Nenek moyang kita bukan pelaut, tapi ketiadaan.

Apa yang Seharusnya Kita Makan?

Rido Arbain

1 min read

Meski disebut aturan, apa yang ditulis oleh Michael Pollan dalam Food Rules: An Eater’s Manual (2009) sebetulnya bukanlah kaidah hukum yang baku. Aturan Pollan lebih seperti kebijakan pribadi untuk makan atau mengonsumsi makanan dengan baik dan bijak. Ia meringkasnya dalam tujuh kata: “Eat food. Not too much. Mostly plants.

Makan makanan.
Jangan kebanyakan.
Sebagian besarnya tumbuhan.

Sebagai seorang jurnalis sekaligus peneliti mengenai pengaruh sosial-budaya terhadap makanan, tak semua dari 64 aturan yang dirangkum Pollan merupakan gagasan pribadinya, melainkan sebagian besar ia kurasi dari pelbagai kearifan lokal, pola makan tradisional, hingga nasihat nenek buyut. Walaupun bukan ahli gizi atau ilmuwan, jawaban Pollan untuk pertanyaan “apa yang sebaiknya kita makan?” sedikit banyak membantu kita memetakan serta memahami lebih dalam apa yang seharusnya kita makan.

Baca juga:

Pada bagian “makan makanan”, secara literal kita akan berbicara tentang makan makanan yang benar-benar dapat dikenali, bukan sesuatu yang dalam istilah Pollan ialah benda mirip makanan yang bisa dimakan. Jika kita tak dapat membayangkan sesuatu tumbuh alami di alam, apakah itu benar-benar bisa disebut makanan? Maka, tantangan makan sehat kita hari ini adalah memilih makanan asli dan menghindari produk baru industrial.

Dalam merumuskan aturan tentang makan, sepertinya Pollan sengaja menghindari aturan saklek yang mendominasi sebagian besar perdebatan soal makanan. Alih-alih menyuruh pembacanya menjadi vegetarian, ia malah memberi saran “makanlah sebagian besarnya tumbuhan”. Jika kita pemakan daging, “makanlah hewan yang makan dengan baik”. Dan, meski lebih gampang mengatakan “makanlah makanan organik”, ia justru berpesan “makanlah makanan yang ditumbuhkan dengan baik dari tanah sehat”.

Banyak saran dalam buku ini yang sudah kita ketahui, tetapi seringnya gagal kita patuhi, seperti “berhenti makan sebelum kenyang” atau hindari ngemil di antara waktu makan. Ia juga berpesan “makanlah saat lapar, bukan saat bosan”. Kalaupun merasa harus mengunyah sesuatu saat menonton film atau ketika dalam perjalanan jauh, kita diberi solusi praktis untuk memilih konsumsi makanan alami seperti buah atau kacang—dan jelas bukan snack.

Kemudian, menarik ketika Michael Pollan sempat menyinggung tentang kebijakan S, yang sebelumnya pernah dimuat dalam buku The No-S Diet (2008) karangan Reinhard Engels dan Ben Kallen, yakni konsep diet dengan tiga aturan sederhana: no snacks, no seconds, no sweets—except on days that begin with the letter S (Saturday, Sunday, and Special days).

Memang bagi kebanyakan dari kita, makan kadang tak ada hubungannya dengan rasa lapar. Sering kali kita makan karena bosan, butuh hiburan, butuh kenyamanan, atau untuk menghadiahi diri sendiri (self-reward). Maka, kita diminta untuk menyadari kembali alasan kita makan dan menanyakan kepada diri sendiri apa kita benar-benar lapar sebelum dan selagi makan.

Baca juga:

Ada hal-hal yang membebaskan dalam pendekatan 64 aturan makan ala Michael Pollan, dan hampir seluruhnya disampaikan secara jujur ​​terhadap spektrum pengalaman manusia—terutama karena aturan terakhir dalam buku ini berbunyi “langgarlah aturan sekali-sekali”. Sebab, menurutnya, terobsesi dengan aturan makanan itu buruk bagi kebahagian kita dan barangkali bagi kesehatan kita juga.

Terlepas apa pun itu, untungnya buku ini cocok untuk saya—dan mestinya kita semua. Mungkin saya tak akan mengikuti semua aturannya, tetapi jika seluruh dunia mengamini ringkasan tujuh kata versi Pollan secara universal, pasti kita akan jauh lebih dekat dengan pola makan sehat yang berkelanjutan, sekaligus menjadi pemakan yang lebih bijak.

 

Editor: Emma Amelia

Rido Arbain
Rido Arbain Nenek moyang kita bukan pelaut, tapi ketiadaan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email