Keberadaan media kepenulisan tidak jarang merupakan salah satu jalan bagi seorang penulis untuk mendapatkan uang dari hasil tulisannya yang terbit. Akan tetapi, beberapa media juga tidak menyediakan pembayaran bagi tulisan yang berhasil terbit di media tersebut. Walau begitu, beberapa media yang tidak memberikan honor itu masih banyak diminati oleh para penulis profesional atau amatiran untuk menyalurkan tulisannya.
Apakah imbalan berupa uang bagi para penulis adalah satu-satunya tolok ukur kualitas tulisan?
Uang merupakan segalanya. Kalimat tersebut sering kali kita dengar di tengah masyarakat dan tidak jarang beberapa orang lebih mementingkan atau bahkan berorientasi ekstrem terhadap uang dibandingkan faktor lainnya.
Media-media yang tidak menawarkan pembayaran kepada para penulisnya tersebut—terlepas dari fungsi ekonomisnya—tentu saja menawarkan beberapa keunggulan dan berfungsi sebagai fasilitas bagi para penulisnya. Misalnya, jaminan kurasi yang baik, jaringan media yang luas, intensitas promosi melalui media sosial mereka, dsb.
Polemik yang timbul dari media yang tidak membayar penulisnya adalah kegagalan para penulis untuk memahami atau membaca lebih lanjut tentang ketentuan yang berlaku di media tertentu. Bahkan sebagian penulis cenderung menyamaratakan ketentuan kepenulisan antara media yang satu dan media yang lainnya.
Kesalahan-kesalahan dari gagalnya kemampuan pemahaman dan identifikasi para penulis ini akan menyebabkan terbentuknya stigma tertentu di dalam masyarakat terkait branding suatu media. Bahwa semua media seharusnya menyediakan honorarium bagi kontributornya. Jika tidak, maka media tersebut sama sekali tidak baik.
Penyerangan terhadap Media yang Tidak Membayar Penulisnya
Menjelaskan ketentuan penulisan merupakan suatu keseriusan suatu media untuk memperlihatkan komitmen dan menjamin mutu dari tulisan-tulisan yang akan diterbitkan. Misalnya dengan mencantumkan pernyataan bahwa media tersebut tidak menyediakan pembayaran bagi tulisan yang terbit. Ketentuan yang sudah jelas tersebut merupakan yang sebenarnya sudah tidak ada gunanya untuk diperdebatkan.
Perdebatan yang terjadi tentang kelayakan suatu tulisan untuk mendapatkan bayaran atau tidak, dapat dianggap sebagai kekeliruan yang coba dilogiskan melalui komparasi antara berbagai media.
Jika suatu tulisan yang dianggap bermutu terbit di media yang tidak menyediakan pembayaran, tidak berarti bahwa media tersebut adalah media yang bersikap buruk kepada penulisnya, atau media tersebut telah melanggar hak penulis.
Seorang penulis memiliki hak prerogatif untuk mengirimkan tulisannya ke seluruh media—baik media yang menyediakan pembayaran ataupun yang tidak. Ada kalanya suatu media yang tidak memberikan pembayaran akan mengalami fase-fase yang sulit untuk mendapatkan tulisan atau penulis yang loyal terhadap mereka, tetapi bukan berarti media yang tidak memberikan bayaran adalah suatu media yang buruk.
Terkadang terjadi penyerangan-penyerangan melalui media sosial terhadap media yang tidak menyediakan bayaran terhadap penulisnya. Biasanya penyerangan yang terjadi dilakukan melalui media sosial, dan tidak jarang hal ini hanya berdasarkan sentimen pribadi yang berusaha untuk menggiring opini tertentu terhadap media yang menjadi target penyerangan.
Terkadang opini yang dilontarkan oleh netizen tidak memiliki dasar yang cukup kuat. Beberapa opini diarahkan untuk menjadi tenaga penggerak agar media-media tersebut diserang dan hal ini menjadi sekadar komedi di dunia kepenulisan. Misalnya “kok gak ada yang menyerang media ini”, “media pelit, mending cari media lain saja buat mengirim tulisan”, “kok media ini masih banyak peminatnya padahal ga ada honor?”.
Sebenarnya opini tersebut sah-sah saja dilontarkan, akan tetapi kita sebagai manusia yang bebas untuk menyatakan suatu opini—selayaknya lebih memperhatikan karakteristik suatu media sebelum melakukan justifikasi. Akibatnya, ujaran-ujaran tersebut dapat menimbulkan konflik berkepanjangan dan tidak jarang menjadi salah satu penghambat bagi perkembangan literasi dan kepenulisan di suatu masyarakat.
Perlu diperhatikan pula bahwa keberadaan suatu media (lebih banyak media kecil) hadir sebagai medium bersama antara gagasan masyarakat (kontributor) dan redaksi yang berupaya menyediakan ruang untuk bersuara. Media-media rintisan semacam itu kebanyakan belum memiliki sumber daya untuk secara masif memberikan perhargaan berupa honor bagi para kontributornya.
Meski begitu, tujuan awalnya untuk mewadahi berbagai gagasan masyarakat tetap bisa terpenuhi dengan kesadaran bersama. Di sisi lain, media alternatif semacam itu justru berhasil menjadi ruang bagi para penulis pemula, dan para penulis yang gagasannya bersebrangan dengan suara mayor yang termuat di beragam media besar yang pendanaannya dijamin pihak ketiga.
Menakar Opini sebelum Publikasi
Berpikir sebelum bertindak, mungkin adalah kalimat yang sangat tepat untuk mengomentari maraknya kritik asal-asalan terhadap suatu media yang tidak menyediakan honor bagi penulisnya.
Sebelum memberikan kritik terhadap suatu media, sebaiknya kita harus memperhatikan bagaimana karakteristik media tersebut. Misalnya, di dalam ketentuan kepenulisan sudah tertulis dengan jelas bahwa “media tidak menyediakan honor atau pembayaran dalam bentuk apa pun”. Hal ini sudah jelas menjadi peraturan yang wajib disepakati oleh para penulis sebelum mengirimkan tulisannya.
Bahkan jika suatu tulisan yang mungkin sangat bagus dan fenomenal terbit di media yang tidak menyediakan honor, hal itu bukanlah kesalahan media, melainkan kesepakatan antara kehendak sadar yang dimiliki oleh seorang penulis untuk mengirimkan tulisannya dan kapasitas media untuk mengurasi dan menerbitkannya.
Dengan mengirimkan tulisannya ke media tertentu, sudah seharusnya seorang penulis menyepakati ketentuan yang berlaku dan dengan sadar akan menerima setiap konsekuensi yang akan terjadi di masa depan baik dari proses kurasi atau bahkan ditolaknya suatu tulisan.
Manusia dikutuk untuk menjadi bebas—hal ini merupakan salah satu istilah yang sangat khas dari aliran eksistensialisme. Meski setiap komentar yang dilontarkan sebagai kritikan terhadap media tak berbayar merupakan bentuk dari kebebasan manusia untuk mencapai atau bahkan membentuk eksistensinya, kita perlu memikirkan bahwa suatu opini yang dibentuk tidak boleh menghancurkan suatu eksistensi tertentu. Dalam hal ini upaya untuk meredam eksistensi tertentu merupakan pelanggaran atas kebebasan personal atau kolektif yang sudah dibentuk dengan tujuannya masing-masing.
Apa yang dapat kita banggakan dari opini yang kita sebarkan melalui media sosial untuk menghancurkan suatu identitas tertentu? Tidak ada. Opini merusak yang disebarluaskan dapat dianggap sebagai katarsis perseorangan yang merindukan kerusakan atau kejatuhan identitas yang dianggapnya tidak sejalan dengan keinginan pribadi atau kelompoknya.
Dengan menghujat media tertentu, sebagian orang mungkin merasakan ketenangan dan menganggap bahwa kebutuhan dirinya untuk berekspresi telah terpenuhi. Padahal terpenuhinya kebutuhan untuk mengekspresikan diri itu menyebabkan kerusakan lanjutan dari identitas yang menjadi korban.
Dengan demikian, kita pelu memperhatikan dan mempertimbangkan opini-opini yang hendak kita lontarkan atau publikasikan. Menganggap bahwa kritik destruktif sebagai bentuk demokrasi atau kebebasan berpendapat tidak lain merupakan kegagalan penalaran dan cara berpikir.
Mengenali Kapasitas sebelum Beropini
Ketika hendak mengkritik suatu media, khususnya terhadap media yang tidak memberikan honor kepada para penulisnya, terlebih dahulu kita perlu menyadari kapasitas diri kita.
Memang, terdengar cukup diskriminatif apabila kita hanya memperbolehkan orang-orang dengan kualifikasi tertentu untuk menyampaikan kritik. Perlu digarisbawahi—sebuah kritik yang baik dan konstruktif harus didasarkan pada pengetahuan yang relevan dan tidak bias. Tujuan kritik tidak lain adalah pertimbangan baik dan buruk terhadap suatu objek. Tanpa pemahaman mendalam terhadap objek kritik, barangkali suatu gagasan tak lebih dari sekadar komentar yang asal-asalan.
Ketika ingin mengkritik tulisan yang dianggap lebih layak terbit di media yang memberikan honor dibandingkan dengan media yang tidak memberikan honor, terlebih dahulu kita harus memikirkan dan membangun kritik kita dengan alur pikir yang jelas. Misalnya kita tidak hanya perlu mempertimbangkan aspek ekonomis semata, tetapi juga perlu memperhatikan keunggulan lain yang dimiliki suatu media sehingga banyak orang yang berminat menerbitkan tulisannya meski mereka tidak mendapatkan honor di sana.
Bahwa tidak semua keunggulan media hanya dinilai dari pemberian honor, semestinya dapat disadari oleh penulis sebelum mengirimkan tulisannya.
Penerbitan suatu tulisan bukan sekadar masalah honor, tetapi juga terkandung kesepakatan bersama antara penulis dan media.
Suatu tulisan yang baik tidak hanya tulisan yang mampu menghasilkan uang bagi penulisnya. Tulisan yang baik juga harus mampu dikomunikasikan, disalurkan, dan disebarluaskan melalui media-media yang kompeten. Faktanya tidak setiap media yang kompeten adalah media yang menyediakan honor bagi penulisnya.
Kiranya setiap penulis haruslah bijak dalam memandang media pilihannya, sebagai sekadar penghasil uang, atau lebih dari itu, sebuah ruang berkarya milik bersama.
***
Editor: Ghufroni An’ars