Karawang dan Kekhawatiran
Di pinggir kota Karawang. Malam bersama sepenggal
kekhawatiran. Aku menyisikan petulangan.
Dan di langit, sorot bulan seperti hampir hilang.
Kalah oleh gemerlap pasar modern yang saling terang.
Ketika di perjalanan pulang
Kulihat bulan milik gelap sawah,
segelap harga padi yang makin rendah;
milik gelap rumah-rumah petani,
segelap masa tuanya yang nelangsa kian hari.
(2023)
–
Mengeringkan Insomnia
Pagi masih lindap ditahan kerumunan gelap,
tapi di jam segini–perlahan-lahan, kau berhasil
mengeringkan seberkas luka, demi luka.
Malam kehilangan kantuk. AC berhembus dan
membisikkan cara melupakan paling dingin, sepanjang
ingatanmu menyala di bawah dada yang bising.
Kau mau cepat siang, dan membeli obat tidur
untuk melekang sayatan-sayatan yang lebih panjang.
Atau menemui lagi insomnia, sebagai peperangan.
(2023)
–
Dari Obrolan Semalam
Dari obrolan semalam, di dalam segenggam kaca tanpa
suara, seorang teman menyusul pertanyaanku.
Di kamar ini, kipas kehilangan debu, aku pun membaca
cerita teman dengan sedikit menurunkan dagu.
Ia berbicara perihal lilin yang ditinggalkan api. Dan janji,
dan doa-doa yang belum berhenti,
serta bekas lelehan pada jalan usianya, mengedap,
menjadi kenangan sekaligus penyesalan
—di hadapan ketiadaan.
Jempolku membeku. Segera lampu meneteskan pendar
di mata, yang kini, tengah merenungi orang tua.
(2023)
–
Pucuk Hidup Abu-abu
Perempuan kecil di pinggiran kota, bercerita. Aku
hendak menyalakan rokok dengan meminjam
bara, lalu mengintip jejak luka dari belakang matanya.
Dan aku tidak tahu, tapi perempuan itu tahu,
bagaimana perihnya menangis di depan pusara orang
tua. Serta menelan pahitnya pucuk hidup yang abu-abu.
(2023)
–
Melayat Nenek di Stasiun Kereta
Daun-daun berwarna tanah, menghiasi ruang-ruang
udara. Bapak tukang sapu mengais tadah jalanan bagi
rerumputan liar, lalu pergi.
Pada bangku tunggu yang basah, hari baru selesai
mengeringkan sisa-sisa air mata. Di taman Stasiun
Cimahi, tiket sudah dibayar, lagu “Kabar Terakhir“ diputar
dan memudar.
Aku menyandarkan punggung dan hanya liar perasaan
di kepala; mengingat nenek yang pernah membela masa
kecil dari omelan orang tua.
Aku pun bangun pada penerimaan pertama—di
keberangkatan empat puluh hari kematiannya.
(2023)
*****
Editor: Moch Aldy MA