Kau boleh berkeliling Pulau Sulawesi, berpindah dari satu sekolah ke sekolah lainnya guna mencari orang terpintar. Namun, takkan kau jumpai yang sepintar Memo.
Tak perlu payah menelusuri kaki Gunung Latimojong atau menyisir Kabupaten Pohuwato. Pria satu ini menetap tak jauh dari satu-satunya bandara internasional di pulau tersebut. Kabarnya ia berasal dari keluarga yang terobsesi pada kecerdasan tujuh turunan.
Ayahnya adalah Guru Besar yang memilih tak menjadi diaspora meski tawaran berjejalan. Kakeknya adalah saudagar terkenal. Pandai berhitung, pandai menakar dan pandai bernegosiasi.
Jika ditarik ke atas, nasabnya tersambung pada Raja Bone. Tentu dia hafal silsilah keluarganya. Setidaknya hingga empat belas nama ke atas.
“Makan ikan biar pintar kayak orang Jepang.” Saran pamannya suatu waktu.
Sederhana namun menancap kuat. Sejak itu, Memo terobsesi menjadi pintar. Dan berhasil.
Sedari kecil, kemampuan menghafal Memo memang di atas rata-rata. Terkadang untuk menghafal isi buku bagian halaman kanan, ia menutup halaman kiri.
“Agar tidak ikut terhafal,” alasannya setiap kali ditanyai.
Ia nyaris tak punya catatan saat sekolah. Setiap informasi mampu disimpan dengan baik dan dikeluarkan secara lengkap kala diperlukan.
Maka jangan ditanya soal kehidupan sekolahnya. Ia tak terbendung. Ia bahkan bisa menentukan sendiri ingin dapat nilai berapa. Tak ada soal yang tak bisa ia jawab.
Namun, hidup ini bukan hanya soal sekolah. Sekolah hanya satu unit penyusun kehidupan manusia.
Pernah sekali, Memo bertengkar hebat dengan Ratna, istrinya. Pertengkaran hebat pertama mereka. Tiga puluh sembilan hari setelah mereka menikah. Memo tentu mengingat detail tersebut. Penyebabnya sepele. Akan tetapi, cukup untuk meningkatkan tensi mereka.
Memo merasa dikecewakan. Sementara Ratna merasa tak bersalah. Maka dimulailah adu mulut yang panjang. Kemudian disusul sikap tak saling menegur sapa seharian. Lebih tepatnya dua puluh dua jam.
Syukurnya, seiring waktu berjalan, kekesalan di hati masing-masing dapat terangkat. Kekesalan berbalik menjadi penyesalan. Penyesalan berujung pada saling memaafkan.
Meski tentu masih ada bekas luka di hati, Ratna telah melupakan peristiwa tersebut. Sayang seribu sayang, Memo sangat buruk soal melupakan. Otaknya tak didesain untuk itu.
“Tebak, ini hari apa, Ma?”
Itu adalah kalimat pertama yang terlontar dari mulut Memo sore itu. Persis setelah tiba di rumah. Ia bahkan belum melepas sepatu pantofelnya.
“Hari Selasa?” jawab Ratna sembari mengingat.
Ia tak terlalu mengindahkan pertanyaan tadi. Saat ini, sebagai seorang yang baru saja menyandang status ibu muda, baginya si bayi kecil adalah prioritas nomor satu. Tak lama berselang, Ratna sudah raib dari pandangan Memo. Kembali ke lintasan peredarannya: kamar dan dapur.
Sementara itu, Memo yang tadinya penuh semangat mendadak lunglai. Tak disangka Ratna melupakan hari ulang tahun pernikahan mereka yang kedua.
Ya, kau mungkin merasa aneh karena umumnya justru laki-laki yang mudah lupa. Tapi sadarilah bahwa Memo memang anomali.
Memo lewah pikir. Kenangan buruk mencuat ke benaknya dengan cepat. Rasa kecewa dan sakit hati menyeruak. Ia benar-benar ingat setiap detik dan setiap detailnya. Terutama pertengkaran hebat mereka dulu.
Kala istrinya sibuk mengurus bayi, Memo hanya terduduk diam di ruang tamu. Selepas Magrib, kembali begitu. Selepas Isya, kembali begitu. Bukan hanya membisu, ia membatu. Dan tak ada yang bisa mencairkannya kecuali Ratna yang menghampiri setelah memastikan si bayi tidur.
“Ada apa, Pa?” Ratna memulai percakapan.
Itu pertanyaan yang tak perlu. Ratna sejatinya telah memahami situasi. Ia menyadari kesalahannya. Sadar akan kealpaannya terhadap hari pernikahan. Sadar bahwa tak ada langkah yang lebih bijak saat ini ketimbang meminta maaf.
“Aku minta maaf ya, Pa.”
“Bukan salahmu, Ma.” Memo bergumam pelan.
“Kamu tahu, Ma,” lanjut Memo, “nggak tahu kenapa setiap kali ada kesalahpahaman di antara kita…”
Memo menarik napas panjang. Ia ragu melanjutkan. Namun, demi melihat sorot mata Ratna yang penuh antusiasme, ia kembali berbicara.
“…aku mengingat pertengkaran hebat kita dulu. Aku seperti menjalani setiap detailnya kembali. Di dalam kepalaku.”
Ratna terdiam. Ia kenal suaminya dengan segala kehebatan ingatannya. Namun, tak disangka efeknya seperti itu.
Ratna perlu waktu beberapa saat untuk mencerna apa yang terjadi.
“Kamu tahu, Pa. Fungsi otak manusia bukan cuma untuk menyimpan informasi. Tapi juga untuk memanggil kembali informasi yang perlu-perlu saja,” ucap Ratna lembut.
Sembari berjalan mendekati suaminya, Ratna melanjutkan penjelasannya.
“Bagaimana kalau setiap kali kita cekcok, kau mengingat kenangan lain saja?”
Memo mengernyitkan dahi.
“Mengingat kenangan apa, Ma?”
Ratna tak langsung menjawab. Memo menunggu, tetapi tak kunjung ada jawaban yang terdengar. Hanya ada dekapan hangat yang menenangkan.
Kini ia tahu jawabannya.
Malam terasa cepat berlalu.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Memo mencatat sesuatu untuk pertama kalinya:
“Kita akan baik-baik saja. Kekesalan itu hanya perasaan sesaat, sedangkan kita adalah sepasang jiwa yang abadi.”
***
Editor: Ghufroni An’ars