Dapur restoran terasa seperti medan perang malam itu. Panci mendidih di atas kompor, pisau berkilat memotong sayuran dengan cepat, dan aroma bawang putih tumis memenuhi udara. Rendra berdiri di tengah kekacauan itu, memimpin dengan tenang di bawah tekanan besar. Semua harus sempurna. Ini adalah malam spesial dengan tamu VIP yang tak boleh kecewa. Setiap bahan, alat, dan tenaga dapur harus sesuai dengan prinsip mise en place—semua diatur di tempatnya agar layanan berjalan mulus.
“Jaga api di wajan itu! Jangan terlalu tinggi!” Rendra memerintah salah satu stafnya tanpa menoleh. Di belakangnya, sous-chef Tio sudah mulai menyiapkan bahan untuk hidangan utama.
Ketegangan terasa di udara. Tidak ada waktu untuk kesalahan, dan setiap orang di dapur tahu itu. Semua sibuk di pos masing-masing, berusaha menjaga ritme dan fokus.
Sampai sebuah pesan aneh mengubah segalanya.
Di laci loker pribadinya, Rendra menemukan secarik kertas saat ia mencari termometer. Di kertas itu terdapat daftar nama—nama-nama yang dikenalnya dengan baik. Itu adalah nama-nama staf dapurnya sendiri, dan yang membuatnya merinding, nama pertama di daftar itu telah dicoret.
Rendra menatap daftar itu dengan bingung. Dia merasakan ketidaknyamanan menggelayuti pikirannya. Saat ia kembali ke dapur, suara gaduh tiba-tiba pecah di sudut ruangan. Salah satu staf berteriak keras.
“Dia tersengat listrik!”
Rendra bergegas menuju tempat kejadian. Salah seorang junior staf mereka tergeletak di lantai, gemetar hebat, sementara mixer besar di sebelahnya masih berderik dan berasap. Beberapa staf mencoba menolong, tapi terlambat. Nyawa staf itu tidak terselamatkan.
Semua orang terdiam, terpaku oleh kejadian mendadak itu. Rendra menatap tubuh tak bernyawa itu dengan ngeri, lalu pandangannya kembali ke kertas di tangannya. Nama staf yang baru saja meninggal adalah nama pertama yang tercoret.
Rendra merasakan kengerian merayapi tubuhnya. Ini bukan kebetulan. Seseorang membuat daftar kematian, dan teror ini baru saja dimulai.
***
Suasana di dapur berubah drastis setelah kejadian itu. Rendra masih memegang kertas dengan daftar nama staf di tangannya. Satu nama sudah dicoret, dan satu nyawa telah melayang. Namun, layanan malam itu harus terus berjalan, dan restoran tak bisa berhenti beroperasi hanya karena rasa takut.
Rendra menyusupkan kertas itu ke dalam saku jas chef-nya dan kembali memimpin staf yang tersisa. Sementara tim medis membawa tubuh staf yang meninggal, Rendra mencoba menyembunyikan keterkejutannya dan berusaha tetap fokus. Tidak ada ruang untuk panik.
Namun, pikirannya terus berputar. Siapa yang menulis daftar ini? Apa maksud di baliknya? Ia melirik nama kedua di daftar itu: Tio. Sous-chef dan sahabatnya selama bertahun-tahun.
“Tio, hati-hati malam ini,” bisik Rendra ketika mereka bertemu di sudut dapur.
“Ada apa, Chef? Kenapa Anda kelihatan aneh?” tanya Tio dengan alis terangkat.
“Percayalah. Jangan abaikan ini, oke? Berhati-hatilah.”
Tio menatap Rendra dengan bingung, tapi tidak banyak bertanya. Tidak ada waktu untuk diskusi lebih lanjut—pesanan terus berdatangan, dan tamu VIP masih menunggu hidangan utama.
Ketika semua tampak mulai kembali normal, teror berikutnya datang tanpa peringatan. Tio, yang sedang menyiapkan piring-piring untuk hidangan utama, tiba-tiba berteriak kesakitan. Panci berisi air mendidih jatuh dari rak atas dan mengenai kakinya, membuatnya tersungkur kesakitan.
“Kok bisa jatuh sendiri?” salah satu staf berbisik dengan wajah pucat.
Rendra terdiam. Ia tahu tidak ada yang salah menaruh panci itu. Sesuatu yang jauh lebih menakutkan sedang terjadi di dapur ini—dan sepertinya, ini bukan kecelakaan.
Nama kedua di daftar telah diserang. Meskipun Tio tidak meninggal, ia harus segera meninggalkan dapur untuk mendapat perawatan. Kini, Rendra berdiri sendirian, menyadari bahwa ia harus menyelamatkan staf yang tersisa sebelum giliran mereka tiba.
Di sela-sela pekerjaan, Rendra mencoba mencari petunjuk di antara stafnya. Siapa yang menulis daftar itu? Siapa yang bisa melakukan ini? Ia memikirkan setiap orang di dapur—semua tampak sibuk dengan pekerjaan mereka, tapi satu per satu wajah tampak mencurigakan di matanya.
Tio yang kini sudah dibawa keluar berarti nama berikutnya di daftar adalah asisten pastry, Lina. Panik dan takut, Rendra mencoba memberi peringatan kepada Lina tanpa menimbulkan kepanikan di dapur.
“Lina, jangan dekat-dekat alat berat atau apapun yang berbahaya. Tetap aman, ya,” katanya, berusaha terdengar biasa.
Lina menatap Rendra dengan ragu, tapi mengangguk. “Apa ada sesuatu yang salah?” tanyanya.
Rendra tidak menjawab. Ia hanya tahu bahwa teror ini belum selesai.
***
Rendra kembali ke dapur, tetapi ketegangan semakin terasa. Para staf mulai berbisik di antara mereka, dan kehadiran tamu VIP di restoran tidak lagi cukup untuk menyembunyikan ketakutan yang melanda semua orang. Dua kecelakaan sudah terjadi malam itu—satu nyawa melayang, dan satu lagi terluka parah. Mereka semua tahu, ada sesuatu yang salah, tetapi tak ada yang tahu siapa atau apa yang menyebabkannya.
Di sela-sela memasak, Lina—nama ketiga di daftar—memotong adonan dengan tangan gemetar. Rendra bisa melihat ketakutan di matanya. Apakah dia akan jadi korban selanjutnya? Semua orang bekerja dengan hati-hati, tetapi suasana yang biasanya hangat di dapur berubah menjadi dingin dan penuh kecurigaan. Setiap orang mencurigai satu sama lain.
Rendra tak bisa berhenti berpikir tentang daftar nama di saku jas chef-nya. Seseorang sengaja menulis daftar ini. Seseorang di antara mereka tahu apa yang akan terjadi dan kapan. Tapi siapa? Dan yang lebih penting, mengapa?
Saat Rendra tengah mengawasi piring-piring yang akan dihidangkan, teriakan Lina tiba-tiba menggema di dapur. Semua orang menoleh dan melihat Lina mundur dengan wajah pucat, tangannya gemetar. Pisau pemotong pastry nyaris mengenai jarinya saat seseorang tanpa sengaja—atau mungkin dengan sengaja—mendorong talenan ke arahnya.
“Aku gak bisa kerja kayak gini!” teriak Lina sambil menangis, melepaskan apron dan berlari keluar dari dapur. Nama ketiga di daftar selamat, tapi rasa takut semakin kuat menggigit hati setiap orang.
Rendra melihat daftar itu lagi. Nama berikutnya adalah Amir, tukang cuci piring. Di saat inilah Rendra mulai merasa terjebak dalam permainan yang tak ia pahami—setiap kecelakaan mengikuti urutan dalam daftar, dan tak ada cara baginya untuk menghentikan atau memprediksi apa yang akan terjadi selanjutnya.
Di dapur, semua orang mulai bekerja dengan cemas dan canggung. Tak ada lagi rasa percaya di antara mereka. Bahkan setiap langkah terasa seperti jebakan, dan setiap alat dapur kini tampak berbahaya. Para koki dan staf saling memandang dengan curiga, mencoba menebak siapa yang mungkin berada di balik semua ini.
“Siapa yang menulis daftar ini?” pikir Rendra. Semakin lama, ia semakin merasa bahwa dirinya sendiri mungkin berada dalam bahaya. Dan akhirnya, ia menyadari satu hal: Namanya adalah nama terakhir di daftar.
***
Waktu semakin mendekati puncak layanan makan malam, dan suasana di dapur semakin mencekam. Rendra merasa terjebak di antara tugasnya sebagai kepala koki dan ketakutan bahwa sesuatu akan segera terjadi. Tamu VIP masih menunggu hidangan penutup—hidangan terakhir yang harus ia sajikan dengan sempurna. Di tengah tekanan itu, Rendra memaksa dirinya untuk tetap fokus dan melanjutkan layanan seolah semuanya berjalan normal.
Namun, semakin ia mencoba berkonsentrasi, rasa takut terus menghantui. Nama-nama dalam daftar sudah jelas menunjukkan urutannya. Amir, tukang cuci piring, adalah yang berikutnya. Dan setelah Amir? Giliran Rendra.
Rendra melihat Amir bekerja di sudut dapur, mencuci piring dengan tenang, tidak menyadari bahwa namanya ada di urutan berikutnya dalam daftar kematian. Rendra berjalan mendekat dan mencoba memperingatkannya.
“Amir, dengar, jangan sentuh apapun selain piring. Tetap di sini, dan jangan mendekati alat-alat lain,” ucap Rendra dengan suara rendah, berusaha agar orang lain tidak mendengar. Amir mengangguk dengan bingung, tapi ada ketakutan di matanya.
Namun, tepat saat Rendra berbalik, gelas di rak atas jatuh dan pecah, melukai tangan Amir. Bukan luka fatal, tetapi cukup untuk membuat darah menetes di lantai dapur. Sebuah peringatan halus—seolah-olah si pelaku bermain-main dengan mereka.
Rendra kembali ke meja kerjanya dengan pikiran yang kacau. Siapa pun yang ada di balik ini pasti seseorang yang tahu dapur dengan sangat baik—mereka tahu kapan dan bagaimana setiap kecelakaan terjadi. Ia mulai merasa bahwa si pelaku mungkin bukan hanya sekadar staf biasa. Mungkin, seseorang yang sangat dekat dengannya.
Di sela-sela kegelisahan, ia membuka daftar itu lagi dan menatapnya lama. Ia sadar, daftar itu bukan hanya sekadar daftar nama. Urutannya mengikuti hierarki dalam dapur, mulai dari posisi paling rendah hingga paling tinggi—dari staf junior hingga kepala koki. Itu berarti, jika pola ini berlanjut, giliran Rendra adalah yang terakhir.
Dengan waktu yang semakin mendesak, Rendra harus menyelesaikan hidangan penutup untuk tamu VIP. Namun, bahan utama untuk hidangan itu, yaitu buah beri eksotis, tiba-tiba hilang dari dapur. Tak ada waktu untuk mencarinya. Ia memutuskan untuk menggunakan bahan pengganti, tetapi dalam hati, ia tahu bahwa ini adalah bagian dari permainan si pelaku.
“Apapun yang terjadi, malam ini harus selesai,” gumam Rendra. Ia menyelesaikan hidangan itu dengan tangan gemetar, setiap gerakannya diiringi rasa takut bahwa ini mungkin malam terakhirnya bekerja di dapur ini—atau hidupnya.
Saat hidangan penutup akhirnya disajikan, Rendra merasa seolah napasnya terhenti. Ia tahu bahwa sesuatu akan segera terjadi—pertanyaan yang tersisa hanya kapan dan bagaimana?
Dan di saat itulah, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk:
“Semua sudah berada di tempatnya. Sekarang giliranmu.”
Rendra terdiam. Waktunya habis.
***
Rendra merasakan darahnya berdesir ketika membaca pesan itu:
“Semua sudah berada di tempatnya. Sekarang giliranmu.”
Dia memindai dapur dengan cepat, mengetahui bahwa waktunya habis. Atmosfer terasa semakin tegang—seperti udara penuh dengan listrik sebelum badai meledak. Setiap staf di dapur sibuk dengan tugas masing-masing, tapi Rendra tahu dengan pasti bahwa seseorang di antara mereka bukan sekadar bekerja malam itu—mereka sedang mengincarnya.
Rendra mendekati meja kerjanya, mencoba mengatur napas. Di depan piring-piring yang menunggu sentuhan akhir, ia menyadari sesuatu yang menakutkan: Setiap kecelakaan terjadi sesuai urutan hierarki dapur. Sekarang, setelah Amir terluka dan Lina keluar lebih awal, hanya dia yang tersisa.
Dengan tangan gemetar, ia mencoba menenangkan diri. Hidangan terakhir sudah tersaji untuk tamu VIP, dan restoran hampir tutup. Tapi di dalam hatinya, ia tahu teror ini belum selesai.
Kemudian ia mendengar langkah kaki mendekat di belakangnya. Perlahan, tanpa menoleh, ia meraih pisau di meja, menggenggamnya erat.
“Chef…” Sebuah suara familiar berbisik dari belakang. “Waktumu sudah tiba.”
Rendra berbalik dengan cepat, pisau terangkat—dan di sana, berdiri Tio, sous-chef yang ia pikir telah pergi.
Tio tersenyum tipis, tatapannya dingin dan penuh misteri. “Kamu pasti tahu apa artinya mise en place, bukan?” katanya pelan. “Ini bukan cuma soal dapur. Ini soal… hidup.”
Sebelum Rendra bisa berkata apa-apa, lampu dapur tiba-tiba padam. Gelap gulita menelan ruangan itu, menyisakan hanya suara napas cepat Rendra dan gemerisik langkah Tio.
Cerita berakhir dengan satu kalimat terakhir di udara:
“Semuanya sudah berada di tempatnya, Chef. Sekarang, giliranmu.”
*****
Editor: Moch Aldy MA