Suryo menyerahkan beberapa gepok uang yang telah ia kumpulkan susah payah. Hampir tiga tahun Suryo kerja tak kenal waktu demi melunasi utangnya. Marni menerima uang pemberian Suryo dan mulai menghitung lembaran-lembaran uang lusuh yang semula terikat karet. Mulutnya bergumam mengucap jumlah lembaran yang ia genggam. Jari-jarinya gesit berpindah dari satu lembar ke lembar berikutnya. Wajahnya nampak puas ketika sampai pada lembaran terakhir.
“Matur nuwun, Pak Suryo. Jumlahnya sudah pas. Kalau butuh dana cepat, jangan sungkan hubungi saya lagi.” Senyum Marni merekah.
Suryo melemparkan senyum getir dan mengangguk. Amit-amit, jangan sampai untuk kedua kali dia mengulang cerita yang sama, batinnya dalam hati. Suryo bergegas pamit dan menyalakan motor bututnya. Dalam hati ia bersumpah, tak akan lagi-lagi berurusan dengan Marni, seorang rentenir di desanya.
***
Tak pernah terpikirkan dalam benak Suryo untuk meminjam uang dari seorang rentenir. Namun, kematian Bapak yang mendadak membuat keluarga Suryo dalam kesulitan. Ia tak menyangka biaya prosesi kematian begitu besar. Rentetan tradisi harus mereka jalankan untuk mengantarkan Bapak ke tempat peristirahatan terakhir dengan tenang.
Di kampung Suryo, setiap kali ada orang meninggal maka keluarga mendiang mengadakan slametan mitung ndina (peringatan kematian hari ke-tujuh), matang puluh (peringatan kematian hari ke-empat puluh), dan nyatus (peringatan kematian hari ke-seratus). Slametan ini memiliki makna permohonan, doa, dan harapan agar perjalanan ruh untuk bertemu Sang Pencipta diberikan kemudahan dan keselamatan. Orang-orang akan mengirimkan doa-doa kepada mendiang saat slametan.
Kebiasaan di kampung Suryo, orang-orang akan menetap di rumah keluarga yang ditinggalkan di hari pertama. Setelah itu, selama tujuh hari berturut-turut keluarga mendiang mengadakan tahlilan selepas Maghrib atau Isya. Tuan rumah biasanya menyediakan makanan dan minuman bagi para pendoa. Beraneka ragam makanan disajikan oleh tuan rumah untuk menemani bapak-bapak yang mengaji, seperti cemilan dan makan berat. Tak hanya itu, sebatang dua batang rokok selalu ditunggu untuk melengkapi malam-malam melepas duka.
Jika saja keluarga Suryo berkecukupan, tentu hal tersebut adalah perkara mudah. Tapi sayangnya dengan gaji guru honorer yang tak sampai lima ratus ribu rupiah setiap bulannya, semua tetek bengek itu membuatnya begitu sengsara. Beruntung jika gaji tersebut dibayarkan tepat waktu. Seringnya, Suryo harus menunggu rapelan sampai tiga bulan untuk menunggu gajinya cair. Tak usah jauh-jauh bicara soal tradisi, untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarga saja sulit.
Kerepotan ini bukan hanya Suryo seorang yang merasakan. Suryo sempat mendengar cerita dari rekan kerjanya ada yang sampai berhutang, bahkan menjual aset demi melangsungkan slametan. Hal ini persis seperti yang dialami oleh Suryo sendiri. Belum lagi ditambah omongan tetangga yang seringkali membandingkan keluarga satu dengan yang lain. Membuat orang yang sebenarnya tidak mampu jadi memaksakan diri.
Meski begitu, Suryo masih merasa beruntung lantaran ia mendapatkan istri seperti Sri, wanita yang pengertian dan cukup tahu diri. Sebagai ibu rumah tangga yang sibuk mengurus dua anak dan mertua, Sri berinisiatif membuka warung kecil-kecilan di rumah demi membantu perekonomian keluarga. Setidaknya, Sri bisa memberikan uang saku kepada kedua anaknya yang masih sekolah dari hasil berjualan. Sekaligus membayar biaya berobat ibu mertuanya setiap bulan.
Tanggung jawab Suryo tidak berhenti sampai istri dan anak-anaknya saja. Sebagai anak sulung, Suryo mendapatkan tanggung jawab lebih untuk mengurus kedua orangtuanya yang sudah lanjut usia. Adik-adiknya tak menyanggupi tawaran Suryo untuk memboyong kedua orang tua mereka.
“Mas wae tho sing ngurus bapak dan simbok. Kan Mas Suryo masih tinggal di rumah. Kalau aku repot harus izin suamiku. Belum harus boyongan ke luar kota. Tambah repot,” ujar adik-adiknya beralasan.
Suryo tak ingin memaksa, meski dalam hati ia tahu kondisi ekonomi keluarganya begitu pas-pasan. Kebutuhan demi kebutuhan seolah tak mau mengerti soal kondisi keuangan keluarga Suryo.
***
Tak heran kematian Bapak tiga tahun silam membuat keluarga Suryo bagai tersambar petir. Tanpa persiapan apa pun, mereka harus menelan pahit berkali-kali. Duka karena Bapak pergi, ditambah dengan tradisi yang membuat kepala Suryo seperti akan meledak. Belum usai berduka, Suryo harus memutar otak bagaimana caranya mencari dana cepat untuk melangsungkan slametan. Suryo tak punya tabungan, gajinya habis begitu saja untuk memenuhi kebutuhan. Istrinya berusaha mengorek laci warung, tapi uang yang ada disana tak begitu membantu.
Hingga akhirnya Suryo bertemu Marni, seorang rentenir desa. Terkenal sebagai orang yang ringan tangan, Marni mengambil celah kebingungan yang dihadapi keluarga Suryo.
“Ndak usah bingung, Pak Suryo. Kalau mau, saya bisa bantu,” ucap Marni sebelum berpamitan saat takziyah. Awalnya Suryo mengabaikan perkataan Marni. Sudah banyak ia mendengar dari warga kampung bahwa bunga yang ditawarkan Marni amatlah besar.
Namun belum seminggu slametan dilaksanakan, Suryo menyadari ia tak punya simpanan lagi.
“Bisa jadi omongan mas kalau ndak ada slametan. Apa kamu tega melihat Simbok makin sedih karena slametan Bapak berhenti gitu aja,” Sri sesegukan ketika mendengar suaminya berkata tak ada lagi sisa uang untuk menyelesakan tradisi tersebut.
Dengan berat hati Suryo menyambangi rumah Marni untuk menyambut penawarannya. Marni menjelaskan besaran bunga yang harus Suryo bayarkan.
“Tenang saja, Pak Suryo. Ndak usah buru-buru mengembalikan. Santai saja yang penting jangan lupa bunganya.” Marni menyeringai puas.
Tak bisa mengelak, Suryo akhirnya mengambil pinjaman kepada rentenir desa.
***
Butuh waktu hampir tiga tahun sampai akhirnya Suryo berhasil melunasi utangnya kepada Marni. Ia mengajar les privat untuk murid-muridnya yang butuh pembelajaran ekstra. Dengan motor bututnya, Suryo menyusuri kampung demi kampung untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Sampai akhirnya ia berhasil membayar lunas utangnya.
Berkat pengalaman di masa lalu, Suryo menjadi orang yang cukup cermat soal keuangan. Ia mulai membuat pos-pos keuangan dan menabung. Suryo memisahkan antara gaji bulanannya, penghasilan dari les privat, serta hasil jualan warung yang dikelola istrinya. Dengan tegas Suryo berpesan kepada Sri untuk lebih bijak soal penggunaan uang. Biar bagaimanapun, Suryo ingin lepas dari kemiskinan dan membuat kondisi keluarganya lebih baik.
Namun malang tak bisa ditampik. Siang itu, Suryo mendapatkan kabar bahwa simbok terpeleset di kamar mandi. Bergegas ia menyalakan motor bututnya dan melesat meninggalkan halaman sekolah. Beruntung saat itu Suryo telah selesai mengajar.
Sesampainya di rumah, Suryo mendapati Sri sedang berbincang dengan Pak Mantri. Dengan cemas Suryo melangkah segera selepas memarkirkan motornya.
“Bagaimana kondisi Simbok, Pak?” Suryo mengusap peluh yang bercucuran di dahinya.
“Simbok baik-baik saja. Hanya ada sedikit memar, yang terpenting jangan lupa untuk rutin kompres. Saya juga sudah berikan obat pereda sakit. Mudah-mudahan kondisinya lekas membaik.” Pak Mantri menepuk pelan pundak Suryo.
Seketika kekhawatiran Suryo meluruh. Begitu Pak Mantri meninggalkan rumah, Suryo dengan cepat menuju kamar Simbok. Wanita berusia delapan puluh satu tahun itu terlelap. Suryo cukup lega melihat Simbok masih bernapas.
“Maaf, Mas. Aku sedang jaga warung. Simbok ndak bilang kalau mau ke kamar mandi,” ucap Sri dengan wajah penuh penyesalan.
Suryo menggeleng perlahan, sudah cukup baginya mengetahui kondisi simbok baik-baik saja. Ia tak mau menyalahkan atau berdebat lebih jauh soal siapa yang salah. Suryo menyadari, istrinya begitu repot dengan berbagai macam tanggung jawab yang ia bebankan di rumah. Seharusnya, ia bisa memberikan kehidupan lebih layak kepada Sri.
***
Baru sebentar Suryo bernapas, malam itu ia dikejutkan dengan kondisi Simbok yang memburuk. Sri yang baru saja selesai cuci piring, memastikan kembali Simbok sudah meminum obat yang tadi ia sediakan dan mengganti kompres. Ketika Sri mengambil kain kompres, ia merasakan suhu tubuh simbok begitu panas. Sri kemudian mengguncang-guncangkan tubuh simbok dan tak ada respon. Dengan kalut Sri berteriak memanggil Suryo.
Jantung Suryo seolah terhenti ketika mendapati Sri menangis di samping tubuh Simbok. Seketika ia teringat kejadian masa silam kala Bapak pergi meninggalkannya. Dengan cepat ia membopong tubuh Simbok dan meminta Sri untuk meminjam mobil kepada tetangganya. Beruntung, mereka sampai di rumah sakit tepat waktu. Nyawa Simbok masih terselamatkan.
“Biayanya bagaimana, Mas? Kita ndak ada asuransi lho.” Sri berkata lemah di ruang tunggu rumah sakit.
“Nanti kita pikirkan.” Suryo sendiri tak tahu dari mana lagi ia harus mencari uang. Baru saja ia selesai melunasi utangnya kepada Marni dan mencoba menata ulang keuangan keluarganya, tetapi sudah dihadapkan dengan kondisi yang tak pernah ia sangka.
Suryo memutar otak memikirkan kemungkinan dari mana ia bisa mendapatkan uang lebih. Sebenarnya, Suryo sudah punya sedikit tabungan hasil ia mengajar les privat dan usaha warung isrinya. Namun bukan berarti ia bisa lengah dan mengabaikan biaya rumah sakit Simbok. Ia menyadari, butuh biaya yang besar untuk melunasi biaya obat dan rawat inap.
Kecemasannya makin menjalar kala pikirannya berkenala pada satu kemungkinan, jika Simbok meninggal. Ia bergidik ngeri membayangkan besarnya biaya yang harus ia siapkan untuk menjalankan segala macam tradisi. Suryo berusaha menepis kekhawatirannya. Dalam hati Suryo berdoa, semoga Simbok baik-baik saja dan bisa segera pulang ke rumah.
***
Semenjak Simbok dirawat, Suryo berusaha menambah jam les privat. Sri rutin menemani Simbok di rumah sakit selama Suryo bekerja. Dengan sabar ia menyediakan segala kebutuhan Simbok. Malam hari, Suryo akan bergantian menjaga Simbok sementara Sri pulang ke rumah untuk menjaga kedua anaknya.
Di sela-sela menunggu simbok, pikiran Suryo berkelana. Segala cara ia lakukan untuk mendapatkan uang tambahan, termasuk menghubungi kedua adiknya. Ia berharap ada sedikit bantuan dari adik-adiknya meskipun mereka tidak bisa datang langsung menjenguk Simbok.
“Maaf, Mas aku belum bisa pulang. Kondisi keuangan keluargaku juga lagi seret.”
Pupus sudah harapan Suryo mendengar jawaban adiknya. Hal yang membuat hatinya makin kalut adalah ketika Simbok selalu mengulang-ngulang kalimat yang sama,
“Aku ketemu bapakmu. Bapakmu ngawe-awe aku. Mbok uwis le, aku bali wae. Wes wayahe aku melu bapakmu,”
“Simbok mboten pareng kados niku. Percoyo mawon, sebentar lagi sehat. Sing penting simbok rajin minum obat dan nurut sama dokter.” Suryo berusaha meyakinkan simbok yang semakin hari bicara makin melantur.
Tak sekali dua kali Simbok memanggil-manggil Bapak dalam tidurnya. Ketika ia terbangun, Simbok menanyakan di mana Bapak. Mengapa Bapak tidak ada di samping Simbok. Ingatan Simbok semakin memburuk dan kadang lupa dengan mantunya sendiri. Suryo begitu terpukul dengan kondisi Simbok. Selama ini, Simbok yang ia kenal adalah sosok wanita yang begitu kuat. Tak pernah sakit parah, kecuali hanya batuk dan pilek ringan. Namun semenjak Bapak pergi, Simbok berubah. Semangat hidupnya menurun, tubuhnya semakin ringkih, dan setiap hari Simbok hanya mengulang-ngulang cerita tentang Bapak.
***
Tak hanya Simbok yang berjuang untuk tetap hidup. Suryo dan istrinya juga berjuang mati-matian untuk menebus biaya rumah sakit yang kian hari kian melambung. Rasa optimis di benak Suryo terkikis melihat kondisi Simbok yang tak kunjung membaik. Sri menyadari ada yang berubah dari sikap suaminya.
“Mas, kamu kenapa tho? Soal biaya rumah sakit lagi?” Sri mencoba menggali apa yang menjadi akar keresahan suaminya.
Suryo bergeming. Dipandanginya wajah Sri yang selama ini setia menemaminya dalam kondisi apa pun. Ada sebersit rasa bersalah membawa Sri pada lubang kemiskinan yang tiada ujungnya.
“Aku takut, Sri…” Suara Suryo tertahan.
“Aku takut Simbok nyusul Bapak.” Dengan tercekat Suryo menuntaskan perkatannya.
Sri yang memahami ketakutan suaminya mencoba untuk menenangkannya.
“Insya Allah simbok sehat kembali, Mas. Wes kita fokus saja pada pengobatan simbok.” Sri menggenggam tangan Suryo.
Sebenarnya, tidak hanya soal kesehatan Simbok semata. Suryo berada dalam dua pilihan yang sulit. Di satu sisi, Suryo tentu ingin Simbok sehat kembali, meskipun ia harus mengeluarkan lebih banyak uang untuk menebus biaya rumah sakit. Di sisi lain, jika Simbok pada akhirnya harus pergi, apakah ia sanggup untuk membiayai seluruh biaya proses pemakanan seperti ketika Bapak meninggal? Apakah ia harus kembali mendatangi Marni demi mengantarkan Simbok ke peristirahatan terakhir dengan layak?
“Gimana kalau Simbok benar-benar meninggal, Sri?”
“Hush, kamu ndak boleh ngomong gitu, Mas. Harus mikir yang positif. Simbok pasti sembuh,” suara Sri terdengar parau.
“Biaya pemakaman, biaya slametan, semuanya dari mana?” tak kuasa Suryo membendung apa yang menjadi kekhawatirannya selama ini. Terbayang malam-malam yang ia habiskan selama hampir tiga tahun dengan perasaan yang tak tenang. Belum lagi kebutuhan-kebutuhan yang makin hari makin menjadi. Seolah tak ada celah untuknya bernapas.
Mereka hanya terdiam. Dalam benak Sri menyadari ketakutan yang dirasakan suaminya memang berdasar. Tapi, ia mencoba untuk memikirkan kemungkinan terbaik dari kondisi Simbok. Simbok pasti sembuh, pasti.
***
Suryo bernapas lega ketika ingatan Simbok berangsur pulih seiring dengan kondisi tubuhnya yang semakin terlihat sehat. Berkali-kali ia menanyakan ke mana kedua cucunya, mengapa tidak menjenguk simbahnya yang sakit. Sri dengan semangat menceritakan kegiatan kedua anaknya di sekolah dan apa yang menyebabkan mereka belum bisa ikut ke rumah sakit. Cerita-cerita tersebut berhasil membuat rona wajah Simbok merekah seolah tak sabar bertemu dengan kedua cucu kesayangannya.
Tak pernah lagi Suryo mendengar soal keinginan Simbok menyusul Bapak. Hal ini menjadi pertanda baik, menunjukkan Simbok kembali memiliki semangat untuk sembuh. Selang beberapa hari kemudian, dokter menyatakan Simbok boleh pulang. Dengan penuh syukur Suryo dan Sri membawa pulang Simbok. Beban dipundak Suryo seolah terangkat. Meski uang tabungannya ludes untuk membayar biaya rumah sakit, Suryo tak terlalu mempermasalahkan. Asalkan tidak kembali terjerat utang, sudah cukup bagi Suryo. Setelah ini, ia bisa kembali menata keuangan keluarganya bersama dengan Sri.
“Tuh kan, Mas. Apa aku bilang. Simbok pasti sembuh,” bisik Sri ketika mereka bersiap-siap membawa pulang Simbok. Suryo mengangguk dan tersenyum kepada istrinya. Ia menyesal telah berprasangka buruk atas apa yang belum terjadi.
Di perjalanan menuju ke rumah, Simbok tertidur pulas. Hingga mereka sampai di rumah, mata Simbok masih terpejam. Sri merasakan ada yang berbeda dari tubuh Simbok. Sementara Suryo sibuk menurunkan barang-barang, Sri menangis sesegukan di dalam mobil.
“Sri, kamu kenapa?” Suryo yang mendengar suara tangis segera membuka pintu mobil dan mendapati istrinya yang menangis.
“Mas, Simbok pergi. Simbok meninggal, Mas.”
Dunia Suryo seolah runtuh. Baru saja ia bersuka cita ibunya telah sembuh. Ternyata, kebahagiaan yang ia rasakan tak bertahan lama. Simbok pergi untuk selamanya, bertemu Bapak seperti keinginan Simbok selama ini.
***
Pemakaman berlangsung begitu cepat. Tidak perlu menunggu lama, para tetangga dengan gesit membantu prosesi pemakaman. Seluruh perabot rumah Suryo dikeluarkan untuk persiapan slametan hari pertama. Untuk yang satu ini, Suryo merasa begitu bersyukur memiliki tetangga yang begitu guyub membantu mengurus segala sesuatunya.
Selama seminggu, Suryo izin tidak mengajar. Ia masih perlu mengurus administrasi termasuk persiapan slametan mitung ndina. Hingga tiba saatnya hari ketujuh, hari di mana tahlilan terakhir dilangsungkan. Beberapa ibu-ibu datang ke rumah Suryo untuk membantu menyiapkan sego berkat. Sri sudah belanja sejak pagi. Entah dari mana suaminya mendapatkan uang, Sri tak sempat bertanya.
Acara pengajian berjalan lancar. Selama seminggu ini, Suryo dan Sri tak sempat banyak mengobrol. Mereka hanya sibuk mengurus tahlilan dan orang-orang yang takziah. Baru di hari ke tujuh, setelah slametan mitung ndina usai, Sri menyadari ada satu hal yang berbeda. Sri tak sabar ingin bertanya kepada suaminya, tetapi karena masih banyak tamu yang belum pulang, Sri berusaha menyimpan rasa penasarannya.
“Matur nuwun, Pak Suryo, Bu Sri.” Para tetangga satu per satu meninggalkan rumah Suryo.
Sri melangkah mendekati Suryo yang mematung di teras rumah.
“Mas, ini semua uang dari mana?” ucap Sri menatap suaminya yang memandang kosong halaman rumah yang telah sepi.
Tak sanggup Suryo untuk membahas perkara biaya sebab hatinya masih diliputi duka. Sri berusaha tidak mendesak suaminya yang masih terdiam. Ia memandangi sekitar dan menyadari satu hal.
“Motormu di mana, Mas?” Sri menggenggam lengan Suryo dengan kuat.
Suryo menatap nanar istrinya.
“Masih ada untuk matang puluh dan nyatus, Sri. Biaya cetak buku Yasin juga lumayan mahal. Belum untuk belanja sembako. Aku cuma bisa kasih ini buat simbok.” Suryo berkata lemah.
Sri mulai menangis. Ditatapnya suaminya yang terlihat pucat. Duka masih menyelimuti keluarga Suryo. Kepergian Simbok memberi lubang di hati mereka. Dalam kesedihannya, samar-samar Suryo mendengar suara tetangga samping rumah,
“Sego berkat nggone Pak Suryo isinya bener-bener mewah. Iki lho, Bu. Koyo ngene iki isine. Mesti larang regane.”
*****
Editor: Moch Aldy MA