Seperti pada umumnya mahasiswa, saya pun ada teman. Dia namanya Joyo. Bukan dari Kuntowijoyo. Joyo saja, titik. Dia punya banyak panggilan: Jojon, Semen, Ganteker; tapi yang saya sering pakai, juga kawan-kawan tentunya, adalah Jen, kependekan dari Jenius. Kalau disebut begitu, dia akan kumat; bertingkah yang bukannya tampak Jenius, malah tampak seperti seekor hewan melata. Saya takut dia jadi tanda kalau kiamat semakin dekat.
Sekian lama kami sudah saling mengisi hari. Tapi seperti pada umumnya pertemanan, kami saling melupakan awal pertemuan. Tahu-tahu bertemanlah. Saya jadi kenal bapaknya, kenal ibunya, dan tahu siapakah masnya. Dia jadi ikut nimbrung ikut ngobrol saat saya kangen dan menelepon kampung halaman. Saya jadi menginap rumahnya, lalu dihidangi masakan-masakan bergizi, semata kebalikan saat dia menginap kos saya yang kumuh.
Tapi sore ini dia belum membalas pesan saya. Pesan itu penting, sebab berkaitan dengan janji. Janji itu lebih daripada utang. Padahal mulai pagi-pagi hari saya pesani dia, “Nanti ayo ke Kedai.”
Seharusnya itu cumalah basa-basi. Kami berdua saling tahu, nanti siang kami ketemu kelas di kuliahan. Kami berdua juga saling tahu, pergi ke suatu kedai samping stasiun setiap Rabu bakda magrib adalah agenda rutin komunitas; mendiskusikan karya sambil menikmati suara bising kereta api. Dan kami berdualah semacam panitianya. “Aku nggak ada motor e…” balasnya. Lugu sekali. Maksud saya, berbohong-berbohonglah, tapi alangkah baik bila kebohongan itu logis. Bukannya kita ini sama-sama gemar membaca dan menulis. Masakan, mudah sekali mengungkap tipu dayamu, Jen. “Ayo, tak jemput,” balas saya. Dan demikianlah hingga sore ini dia belum membalas.
Kejadian seperti ini tidak sekali-dua kali. Sebabnyalah saya, dan kawan-kawan juga tentunya, suka memanggil dia Jen. Benarlah hal-hal begitu itu dilakukan semua orang. Mungkin termasuk saya dan kalian. Tetapi Joyo adalah sebuah ironi. Dia sering ruwet kalau mengobrol. Singkatnya dia sering berbohong tapi tak kunjung pandai berbohong. Dia beda dengan ular yang konon dijelmai iblis untuk menipu Adam di surga. Dia lebih seperti anak kecil. Bohong tanpa pertimbangan tapi menarik perhatian.
Pernah sekali dia izin tidak masuk kuliah karena. Sudah, kalimatnya berhenti di sana. Pesan itu dia kirim ke grup kuliahan. Coba bayangkan. Memang, di satu sisi itu unik. Sayang tidak pada tempatnya. Pagi itu kami belajar mata kuliah Psikolinguistik dengan dosen yang telah tersebar luas cerita-cerita psikologisnya dari mulut ke mulut. Dan seperti pada umumnya dosen, pembelajaran sudah didesain agar dilalui hanya dengan presentasi berkelompok sampai ujung semester. Dia cuma tinggal ongkang-ongkang kaki agar fokus menggarap administrasi-akreditasi, barangkali. Saat itu saya memang tidak sekelompok dengan Joyo. Namun berkat ulahnya, satu kelas jadi kena uring-uring sang dosen. Bahkan, kami diancam mendapat nilai C berjamaah, tanpa terkecuali, kalau si Joyo tidak menjelaskan mengapa dia tidak masuk kuliah—di kemudian hari hal itu pun terjadi; kami semua dapat nilai C. Padahal jelas saja si Joyo itu hanya malas berangkat njuk tidur. Dan selama seminggu ke depan, saya ramal, dan pasti terbukti, mustahil menampak batang hidung Pinokio si Jen itu di kampus. Meski pekan ini seharusnya kami menggarap pementasan. Dan dialah itu sang Art Director, satu-satunya jabatan yang memakai bahasa Inggris, dan ide siapakah jabatan baru itu, kalian dapat simpulkan.
Seperti umumnya teman, saya pun peduli. Kalau saja Joyo bukan tipe menyangkal. Soal ini, dia memang lihai. Mudah saja dia melata mencari celah. “Ada masalah apa, Joy?” tanya saya selalu. Dan dia hanya akan ketawa, atau bilang “Sorry, yo,” atau “Rapopo, yo.” Dan kalau saya hakimi dia, “Otakmu bermasalah. Ayo, beli minyak ikan!” dia hanya menjawab (dengan bertanya), “Opo iyo?” Kemudian sisanya adalah bunyi-bunyian urakan yang keluar dari mulutnya, lalu bahak-bahak tawa yang kering dan palsu, diakhiri dengan tingkah hewannya itu. Hatinya telah keras. Tidak saya tahu langkah apa yang baiknya diambil untuknya. Di sisi lain saya sudah kadung sahabatan dengannya. Bapak dan ibunya juga sudah kadung menyenangi saat rumahnya ketempatan saya. Anak pertama, masnya Joyo, sudah kadung begitu. [1] Namun kini yang bungsu bisa jadi orang rajin salat. Mereka percaya itu jasa saya.
Tapi nasib biarlah rahasia. Saya letih sudah. Pesan yang belum dibalasnya, saya tambal lagi di suatu malam Selasa, kali ini dengan pesan suara: “Kemarin itu kami bahas banyak naskah. Ada hadir penerbit lumayan dari Jakarta. Dia banyak percaya ke komunitas kita. Dimintanya naskah yang nantinya akan terbit dengan embel-embel Anak Muda Angkatan Baru, program kementerian yang ternyata asli itu… Dan naskahmulah yang terpilih. Cerpenmu, yang kubilang narsis dan dangkal itu. Saat orang Jakarta itu tanya ini punya siapa, sebab sudah berkali-kali kubilang agar kau tidak usah sok-sok merendah dengan tidak menulis nama untuk cerpenmu, dan kau tetap tidak peduli. Maka tiada aku minta maaf untuk bilang cerpen itu milikku. Kawan-kawan pun agaknya menyepakati ulahku… Besok, sore, aku berangkat Jakarta. Salam ke Bapak-Ibu, juga Masmu… Tapi dengarlah, kuberi kau kesempatan terakhir. Kalau ada tidak terima, datanglah ke stasiun besok. Bilanglah ke orang Jakarta kalau cerpen itu adalah milikmu. Aku akan terima dan kau berangkatlah mengejar mimpimu, Impian Jakarta-mu itu. Besok sore, bakda magrib, kereta api besi itu… Ular raksasa dingin itu… Pikirkanlah…”
Beginilah berbohong itu. Bukan begitu, Joyo?
(2025)
[1] Tidak, masnya bukan seorang kriminal. Dia hanya terlampau aneh. Pernah suatu pagi dia memanjat pohon sawo dan tidak mau turun sampai magrib hanya karena tak ada yang mau memanggilnya dengan nama Kabulov (namanya Kabul). Sejak itu dia dianggap tidak wajib salat.
*****
Editor: Moch Aldy MA