Aku tiba-tiba jadi bernostalgia, seolah umurku tinggal sebentar lagi. Aku sudah sakit-sakitan, tulang-tulang fondasiku sudah mulai dimakan usia. Rayap-rayap sudah melahapku berkali-kali sampai aku harus direnovasi lagi. Namun, kenangan itu tetap berkelindan, muncul dan memeras pikiranku perlahan-lahan. Aku tak punya pilihan lain selain mengeluarkannya dari dadaku, sebelum aku benar-benar rata dengan tanah.
***
Aku dibangun sudah begitu lama, tentu saja. Dinding-dindingku sudah dipoles beberapa kali sampai warna aslinya sama sekali kulupakan. Selebihnya, beberapa bata sudah dipugar dan diganti baru. Mereka-mereka yang keropos menjerit tiap hal itu terjadi, kemudian menatapku dengan tatapan luar biasa sakit, seolah-olah berharap aku melakukan sesuatu untuk mencegahnya. Berbagai warna sudah bertumpuk dan melekat padaku. Tak pernah kusadari bahwa aku sudah setua ini.
Si tua Al hari ini kembali membersihkanku. Sudah bertahun-tahun pula ia mengasuhku, membersihkan debu-debu pada seprai dan selimut putih yang telah dipakai tiap penyewa yang datang. Ia tak lupa pergi ke kamar mandi, membersihkannya dengan perasan lemon yang dicampur sabun. Ia selalu tersenyum kala bekerja. Seolah bersih-bersih adalah pekerjaan paling membahagiakan di dunia.
“Kamu adalah kamar paling tua. Semoga kelak Sang Ajal datang menjemput kita secara bersamaan.” Begitulah kata-katanya kepadaku, seolah tahu bahwa aku sedang mengamati gerak-geriknya.
Akhir-akhir ini pikiranku terasa kosong saja, seperti seorang manusia tua yang siap dijemput kapan saja oleh Sang Ajal. Biasanya aku akan senang menghibur orang-orang yang berada di dalamku, memberi mereka kehangatan, agar mereka merasakan sejenak istirahat total dari hari-harinya yang payah. Namun, akhir-akhir ini, entah dindingku yang mendingin, atau sifat tuaku yang melunjak, aku malah kesepian. Maka tak ada pilihan lain selain mulai mengenang apa saja. Segala yang pernah terjadi dalam hidupku yang sama sekali tak signifikan.
***
Aku sudah lupa siapa saja yang waktu itu ikut membangunku dari campuran bata, beton, semen, dan berlapis-lapis cat kiloan. Dahulu, para kuli itu sering sekali berbagi rokok, sebab upah mereka hanya cukup untuk makan. Aku ingat sekali masa itu, rokok sebatang bisa diisap ribuan mulut yang pastinya tengik. Mengingatnya kembali, ternyata banyak sekali yang ingin aku ceritakan, sebelum semuanya runtuh dan rata bersama debu dari puing-puing tubuhku yang terbengkalai.
Aku ingat sekali dulu pernah muncul sepasang muda-mudi. Aku bahkan masih ingat nama mereka, sebab mereka sebenarnya terlihat sangat serasi dan sering sekali mampir ke dalamku. Toso dan Tini. Entah bagaimana sekarang kabar keduanya. Apakah betulan Tini kini menjadi istri Toso, atau mereka hanya saling menjadi pengalaman pertama untuk satu sama lain. Keduanya waktu itu masih berbau harum. Bau sepasang manusia muda yang pertama kali merasakan cinta.
“Kalau tidak sampai keluar di dalam, nanti tidak hamil, kok,” kata Si Toso ragu-ragu. Kalimat itu ia dapat dari dialog sebuah film horor lokal yang pernah ia tonton. Sebuah film horor yang lebih banyak menampilkan adegan panas daripada teror hantunya.
“Kalaupun hamil juga tidak apa-apa. Yang jelas aku harus dikawini,” jawab Tini, juga ragu-ragu. Ia tak begitu yakin cinta pertamanya itu akan menjadi cinta terakhirnya.
“Iya, kamu tidak perlu khawatir,” bujuk Toso. “Kalau terlanjur hamil, toh semuanya malah akan lebih mudah. Ini ‘kan juga strategi bapakmu dulu sampai sampai bisa menikahi mamakmu.”
Tini tak dapat menyangkal fakta itu. Seisi kampung menjadikan kisah itu sebagai monumen di kepala masing-masing.
Tini mendesah pelan, merasakan kalimat itu lebih dalam. “Ya,” kata Tini. “Ini strategi semua laki-laki yang lahir di desa busuk ini.”
Dan persetubuhan pertama mereka itu pun tak terhindarkan. Jujur saja mereka terlihat sangat kaku dan agaknya tergesa-gesa. Dinding-dindingku, perabotku dan rangkaian benda-bendaku yang menjadi ruangan pun hanya bisa melihat dengan kantuk luar biasa. Mereka tampak saling bersengal-sengal dan berteriak-teriak hanya untuk menyenangkan satu sama lain. Aku sangat ingin menimpali seandainya bisa. Misalnya: “jangan cuma pegang punyamu saja!” atau “tolong pelankan suaranya, semua penonton juga tahu burung dia tidak bertahan lama!” atau “dari mana kau merasa bisa melesapkan kepalamu di kedua dada mungil itu?” dan masih banyak lagi yang sampai akhir hanya bisa kupendam sendiri.
Pasangan muda-mudi itu pun tergantikan dengan pasangan lain, yang masih sama bodoh dan lugu. Tapi gengsi anak muda memang kerap kelewat tinggi, untuk tidak mengakui satu sama lain bahwa mereka sama bodoh dan lugu. Mereka akan bersetubuh dengan satu-dua gaya, lalu si jantan akan kepayahan mengendalikan ekstasi luar biasa untuk pertama kali. Yang betina akan berusaha memuji jantannya agar tak tersinggung, dengan cara menggerakkan pinggul kecilnya meski kaku, lalu berusaha menyentuh dada mungilnya sendiri hanya untuk memuaskan ego pria yang ia tahu tak bisa dinodai barang setitik. Namun, tentu saja seorang tua sepertiku akan tahu bahwa itu hanya bualan. Hanya sedikit manusia betina yang bisa orgasme, apalagi anak belia, apalagi dengan pasangan mereka yang burungnya tidak pernah bisa bertahan dalam tujuh menit pertama.
Aku agaknya sampai merasakan bosan luar biasa menyaksikan persetubuhan manusia muda yang begitu-begitu saja. Namun, aku ingat satu kisah yang lebih seru yang pernah terjadi di dalam tubuhku.
Haji Sanusi namanya. Dia pernah menorehkan kisah yang mendalam di penginapan ala kadarnya ini, terutama di dalamku yang sangat disenanginya, sebab terasa hangat dan mendekap tubuhnya yang selalu merasa sepi. Ia dikenal sebagai sosok ketua RT yang sangat dermawan, bahkan berjuta-juta rupiah ia gelontorkan tiap beberapa waktu untuk pembangunan masjid dan madrasah. Kampungnya bukan di sini. Dia tinggal beberapa dusun dari penginapan ini.
Penginapan ini sangat disenanginya sebab murah dan jauh dari rumahnya. Siapapun tahu bahwa orang kaya gemar mencari kesenangan di luar yang murahan dan kotor, sebab fantasi bangsat mereka tidak bisa terpenuhi dengan kemewahan yang membosankan. Meskipun ia pernah menginjakkan kaki di tanah suci, Haji Sanusi rajin membawa anak SMP ke penginapan kami.
Aku masih bisa merasakan aroma parfumnya yang sangat menyengat yang ia beli sendiri di Mekah saat ia berangkat haji untuk ketiga kalinya. “Paklikmu bilang kalau kamu kelas sembilan?” kata Haji Sanusi kepada gadis berseragam SMP di sampingnya. “Sudah menstruasi, kan?”
“Sudah, Pak,” ujar si gadis. Ia tidak hanya terlihat malu luar biasa, tapi juga ingin menangis, kabur, dan ada hasrat ingin menendang penis pria tua di depannya. Suleni teringat emak bapaknya di rumah. Ah, apa kabar kebun salak mereka yang tidak menghasilkan uang seberapa itu? Bagaimana jika panen-panen selanjutnya betul-betul tidak diterima Pasar Salak Winangun, sebab Haji Sanusi yang merupakan pemilik sebagian besar kios buah di pasar itu kadung kecewa dengan sikap Suleni yang tak menurut. Suleni hanya bisa pasrah memikirkan dampak sebesar itu menghantam kepalanya yang biasanya hanya pusing memikirkan tugas sekolah.
“Kalau begitu kamu harus salat Isya. Sana lekas wudhu. Besok saya antarkan ke pondokmu lagi, tidak usah berangkat sekolah dulu, ya.”
Kemudian mereka pun salat berjamaah, disusul oleh tawaku yang menggema dan didengar oleh kamar-kamar lainnya. Kamar 102 dan 103 pun hanya tersenyum mahfum. Mengingat mereka pun agaknya bernasib sama sepertiku, menjadi kamar yang suaranya tak bisa didengar. Kami hanya tergelak bersama. Lama-lama aku sampai hafal kebiasaan kawin Haji Sanusi itu seperti apa. Pertama, dia akan mengajak santrinya yang paling bisa dimanfaatkan. Kedua, rukunnya menjadi begini: salat, kawin, berdoa. Entah tuhan mana yang sedang dia ajak kompromi soal dosa, yang jelas pemandangan itu benar-benar tolol di mataku.
Selain Haji Sanusi yang tolol itu, aku mengenal seseorang yang selalu baik padaku. Selepas menginap di dalamku, ia akan melipat seprai dan selimut, menepuk-nepuk bantal sampai mengembang lagi, dan membersihkan kamar mandi. Aku menyukai Susi Sinta sejak dia pertama kali melacur.
Susi hanyalah wanita biasa sampai sang suami meninggalkannya. Penghasilan dari jualan angkringan yang tidak laku tentunya sangat tidak mencukupi kebutuhan anaknya. Ia kemudian melacur sejak anaknya sudah tidak memerlukan ASI. Aku mengingat wajahnya sejak persetubuhan pertamanya dengan seorang pria yang menyewanya dengan beberapa ribu rupiah saja. Ia hendak menangis waktu itu. Itu adalah duka dari seorang perempuan yang tidak akan pulih sampai kapan pun.
Lima belas tahun yang lalu Susi Sinta memasukiku bersama seorang bocah laki-laki yang kutaksir masih SMA. Perawakannya kecil, sangat kecil, sampai aku yakin bokong Susi Sinta bisa meremukkan burungnya jika mereka benar-benar bercinta. Susi Sinta mengajak bocah itu duduk di kasur, kemudian aku memasang telinga baik-baik dan merenungi percakapan mereka.
“Kenapa ayahmu menyewaku, tapi justru kamu yang datang?”
Bocah itu tidak menjawab. Ia hanya menundukkan kepala dan menggelungkan kedua kakinya sampai lututnya bisa ia peluk. Susi Sinta kemudian menghela napas, “Si Tupon bapakmu itu tidak tahu apa-apa. Aku mengenalmu, Sandi. Aku tidak akan memaksamu untuk melakukan sesuatu yang tidak kamu mau.”
“Mungkin setelah aku melakukannya dengan Mbak Susi, aku akan sembuh.”
“Sembuh dari apa?” Susi Sinta menghela napas.
Aku mengingat wajahnya saat itu. Wanita yang lukanya tak akan pernah lagi pulih, mencoba tak membuat luka lain di diri seorang remaja yang tak tahu apa-apa. Aku mengingat betapa ia membenci percakapan mereka yang hanya pernah terjadi sekali seumur hidup itu.
“Apa kamu merasa di dalam dirimu ada yang rusak? Apa kamu tak bisa lagi bahagia hanya karena tidak bisa melangsungkan hari ini bersamaku? Kalau kamu menyukai sesuatu, ayahmu tidak berhak mengaturmu untuk tidak menyukainya. Nikmati malam ini untuk bebas dari bapakmu itu. Kamu bisa teruskan berkirim pesan dengan laki-laki itu. Semoga dia juga anak yang baik.”
***
“Kau hendak dipugar hari ini, 104. Kau tahu itu, kan?”
Al, si tukang bersih-bersih yang setua diriku itu sedang membersihkanku lagi. Rambutnya yang sudah memutih mengingatkanku pada dindingku yang sudah keropos.
“Kau menyimpan semua rahasia yang terjadi di sini,” kata Al kepadaku. “Aku ingin bernostalgia hari ini dengan beragam cerita yang pernah kita alami bersama. Sejak pembangunan pertama, ketika Haji Sanusi sering kemari dan menjadi pelanggan kita sampai ia betul-betul tidak bisa berdiri lagi. Kemudian ada Susi Sinta yang manis dan baik. Dan banyak juga bocah-bocah yang melepas kepolosan mereka di sini. Apa kau mengingatnya juga?”
Tentu saja aku mengingat mereka, Pak tua. Hari ini aku akan dipugar. Bupati baru tidak ingin ada bangunan penginapan tua yang di dalamnya penuh maksiat. Sang bupati, dengan jenggotnya yang lebat itu, kemarin marah-marah di sini, tepat sehari setelah pelantikannya, ia sudah mulai “bersih-bersih”.
“Ke mana kau akan pergi, Al?” tanyaku pada Al. Meski tahu dia tak mungkin mendengar suaraku.
“Aku sudah selesai di sini. Tidak punya rencana lagi,” kata Al tiba-tiba, seolah mendengarku. “Aku sudah tua. Aku sudah menambang hidup di sini. Anakku bisa berkuliah meski dari duit yang entah berasal dari mana. Mati sekarang pun aku tak masalah.”
“Aku berharap kau akan baik-baik saja,” kataku. “Pemugaran ini bentuk yang palsu. Nantinya akan dibangun penginapan yang baru lagi, dengan nama yang baru lagi, dengan topeng yang baru lagi. Kurasa aku tak mungkin bisa mati dan tenang sepertimu, Al. Tidak bisa benar-benar pergi, karena dunia selalu memperbarui aku dalam bentuk yang lain. Manusia selalu membutuhkan tempat untuk menyembunyikan diri mereka yang sebenarnya.”
***
Editor: Ghufroni An’ars