Kemudian mengunggahnya ke laman yang kamu sebut sebagai internet.

Bagiku tindakanmu terasa janggal, lantaran begitu seringnya hal tersebut kamu lakukan, membuat aku bertanya-tanya mengapa kamu harus menyembunyikan wajahmu dan wajah temanmu dari dunia? Mengapa momen-momen indah yang kalian lewati bersama harus ditutupi? Dari apakah sebenarnya kalian bersembunyi?

***

Kebingunganku semakin bertambah.

Suatu hari sebuah panggilan telepon dari seseorang mengabarkan kalau temanmu mengalami kecelakaan sehingga dia harus dirawat di rumah sakit. Tidak ada nomor lain di ponselnya, selain nomor ponselmu yang bisa dihubungi polisi. Kamu bergegas pergi, berlari sekencang yang pernah kusaksikan. Jantungmu berdegup penuh detak khawatir. Tubuhmu berguncang hebat terisi kecemasan. Yang kudengar dari seragam seorang suster: Temanmu mengalami gegar otak karena kepalanya terbentur aspal jalan, sehingga ketika dia sadar, hal itu membuatnya sukar menggerakkan bibir untuk bicara. Medan Broca dalam kepala temanmu—tempat kosakata dan bahasa diproduksi menjadi repas, dan alat wicaranya tak dapat merespons dengan tepat kala berucap. Temanmu seketika gagu jika mencoba mengucapkan sesuatu.

Setiap hari kamu akan menjenguk temanmu di rumah sakit seperti sebuah kewajiban. Beberapakali yang sebenarnya sangat sering, aku akan ikut bersamamu ke rumah sakit yang tiba-tiba jadi rumah keduamu itu. Di sana kamu memenuhi segala kebutuhannya; Obat-obatan yang harus dia konsumsi, makanan yang harus dia habiskan, kegiatannya di kamar mandi, termasuk membilasi tubuhnya dengan handuk rendaman air hangat agar tubuhnya tak ditumbuhi jamur, lalu memilihkannya pakaian ganti di setiap penghujung hari.

Penghuni lain rumah sakit pernah bertanya kepadamu—siapakah kamu bagi temanmu itu? Kerabatkah? Temankah? Atau saudara kandung? Anehnya kamu enggan menjawab. Pertanyaan-pertanyaan mereka sering kamu abaikan.

***

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, dan bulan-bulan yang berganti pun tak mampu aku ingat lagi. Sejak saat aku tak bisa lagi menghitung waktu yang telah berlalu, aku tak pernah keluar dari penjara pengap ini. Kamu tak memilihku lagi untuk bersamamu ke rumah sakit.

Aku tak selalu tahu apa yang terjadi. Pengetahuanku perihal kehidupanmu sangatlah terbatas. Dan pintu lemari ini adalah penghalang utama yang begitu menyebalkan. Kamu bahkan telah jarang membukanya, dan hanya menyisahkan sedikit cela pintu lemari terbuka. Sehingga yang bisa kulakukan hanyalah menumpuk pertanyaan: Apa yang terjadi padamu, bagaimana kabar temanmu? Apakah kamu telah jarang mandi, sehingga tak lagi mengambil baju ganti?

Setiap hari aku menunggu kamu membuka pintu penjara ini. Aku merindukanmu juga merindukan temanmu, merindukan semua kegiatan yang pernah kalian lakukan bersama-sama.

Aku juga merindukan kotak musik, sudah lama aku tak mengobrol dengannya. Untuk pertama kalinya aku sungguh merasa terasing dan sendirian bahkan jauh lebih parah dari yang pernah kualami sebelum mengenal kalian. Inikah kesepian yang menakutkan itu? Kesepian yang pernah membuat temanmu menangis tersedu-sedu? Aku pun jadi mengingat perbincangan kalian ketika temanmu menginap di kamar ini. Temanmu bilang bahwa dia begitu takut menghadapi kesendirian. Pernah ada momen menyakitkan ketika temanmu dikucilkan dan dia tak memiliki seorang pun teman. Kesepian adalah monster yang datang menghampirinya, begitu usil dan menakutkan, acapkali menjelma sebagai mimpi buruk dalam tidurnya. Hingga saat tengah bercerita temanmu menangis dalam selimut ketika udara kamar ini sedang sangat dingin. Yang kusaksikan kamu pun memeluk temanmu erat-erat.

***

Aku terus menanti….

Hingga akhirnya kamu datang. Kamu membawa tas berisi baju-baju kotor, menyerakkannya di lantai sekitar tempat tidur. Dari cela pintu lemari kulihat kamu menyandarkan tubuh di dinding dekat jendela. Wajahmu begitu lelah, matamu sembab. Kamu bergerak menghadap cermin, lalu menatap wajahmu sendiri. Tubuhmu menguarkan kabut kelam—warna pekat yang tak pernah kulihat ada sebelumnya. Perasaan itu tampak ganjil dan tak pernah kusaksikan. Terasa menyakitkan. Kamar ini bahkan tak mampu menahannya. Apakah kamu sedang menangis?

Jika bisa aku ingin melesat keluar dari penjara sialan ini untuk merengkuh tubuhmu sekarang juga. Memeluk sumsum sedih tulang belakangmu. Mungkin saja kamu menangis karena kedinginan. Aku teringat, suatu malam kamu dan temanmu pernah kehujanan ketika kalian pulang bersama. Air hujan mengguyur kalian tanpa ampun sehingga aku basah kuyup. Kalian menepi mencari tempat berteduh. Sebab petir malam hari adalah ketakutanmu. Tubuhmu menggigil parah penuh rasa kalut, darahmu seperti membeku. Temanmu pun memelukmu, tak tega melihatmu ketakutan dan menggigil kedinginan. Kupikir saat itu juga kalian berciuman—sebuah aktivitas yang kuketahui sebagai tindakan saling menempelkan bibir satu sama lain. Orang-orang yang tak sengaja lewat, menatap kalian dengan perasaan janggal lebih seperti heran, aku dapat melihat itu dari mata mereka.

Kini kudengar kamu meraung-raung, benar saja kamu sesungukan menangis, seperti hewan yang sedang terluka. Ada kesedihan dan amarah yang menjalar keluar dari tubuhmu. Kamu mulai membanting barang-barang. Semua benda yang kamu lihat akan kamu ambil dan kamu lemparkan ke sembarang arah. Buku-buku yang tersusun rapi dalam rak-raknya pun jadi berserakan. Semua foto di dinding berjatuhan. Seprai dan bantal tak luput dari amukanmu. Aku sungguh takut, tak pernah kusaksikan kamu berperilaku seperti itu sebelumnya. Kamu menjadi tubuh yang tak pernah kukenali. Sampai pada satu tindakan ketika kamu hendak membanting kotak musik pemberian temanmu, kamu mendadak terdiam. Lalu semua keributan yang mengerikan itu berhenti. Tahu-tahu senyap, muncul hening yang ganjil.

Aku bertanya kepada jendela yang telah pecah kacanya. Aku bertanya kepada buku-buku yang kaku bertebaran di lantai. Aku bertanya kepada lemari yang tak pernah mengizinkan aku pergi. Semua mendadak bisu. Benda-benda di kamar ini mendadak mati. Kamar ini telah mati.

Kamu membuka lemari dan menemukan aku. Begitu meletakkan kotak musik tepat di sampingku, kamu seperti mengucapkan kata-kata yang tidak aku mengerti, kemudian kamu tersenyum, lalu kamu pun menutup rapat pintu lemari. Setelah penantian panjang yang harus kulalui demi dapat melihat dirimu lagi, alih-alih kembali bersamamu, itulah momen terakhir perjumpaan kita.

***

Waktu pada jam dinding berlalu seolah memudar. Kamar ini diselimuti diam yang padat. Sunyi yang begitu asing. Suasana yang begitu hampa. Kesunyian yang dingin itu telah membekukan apa pun yang ada dalam kamar ini. Hingga akhirnya aku mendengar suara pintu didobrak paksa. Kerumunan orang datang memenuhi sekitar depan pintu, beberapa di antara mereka melangkah masuk ke dalam kamar ini, salah seorang dari mereka bahkan berteriak, seperti terkejut terhadap sesuatu.

Dari dalam lemari gelap ini aku dan kotak musik tak pernah tahu apa pun selain kesunyian. Kesunyian itu kini berganti menjadi pekik kerumunan orang-orang dan raung sirene ambulans yang panjang.

***

Editor: Ghufroni An’ars

Ikhsan Muhammad

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email