Bonsai

Nirmata Wanalema

5 min read

Sesampainya di kantor pagi ini, aku melihat seorang pramukantor baru yang tak kuketahui namanya menaruh sebatang bonsai di sudut ruang kerjaku. Bonsai itu kira-kira setinggi lututku, tumbuh di dalam sebuah pot bulat berwarna semen. Ia memindahkan beberapa pot tanaman lama dari taman ke ruang-ruang karyawan atas perintah kepala taman.

Entah hanya perasaanku saja, atau memang bonsai itu berbau agak tengik. Kulihat daun-daunnya yang kecil-kecil. Hijau tua seperti terbuat dari plastik yang digunting-gunting dari bekas botol minuman bersoda. Batangnya mengular dan cabang-cabangnya yang banyak itu disangga dengan kawat yang sudah karat.

Orangtuaku punya toko tanaman hias ketika aku masih kecil. Tapi aku hanya sebatas tahu bahwa setiap pagi dan sore hari tanaman dagangan itu harus rutin disirami agar tidak mati. Selebihnya, yang kutahu bisnis tanaman hias bukan ide cemerlang di tengah desa di mana setiap orang dapat menanam apa pun sendiri di halaman rumah mereka. Lagipula di masa itu orang-orang di desaku jauh lebih membutuhkan beras dibanding menggunakan uangnya untuk membeli tanaman hias. Dulu orangtuaku juga membuat dan menjual bonsai. Tapi sangat mungkin aku lupa apakah setiap bonsai memang berbau tengik atau ini hanya perasaanku saja.

Bisa jadi bau tengiknya muncul karena usia bonsai itu sudah kelewat tua. Tapi bukannya bonsai bisa hidup hingga ratusan tahun lamanya? Bisa jadi bau tengiknya muncul dari kawat penyangga yang telah karat. Kulihat kawat itu masuk menekan batang si bonsai tua. Bisa jadi karena tanah atau pupuknya juga. Siapa yang ingin berumur panjang tapi badannya bau tengik? Tapi sepertinya banyak orang sekarang rela melakukan apa pun agar bisa awet muda dan berumur panjang. Mungkin bau tengik hanyalah satu risiko yang tak seberapa untuk bisa berumur panjang. Siapa yang tahu?

Kalau aku ditawari untuk bisa berumur panjang dengan risiko badanku jadi bau tengik, sepertinya aku akan lebih memilih dijemput malaikat maut di usia muda saja. Lagipula, lihat saja bonsai tua itu. Aku menduga taman kantor ini bukanlah rumah pertamanya. Entah sudah berapa taman yang pernah dia singgahi. Entah cuaca seperti apa saja yang pernah ia alami selama hidupnya.Entah sudah berapa kawan yang meninggalkannya mati duluan. Aku membayangkan si bonsai tua di hadapanku ini menceritakan kisah-kisahnya kepadaku hingga ia muak dengan ceritanya sendiri. Aku jadi membayangkan si bonsai tua mengeluh ingin pensiun, tapi takdir mengutuknya jadi bonsai seumur hidupnya. Tapi apakah mati muda bisa meredakan derita? Entahlah. Aku jadi membayangkan bertemu arwah adikku untuk kemudian kutanyakan bagaimana rasanya mati di usia 21.

Adik laki-lakiku mati secara mendadak pada suatu pagi, beberapa tahun lalu. Aku, Ibu, dan Bapak sama sekali tak saling bicara bahkan setelah setahun lewat hari kematiannya. Ya tentu saja kami kadang-kadang masih bicara untuk suatu hal yang benar-benar perlu. Misalnya untuk urusan siapa yang harus membayar tagihan asuransi setiap bulan, tagihan listrik, urusan genteng bocor, tembok rembes, lantai keropos, dan lain-lain. Tapi kami tak pernah benar-benar berani bertanya tentang perasaan masing-masing selepas kepergian adikku.

Saat aku masih tinggal bersama kedua orangtuaku, aku kerap mendapati Ibu terduduk pagi-pagi sekali di anaktangga pertama, tangannya memegang sapu, tapi dari belakang kulihat bahunya gemetar, suaranya terdengar lirih menahan tangis. Sementara Bapak, aku tak pernah benar-benar tahu di mana tempatnya membuang air mata. Bapak memang orangnya lebih banyak diam. Mungkin baginya air mata adalah simbol kelemahan yang tak mau ia tunjukkan kepada siapapun termasuk keluarganya. Orang seperti Bapak, air matanya mungkin turunnya ke dalam. Membanjiri kepala dan dadanya yang besi. Mengingat hari-hari duka itu, menyadarkanku bahwa bagaimanapun kematian seseorang sama sekali tidak mengakhiri derita. Deritanya hanya berpindah, dari orang yang pergi, ke orang yang ditinggalkan. Justru berlipat ganda. Tentu saja yang paling sulit adalah menerima kenyataan bahwa setiap orang harus hidup berdampingan dengan derita itu sepanjang hidupnya. Sulit untuk menerima bahwa derita adalah bagian dari hidup yang tak mungkin kita hindari.

Kematian terasa begitu nyata saat malaikat maut mengetuk pintu rumahmu, untuk menjemput salah seorang anggota keluarga. Tapi kematian terasa begitu hambar saat malaikat maut menjembut salah seorang karyawan di tempatmu bekerja. Rasanya seperti melihat seorang pramukantor mengganti bunga hias yang layu dari atas meja kerja dengan bunga hias baru yang masih wangi dan lebih muda.

Seingatku baru dua minggu yang lalu salah seorang karyawan di kantorku meninggal dunia. Menurut keterangan keluarganya, beliau memang sudah lama mengidap beberapa penyakit yang menyebabkan komplikasi. Aku dan beberapa rekan kerja ikut melayat ke rumah mendiang. Manajerku dan khususnya perwakilan manajemen kantorku mengirimkan papan bunga sebagai tanda belasungkawa. Sebelum jam makan siang, kami sudah kembali di kantor. Pukul 13.00 manajerku yang sedang di luar kota memberi arahan melalui surel, supaya kami para karyawan membantu mencarikan pengganti untuk posisi mendiang yang pagiitu baru berpulang.

“Saya juga disuruh mengganti bunga meja yang sudah mati, Pak. Saya masih ada aglonema kalau Bapak suka,kata pramukantor yang belum kuketahi namanya itu sebelum dia buru-buru pergi mengambilkan bunga yang namanya saja asing bagiku. Ya, bunga yang mati memang harus segera diganti, agar ruangan bisa tetap segar dan suasana kerja tidak terganggu. Seandainya semua kematian sehambar ini. Sembari mengenang hari-hari duka di kampung halaman, tanpa sadar aku bergumam sendiri.

Mengenang kampung halaman tidak membuatku memahami apa yang dirasakan mendiang adikku. Apakah jika punya kesempatan, dia ingin hidup lebih lama? Seingatku dia benci semua orang semasa hidupnya. Dia benci kenyataan bahwa ada tetangga yang setiap hari berangkat kerja dengan mobil dan berpakaian rapi sementara ibu-bapaknya malah sibuk mengaduk tahi kambing, kulit gabah dan tanah saban pagi. Meski begitu, pernah suatu kali waktu baru lulus SMA adikku bercerita ingin merantau. Katanya dia ingin menabung dan punya mobil sendiri. Itu satu-satunya momen aku mengetahui keinginannya. Selama ini aku hanya tahu segala yang ia benci saja. Setelah kematiannya, malah aku yang pergi merantau untuk mencari kerja, seolah ada tanggung jawab bagiku untuk melanjutkan cita-citanya kepada kedua orangtuaku.

Memikirkan kampung halaman, entah bagaimana, aku jadi merasa wajah pramukantor itu punya kemiripan dengan adikku.

“Cari pengalaman dan mudah-mudahan bisa nabung untuk masa depan, Pak.” Sembari merapikan daun-daun merah aglonema yang ia bawa, pramukantor itu bercerita, saat kutanyakan alasannya merantau dari kampung halamannya.

Semua orang memang pergi ke kota ini untuk mengadu nasib. Meski tentu saja tak semuanya bernasib baik. Bagiku sendiri, nasib baik manusia itu sama acaknya seperti nasib bunga-bunga. Ada yang berparas indah namun singkat umurnya. Lekas dipetik sebagai dekorasi atau papan bunga untuk sehari saja. Adapula yang berumur panjang, tapi harus rela hidup dipasung kawat berkarat seumur hidupnya. Seperti bonsai tua di hadapanku ini.

Jika punya pilihan, apakah bonsai tua ini akan tetap memilih menjadi bonsai? Atau dia mungkin lebih memilih jadi mawar yang sekali berarti sudah itu mati? Jadi teratai pun cukup berguna hidupnya. Sementara bonsai, tampak seperti jalan-cari-aman dari hidup yang penuh tantangan. Betapa bonsai adalah tumbuhan yang membosankan jika dibandingkan mawar, teratai, rumput liar, bahkan gulma. Ketika tumbuhan lain berusaha membebaskan diri dari batas-batas wilayah dan jenistanah, untuk mencari air dan hidup yang lebih baik, bonsai hanya harus tabah menerima takdirnya: berumur panjang tetapi kerdil sepanjang usia.

“Kalau butuh sesuatu, bisa panggil saya, ya, Pak,” kata pramukantor muda itu setelah dia memperkenalkan dirinya. Aku mengangguk dan sedikit takjub pada semangatnya. Mungkin karena ini pekerjaan pertamanya, dan dia baru bekerja beberapa hari di sini.

Semua karyawan baru mulai bekerja dengan niat saling membantu, sampai mereka sadar bahwa semua orang yang ada di dalam perusahaan adalah pesaingnya, yang rela melakukan apa saja untuk saling menyingkirkan satu sama lain. Dalam situasi seperti ini, sikap baik sama sekali bukan pilihan yang bijak jika niat awalmu adalah untuk bertahan hidup lebih lama di sini. Sayang aku tak tega menyampaikan kebenaran sekejam ini kepada pramukantor baru itu. Semoga dia cepat belajar.

Lagipula kebutuhan apa yang bisa dia bantu untukku? Kalau hanya untuk titip beli makan siang atau buat kopi, aku bisa lakukan sendiri. Jika didesak harus minta tolong kepada orang lain, aku lebih butuh dibantu terkait regulasi perusahaan yang banyak merugikan karyawan.Mulai dari lemburan yang tak dihitung, beban kerja berlebih, sampai nepotisme untuk memasukkan sanak famili dalam jabatan yang tidak masuk di akal. Tentu saja hal semacam itu tak mungkin dilakukan seorang pramukantor. Bahkan karyawan senior sepertiku pun tak cukup punya suara. Aku juga tak ingin dianggap tolol untuk berharap pada serikat pekerja atau dinas tenaga kerja.

Tapi kalau dipaksa untuk minta bantuan yang lebih sepele untuk sekarang ini, dan kalau boleh agak kurang sopan, aku ingin minta tolong agar bonsai tua itu dipindah saja dari ruanganku. Aku rasa bau tengiknya semakin nyata membakar hidungku. Baunya pelan-pelan seperti menggerayangi tubuhku, membuat dada dan perutku seperti dirambati akar yang keras dan dingin. Permukaan akar yang kasar itu seperti memaksa sekujur tubuhku untuk mengikuti ke mana liuknya bergerak. Bau dan gatalnya semakin lekat di tubuhku. Aku jadi tak bisa fokus ketika seseorang meneleponku melalui sambungan kantor. Belum lagi dering notifikasi pesan yang mulai memburu ketika kubuka aplikasi pesan singkat melalui laptopku. Seseorang tiba-tiba mengetuk pintu ruanganku tapi aku sedang sibuk menggaruk tubuhku yang gatal-gatal. Dadaku terasa semakin sesak dan aku tak bisa bernapas.

Kurasakan benjolan serupa akar panjang menjalar di dadaku. Ketika kubuka satu persatu kancing kemejaku, kudapati kawat besi sebesar jari bergerak melilit tubuhku. Sementara itu, suara ketukan pintu, notifikasi pesan, dan teleponku terus bersahutan tiada henti.Kucoba meraih sekaplet pil dari laci mejaku, tapi bonsai tua di sudut ruangan itu menahan lenganku dengan cabangnya yang terus bertumbuh dan bertambah. 

***

Editor: Ghufroni An’ars

Nirmata Wanalema

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email