Penggemar berat Sapardi Djoko Damono dan sangat mendukung kasusatran Indonesia. Saya memahami bahwa menulis adalah bagian dari hidup dan ruang bagi kita untuk dikenang orang.

Buruh-Buruh Sore dan Puisi Lainnya

Agus Musthofa Ali

1 min read

Buruh-Buruh Sore

Jam-jam yang memakan kami,
pada kepala yang cari rumah
yang nyatanya menjadi asing
anak-anak kami melupa wajah
Bapaknya.

Langit melepuh kehitaman
menyuruh kami meminum keringat asam
yang diperas kokoh mesin-mesin panas
tersudut penuh karatan

Kota pun memahami isi kepala,
kami dikerumuni aroma dapur dan kamar sepetak
yang lupa tersentuh kemoceng pemberian teman
dan debu berubah fosil terancam waktu
tertimpa kecemasan-kecemasan lama yang baru

Nasi tercampur logam berat
dipaksa masuk ke perut
dengan rayuan dengan raungan kelaparan
pun air minum rasanya serupa air seni
adalah biasa yang terlalu biasa
kelelahan-kecoklatan
dari sana kami melihat lelah menjadi murah
kesakitan menjadi lumrah.

Asalkan Bapak pulang membawa dolar.

(Yogyakarta, 2017)

Ladang Suburku (Gagal)

Membawa ladang ke otak kiri
terbenam subur bakat masyhur
disiram rinai pelupuk yang basah lengket
demi menawarkan hasil ladang untuk kampeni

Apapun hasilnya, kata ladang tetangga:
“yang subur bisa mati suri, atau mati abadi.”
“yang layu dan gersang bisa seolah-olah membumi.”

Sekuat air laut diguyurkan, dijenuhkan tirtanya
sekuat cahaya memulihkan makanan di daunnya
sekuat vitamin dari negeri seberang diimporkan
ladangmu hanya untuk dinikmati sendiri

Apapun hasilnya, kata ladang tetangga:
“harapan yang dipertontonkan mutlak gagal.”
“rindu untukmu sendiri dikucilkan.”

Padamkan ekspektasi yang tercuri dari mimpi
relakan ladangmu yang tak dilirik mata peri
ini negeri yang membuang emas demi tembaga
hanya orang dalam yang paham maksudnya.

(Kediri, 2020)

Pisang Coklat Malam Minggu

Pintu tergerit kuku yang basah
mata menelan letak kursi asimetris
bincang-bincang diendus jelaga
karena tak ada mulut lain di dalamnya

sepasang semut menuruni jati yang keropos
bertanya kabar apa pemilik sudah datang
bersiap kabur jika geraknya meresahkan
biar beradu dengan remang bohlam lima ribuan

Biar tak diremehkan tembok-tembok,
kresek hitam digenggaman saksinya
lonjong-lonjong coklat lumer beraroma penyesalan
dibeli karena gengsi pada tatap hiasan dinding
yang kerap menertawakan

Ini minggu kesekian menelantarkan rupiah
demi kebiasaan mengalibikan kerinduan
yang terpanggang di rongga kepala nomor sekian
diunduh kekhawatiran pada seok kesendirian

Sepasang semut bosan,
kenapa manis pisang yang selalu ditawarkan
apa sudah hina hingga tak pernah membawa Hawa.

Nyatanya, hanya lonjong-lonjong coklat lumer yang selalu Adam bawa.

(Pasuruan, 2022)

Oktober

Jendela tua pada matamu
rapuh kayu di ingatanmu
berkeliaran rindu tak tentu
hari-hari tak punya tuju
oktober tak sepanjang kemarau, sayang
tapi panasnya membakar umur kita.

(Blitar, 2021)

Asing

Bapak tua mengayuh harapan di pundak aspal yang pernah meleleh lalu mengering. Dipukul-pukulnya kepala belakang terasa nyeri seperti hendak terbelah dua. Matanya tajam menakar ratusan butir beras yang akan menari dan mengisi pori-pori. Rindu tak tahu kapan harus berhenti sedangkan retak kaki menuntut diadili.

Daun pun segan jatuh pada telapak yang keras dan beralur sungai, berantakan seperti tak pernah disinggahi. Nyaris membatu merekam pilu yang padat membunuh. Matahari penghasil silau pun ikut silau menatap derita bercahaya, hening seluruh kawanan burung lupa cara terbang. Terharu lalu terjatuh.

Maka, bapak tua menambal dunia dengan cara memakan gambar, entah pisang atau ayam goreng yang berhenti tertawa ketika dipandangnya. Getir sayup-sayup melodi Tuhan membawa asing kehidupan. Pedahal, terasa asing di tempatnya berpijak adalah kemustahilan.

Biar, aspal merakit retaknya sampai matahari melelehkanya lagi. Biar untuk kesekian kali aroma bapak tua tak pernah tercium mersi. Di tanah bulat hampir lonjong ini, bapak tua asing di tanah sendiri.

Dan hanya menunggu mati.

(Pasuruan, 2021)

*****

Editor: Moch Aldy MA

Agus Musthofa Ali
Agus Musthofa Ali Penggemar berat Sapardi Djoko Damono dan sangat mendukung kasusatran Indonesia. Saya memahami bahwa menulis adalah bagian dari hidup dan ruang bagi kita untuk dikenang orang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email