Redaksi Omong-Omong

Anomali

Moch Aldy MA

3 min read

“Semua tato itu temporer,” ucapnya, “tak ada yang permanen. Lagi pula, hidup ini fana.”

Seketika saja aku teringat kata-kata yang dilontarkan salah satu klienku minggu lalu. Lebih tepatnya, aku teringat klienku yang unik itu. Waktu itu, Sabtu sore, langit sedang berwarna merah kirmizi dan seorang pemuda kurus bermata sayu dengan rambut bergradasi warna ungu mengetuk-ngetuk pintu studio tatoku. Sebut saja, Anomali.

Aku mempersilakannya masuk. Kami telah berjanjian sebelumnya. Aku menyalaminya dan meluncurkan beberapa pertanyaan basabasi. Ia menyimpul senyum. Kedua matanya kemudian seakan berpatroli mengitari ruangan seluas lima kali lima meter ini. Ada beberapa lukisan Wirhel dan Baskiat yang membikin studioku bernuansa neo-ekspresionis dan pop art. Tapi Anomali malah menatap cukup lama pada salah satu poster dinding yang bertuliskan, ‘get that tatoo, your parents are already disappointed in you’.

Sebenarnya kutipan pada poster dinding itu merupakan bagian dari trik marketing. Agar klien lamaku kembali menambah tato. Dan biar klienku yang baru semakin yakin untuk ditato. Lagi pula, kurasa, tak ada seniman tato yang mau menato seseorang yang masih ragu. Entah ragu-ragu soal penempatannya atau desainnya. Barangkali itulah mengapa, aku selalu berkali-kali mengingatkan klienku untuk tidak menato nama pasangan. Aku tahu, pacar bisa putus, istri atau suami bisa cerai. Aku percaya, mengabadikan nama pasangan di badan merupakan sebentuk kenaifan yang paling mungkin disesalkan. Dan lebih bloon dari memutuskan untuk merajah wajah.

Hal pertama yang kulakukan setelah menyambut klien, biasanya, adalah membuka laptop. Menanyakan apakah desainnya sudah sesuai ataukah belum. Jika sudah lampu hijau, lantas dengan lekas kucetak desain tato tersebut menggunakan mesin printer.

Menyoal Anomali, sejujurnya, aku masih penasaran dengan arti atau filosofi dari tatonya. Desain tatonya adalah aksara Bara yang gundul. Tak ada harakatnya. Masalahnya, dulu… sebelum kuputuskan menjadi seniman tato, aku bukan tergolong sun-tree yang tekun belajar ilmu nahwu atau shorof. Mengingat desain tato yang Anomali pinta, sempat aku curiga, ia adalah seorang sun-tree. Artinya, ia pastilah tahu bahwa di agama Bara, menato tubuh adalah dosa besar yang dilaknat Halla. Maka boleh jadi menato tubuh, baginya, merupakan terapi atau barangkali pemberontakan. Atas norma sosial, jeruji kultural, atau jerat spiritual. Semacam proklamasi kepemilikan atas tubuhnya.

Aku jadi teringat dengan klienku yang lain, ia adalah seorang terapis. Sebut saja, Didi. Pada suatu temaram, di studio tatoku, ia mengatakan bahwa seniman tato adalah terapis yang bekerja dengan medium seni rupa. Didi memisalkan seniman tato sebagai terapis yang menyembuhkan luka batin dengan mengubahnya menjadi karya bernilai artistik serta filosofis. Aku pun sesekali berpikir bahwa menato tubuh adalah upaya mengalihkan sakit mental menjadi sakit fisikal. Semacam katarsis memakai jarum plus pigmen tinta yang menembus lima lapisan epidermis, kedalamannya.

Kembali pada Anomali, meskipun waktu itu adalah tato pertamanya, kulihat ia datang tanpa keraguan di ceruk dadanya. Termasuk ketika ia ngotot untuk ditato di leher. Sependek pemahamanku, tato di leher ini adalah salah satu tato yang paling sulit untuk disembunyikan. Kecuali orang bertato leher itu mau mengenakan hoodie seumur hidupnya.

Selain sulit disembunyikan, tato di leher pun merupakan jenis tato dengan rasa nyeri yang hampir tak tertahankan. Terlepas dari toleransi sakit yang berbeda-beda antara tubuh biologis lelaki dan perempuan. Leher adalah bagian tubuh dengan ratusan saraf, kulit yang tipis, dan hanya memiliki sedikit massa otot. Semua tato itu sakit, tetapi tato di leher sakitnya berkali-kali lipat. Kuadrat. Jenis rasa sakit ini terasa seperti rasa gatal plus panas yang intens. Seolah-olah kucing berkuku setajam pedang dimiskus sedang menyeret cakarnya di atas kulitmu. Kalau secara Numerical Rating Scales (NRS), skala satu sampai sepuluh, tato di leher ada pada skala sembilan atau sepuluh.

Selain menyakitkan, di banyak budaya instansi dan perusahaan, tato di leher dicap sebagai tanda ketidakprofesionalan. Artinya, dibutuhkan begitu banyak permenungan sebelum memutuskannya. Tapi Anomali dengan santai mengatakan bahwa penelitian membuktikan kalau tato di leher ini bisa menghilangkan beberapa kecemasan… misalnya kecemasan untuk mencari pekerjaan, formal khususnya. Bahasa tubuhnya jelas tidak sedang bercanda ketika melontarkan lelucon itu. Ia, kulihat, seperti membaiat diri untuk menjadi freelance sepanjang hayat dikandung badan. Dan, kupikir, ‘Anomali’ pun adalah nama tengahnya.

Begini, aku sudah menggeluti dunia pertatoan (khususnya mesin, bukan handpoke) ini selama lebih dari lima tahun. Ribuan tubuh manusia telah kujadikan kanvas. Dari tato bergaya old skul atau tradisional, neo-tradisional, garis, tribal, geometris, abstrak, realis, tekstual, japanis, tiga dimensi, minimalis, hingga potret. Aku, ibarat seorang arsitek yang pernah merancang berbagai gaya bangunan: dari klasikal, gotik, barok, rokoko, ekletisis, industrial, brutalis, vernakular, bawhaus, art deko, art nuveau, kontemporer, modern, neo-modern, hingga pos-modern. Dan, minggu lalu adalah kali pertama seseorang bertubuh serupa kanvas kosong meminta digambar di leher. Sebab, tato pertama, biasanya, letaknya di pergelangan tangan.

Selain keanehan-keanehan yang telah kuceritakan itu, ada keanehan lain mengenai klienku yang satu ini. Tapi aku tak bisa memastikan apakah ini keanehan atau bukan. Yang jelas, ia ditato tanpa anastesi. Lazimnya, tato pertama dan tato di area tertentu itu diolesi anastesi lokal terlebih dahulu. Semacam krim yang memberi efek kebal alias mati rasa. Cara kerjanya serupa tisu-mejik yang dioleskan pada kelamin pria. Agar sakitnya bisa dikompromi, dan yang lebih penting, agar tidak kapok kalau mau ditato lagi.

Mulanya aku mengira Anomali berlagak sok kuat, tetapi ketika kutanyakan alasannya cukup mencengangkan. Katanya, ia ingin mengukur lebih sakit mana nyeri ketubuhan versus nyeri kepikiran. Jawabannya itu, jelas membagongkan.

Setelah pertemuan itu, aku sesekali memutar lagu yang Anomali pinta ketika ia ditato olehku, di studioku. Lankan Pirk – Pada Akhirnya. Kuresapi reff-nya dalam-dalam: ay traid so hard en gat so far… bat in di end it dasen ipen meter… ay hed tu fol tu lus it ol… bat in di end it dasen ipen meter…

***

Aku dibangunkan dengung samar mesin tato, melodi familiar yang menandakan hari lain di studio.

***

Editor: Ghufroni An’ars

Moch Aldy MA
Moch Aldy MA Redaksi Omong-Omong

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email