Bagian Bangsa Indonesia

Meniti Solusi Agroekologi ketika Harga Pangan Tak Terkendali

Angga Hermanda

2 min read

Pemerintah kembali mengumumkan akan melakukan impor beras dengan kuota sebesar tiga juta ton sepanjang tahun 2024. Sebanyak dua juta ton beras impor ditargetkan datang pada Maret 2024.

Pemerintah mengklaim impor beras di tahun politik ini bertujuan untuk mencukupi cadangan beras pemerintah (CBP) dan keperluan bantuan sosial. Padahal, semester pertama 2024 merupakan musim panen raya padi bagi petani.

Klaim pemerintah yang menyatakan produksi beras turun tidak bisa dijadikan legitimasi impor begitu saja. Demikian juga dengan penyediaan beras untuk bantuan sosial yang akan digulirkan sampai Juni 2024.

Meskipun impor beras dilakukan dalam dua tahun terakhir, harga beras di tingkat konsumen tetap tinggi, bahkan melampaui harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah. Belum lagi, impor pangan, terkhusus beras, seolah jadi keharusan meskipun produksi beras dalam negeri mencukupi karena aturan yang mempermudah impor pangan dalam Omnibus Law UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Ironisnya lagi, selama pemerintah mengimpor beras, harga gabah di tingkat petani mengalami penurunan hingga Rp6.000-Rp7.000 per kilogram pada Januari-Februari 2024.

Arti Petani

Karut-marut tata kelola pangan ini mesti diurai dengan merefleksikan secara dalam arti petani itu sendiri. Pada tahun 1944, KH Hasyim Asy’ari menulis di Soeara Moeslimin Indonesia tentang petani sebagai gudang kekayaan dan menjadi faktor utama dalam mengusir penjajah. Pendiri Nahdlatul Ulama ini juga menyebut bahwa petani adalah penolong negeri, sendi tempat negeri didasarkan. Penilaian Hadratussyekh dilatari oleh kitab akhlak Adabud Dunya wad Din karya Syekh Imam al-Mawardi yang menukil dunia akan tertib jika enam hal terpenuhi. Poin kelimanya adalah kesuburan tanah yang kekal. Petanilah pihak yang menjadi kunci dalam menyuburkan tanah.

Setali tiga uang, pada medio 1950-an, Bung Karno membuat akronim petani, penyangga tatanan negara Indonesia. Berpuluh tahun sebelumnya, ia menggali sintesis bahwa rakyat melarat di Indonesia bukan hanya proletar atau orang tanpa kekayaan, tapi juga petani yang dilemahkan oleh sistem yang menindas. Sistem yang menindas itu tak lain adalah kolonialisme dan imperialisme gaya baru alias nekolim. Nekolim di sektor pertanian datang dengan konsep revolusi hijau yang menjadikan petani sebagai objek pasar dari produk korporasi.

Petani yang sebelumnya memenuhi kebutuhan sarana produksi seperti benih, pupuk, dan obat-obatan tanaman secara mandiri menjadi tergantung pada produk korporasi. Pergeseran budaya pertanian yang sudah berlangsung lebih dari setengah abad ini pun menurunkan kesuburan tanah dan membuat benih lokal semakin langka. Singkatnya, ia berkontribusi merusak alam dan ekosistem pada tahapan lebih lanjut. Oleh karena itu, perlu upaya mentransformasi model pertanian yang bergantung dari benih perusahaan, pupuk kimia, dan pestisida ke pertanian agroekologis.

Baca juga:

Agroekologi adalah cara bertani yang mengintegrasikan secara komprehensif aspek lingkungan hingga sosio-ekonomi masyarakat pertanian. Pertanian agroekologis bersumber dari tradisi pertanian keluarga yang menghargai, menjamin, dan melindungi keberlanjutan alam untuk mewujudkan kembali budaya pertanian sebagai kehidupan.

Pelaksanaan pertanian agroekologis harus mempertimbangkan keuntungan ekonomi, keuntungan sosial bagi keluarga petani dan masyarakat, dan konservasi lingkungan secara berkelanjutan. Tujuan akhirnya adalah memutus ketergantungan petani terhadap input eksternal dan penguasa pasar yang mendominasi sumber kekayaan alam.

Pandemi Covid-19, perang Rusia-Ukraina, dan persaingan ekonomi antara China dan Amerika Serikat yang terus berlanjut, serta okupasi Palestina yang tak berujung kian memperlihatkan adanya ketergantungan produksi distribusi pangan. Tak ayal, situasi goncang selalu meletupkan isu ancaman krisis pangan. Oleh karena itu, sebagai negeri agraris, Indonesia mesti menimbang untuk mengambil solusi kembali ke agroekologi.

Transisi Kebijakan

Praktik pertanian agroekologis di KDP SPI Tuban menunjukkan bahwa biaya tanam padi dengan pertanian konvensional tanpa pupuk kimia bersubsidi cukup tinggi, bisa mencapai Rp8,6 juta per hektar. Apabila hanya sebagian menggunakan pupuk kimia bersubsidi, biaya usaha tani yang harus dikeluarkan masih mencapai Rp7,05 juta per hektar. Sementara itu, jika memakai pupuk organik secara menyeluruh, biayanya bisa ditekan hingga hanya Rp900 ribu per hektar.

Perbandingan itu memengaruhi biaya pokok produksi padi. Dengan pertanian konvensional petani harus mengeluarkan Rp5.050 untuk tiap kilogram gabah, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan penerapan pertanian agroekologis yang hanya butuh Rp3.700 per kilogram.

Baca juga:

Setidaknya, ada enam kebijakan penunjang penerapan agroekologi yang harus diambil pemerintah saat ini maupun yang akan datang. Pertama, menerbitkan Peraturan Presiden tentang Penerapan Pertanian Agroekologis. Kedua, menurunkan lebih teknis dalam Keputusan Presiden tentang Produksi dan Penggunaan Pupuk Organik. Ketiga, menyusun strategi dan program transformasi dari pertanian konvensional ke pertanian agroekologis. Keempat, memberi dukungan konkret untuk pengolahan dan pemasaran hasil produksi pertanian agroekologis. Kelima, melakukan penguatan koperasi petani sebagai bentuk usaha bersama yang menjalankan pertanian agroekologis. Terakhir, mengembangkan model pengalaman praktik pertanian agroekologis diberbagai daerah.

Mesti diakui, selama proses peralihan sistem pertanian akan ada satu fase penurunan produksi. Namun, selanjutnya akan terjadi peningkatan produksi secara perlahan yang diikuti oleh perubahan perbaikan lingkungan hidup dan ekonomi. Dengan pertanian alami, produksi pertanian akan semakin beragam dan kian terintegrasi dengan sumber-sumber ekonomi yang ada di sekitar kawasan pertanian.

Oleh sebab itu, pada masa transisi ini diperlukan pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan kepada petani, serta dilengkapi dengan pengadaan berbagai peralatan dan bahan-bahan pertanian lainnya sebagai penunjang. Tak pelak, perhatian khusus pemerintah ini bisa dijadikan momentum untuk kembali ke pertanian alami secara sistematis dan masif, sebagaimana idealnya peran petani dalam pemikiran KH Hasyim Asy’ari dan Bung Karno.

 

Editor: Emma Amelia

Angga Hermanda
Angga Hermanda Bagian Bangsa Indonesia

One Reply to “Meniti Solusi Agroekologi ketika Harga Pangan Tak Terkendali”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email