Perempuan Madura

Catatan Seekor Nyamuk

Ofa Mudzhar

3 min read

Setiap hari, ah tidak, setiap detik maut mengejar kami. Manusia itu benar-benar tak punya simpati, tak pernah barang semenit pun dia membiarkan kami menghirup udara bersih.

Dia menyebut itu obat, alih-alih racun. Masih mending bau keringat dan ketiaknya yang kecut, bau racun yang menguar dari benda yang tak pernah lepas dari colokan listrik itu telah membunuh banyak kawan kami. Kematian menjadi peristiwa yang kami lihat setiap hari.

Mungkin manusia memang begitu, dia akan menyingkirkan apa pun yang tidak dia sukai; kami satu di antaranya. Aku tak mengerti mengapa dia tak pernah mematikan racun tersebut, padahal dia lebih banyak menghabiskan waktu di luar daripada di kamar ini.

Sebegitu bencikah dia pada kami?

Kalau bisa memilih, aku tak ingin jadi hewan yang hidupnya berdekatan dengan manusia. Aku ingin menjadi… cicak mungkin? Sepertinya, hidup cicak lebih tenang dan panjang. Meskipun dia tinggal di kamar ini juga, aku tak pernah melihatnya gelisah, apalagi ketakutan.

Ia selalu tersenyum dengan bola mata bulat yang berbinar. Manusia pun sepertinya tidak pernah peduli pada keberadaan cicak. Tapi cicak tak jauh berbeda dengan manusia; ia memburu kami. Mungkin di luar sana ada hewan lain yang lebih baik dan aku ingin menjadi hewan itu.

Di kehidupan yang pendek ini, aku berangan-angan, seandainya ada pengadilan hewan dan manusia, aku akan melaporkan Sara, perempuan berambut kumal itu, atas pelanggaran HAM (Hak Asasi Makhluk). Perkaranya sudah jelas, dia merampas hak nyamuk untuk menghirup udara bersih di kamarnya yang menjadi tempat tinggal kami.

Aku tiba di kamar Sara ketika umurku tiga hari, pada suatu malam yang basah akibat hujan yang tak kunjung reda, dan Sara lupa menutup jendelanya. Aku terbang melarikan diri bersama kawananku dari katak-katak yang mengambil alih kolam kecil di bawah jendela kamar Sara, tempat kami berkembang biak.

Awalnya aku bersyukur bisa selamat dari keplakan hewan berlidah panjang itu. Namun, setelah beberapa saat masuk ke kamar gelap Sara, ternyata maut juga ikut melarikan diri bersama kami, dan kini ia sedang menunggu siapa di antara kami yang akan mati. Kukira, ia tertinggal di kolam tadi.

Kami hanya melarikan diri dari ancaman maut menuju ancaman maut lainnya. Saat itu aku tak mengerti. Maksudku, apa itu kehidupan? Mengapa kami diberi kehidupan bila kematian sangat dekat seperti napas kami sendiri? Atau mungkinkah bernapas itu bukan tentang kehidupan, tetapi kematian?

Kamar ini lebar, tetapi terasa sesak. Ada banyak barang berserakan di lantai dan di atas meja dan di atas kasur tepat di samping bantal. Aku mengamati isi ruangan ini untuk mencari tempat bersembunyi. Hanya ada dua tempat aman bagi kami, yakni di belakang lemari dan di sela-sela baju bau yang digantung. Tetapi kami harus tetap waspada karena ada cicak yang siap melahap kami hidup-hidup.

Pernah suatu hari, entah mengapa banyak sekali cicak datang kemari. Kami tak melakukan apa-apa di jaket tebal dan bau itu saat tiga nyamuk yang pergi berkeliling, dan hanya satu yang kembali. Dia bilang bahwa kawannya dilahap cicak. Dan tak lama dari itu, tiga cicak datang sambil menjulurkan lidahnya.

Kami terbang panik, tak sempat memikirkan keselamatan yang lain. Hari itu banyak kawanku yang hilang. Setelah peristiwa tersebut, cicak-cicak jadi lebih sering datang. Tak ada tempat aman lagi dan kami tak punya kesempatan untuk berdiam diri. Kami jadi lebih sering terbang tanpa tujuan, mengitari kamar–dan kematian–mencari udara yang tak begitu berbau racun.

Kadang aku mencoba membunuh diriku sendiri dengan mendekati tempat-tempat yang bau racunnya sangat kental. Setelah kekasihku meninggal, aku hanyalah nyamuk jantan yang kehilangan sayap. Aku tak sanggup terbang lagi. Aku ingin mati, tapi sialan si maut, ia berhenti mengejarku. Jadi aku yang mengejarnya, tapi sialan si maut, ia melarikan diri entah ke mana.

Racun itu cuma membuatku pingsan beberapa saat. Dan ketika aku terbangun, aku melihat peristiwa serupa terjadi di depan mataku: para betina yang wajahnya pucat dan tubuhnya kaku dan para jantan yang hanya memandang jauh, terpaku. Namun, aku merasa para jantan itu beruntung melihat tubuh kekasihnya yang mati masih utuh, daripada kekasihku.

PLAK! Suara yang kudengar sebelum melihat tubuh kekasihku rubuh selalu terngiang-ngiang. Suara itu membuatku selalu merasa kematian kekasihku baru saja terjadi dan betapa menyakitkannya perasaan itu.

Tiga malam yang lalu, entah sebab apa udara menjadi bersih, tak ada bau racun sedikit pun. Kami amat bersyukur malam itu bisa terbang mengitari kamar.

Aku dan kekasihku pun menghampiri Sara untuk mengisap darahnya supaya kekasihku dapat bertelur. Sudah banyak nyamuk betina lain yang mengerubungi kaki telanjang Sara yang sedang duduk di kursi. Semakin banyak, kian bertambah.

Senangnya bukan main saat kekasihku berhasil hinggap di betis Sara lalu menusuknya dengan jarum. Membayangkan kekasihku akan bertelur banyak, saat itu juga aku ingin kehidupan yang panjang.

Namun sayang, anganku empas bersama tubuhku yang jatuh ke lantai. Nyamuk-nyamuk betina kalang-kabut. Aku terbang lagi agak sempoyongan, mencari kekasihku di antara wajah-wajah ketakutan.

Suasana di sekitar kaki Sara tiba-tiba senyap. Plak, plak, plak. Suara apa itu? Mengapa para betina lari ketakutan dan tak ada kekasihku di antara rombongan?

Ya Tuhan. Tak kutemukan mata lentik dan bibir manis seperti nektar milik kekasihku. Kakinya patah, sayapnya entah, tegeletak berdarah di samping kaki Sara.

Kupahami betul bahwa kematian amat dekat dengan kehidupan, tapi tak kutahu bahwa sedekat ini, lebih dekat daripada napas. Bagaimana aku menggambarkannya?

Kekasihku telah mati. Dan maut pergi entah ke mana. Berhari-hari aku mencarinya, aku ingin mati juga. Sialan betul, maut. Dia bersembunyi entah di mana. Tolong carikan maut. Titip salam untuknya, kutunggu di samping racun.

***

Catatan itu kutemukan dalam saku jaketku yang sudah dua bulan tak kucuci. Namun sampai saat ini aku masih bertanya-tanya, apakah itu mimpi atau nyata? Pasalnya, ingatan itu seperti hanya sekelebat, tapi kesan saat membacanya sangat melekat. Juga betapa tak masuk akal ada seekor nyamuk yang menulis cerita? Obituari? Namun, entah mimpi atau nyata, aku ingin catatannya dibaca manusia.

Setelah membaca suratnya, aku dilema. Perlukah menggunakan obat nyamuk atau tidak malam ini? Tapi, mereka memang mengganggu, bikin gatal dan suaranya menyebalkan. Aku pun bertanya-tanya, mengapa Tuhan menciptakan nyamuk?

***

Editor: Ghufroni An’ars

Ofa Mudzhar
Ofa Mudzhar Perempuan Madura

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email