Sedang mengkhatamkan sebuah buku

Di Seberang Nil dan Puisi Lainnya

Lalu Azmil Azizul Muttaqin

2 min read

Anjing Wikalah*

engkau terkulai menadahkan harapan
kepada para pejalan kaki yang memikul urusan.
mimpi adalah harap tak sampai…

dan engkau terlelap bisikan debu, bertebaran menggerayangi
benderang mata. seakan gelap menghinggapi cahaya.
mimpi adalah musuh yang memberi surat cinta…

satu persatu. engkau mengeja urat nadi tentara Mamluk;
yang napasnya memenuhi lengang malam, peluh terburai dari baju zirah.
berlapis keberanian sekaligus ketakutan. diikuti saudagar kaya;
tempat jagung tak laku, ubi tak dibau.
berikan tetesan keringat manismu…

gerbang Wikalah menangkap langkah masa lalu
yang terkurung dan membenam. kadang terlepas
seperti sedih yang mencari senang, atau
kegelepan yang mencari terang. kemudian terbit secara paksa
di ceruk ingatanmu, membentuk lubang abadi sebagaimana waktu.
akhirnya engkau mengingat masa muda, luka, harum bunga,
bangunan tua, jalan Mohammad Abdoh, dan tendangan gadis
ketika memberimu sebongkah tulang iga.

erangan bumi yang diserbu jejak tentara dan saudagar
membangunkanmu. melesat menuju ratusan tahun cahaya. pada bukaan
mata pertama ia tak memberimu bantal ataupun selimut
untuk menyiapkan peperangan
tapi ia menyiapkan mimpi buruk untuk dikenang.

(Kairo, Mei 2023)

Dari Puncak Menara

anak tanpa alas kaki itu, memeluk gamang.
menjual manisan, menukarnya dengan kesedihan.
dengung memantul dari dinding-dinding
tempat peribadatan, menara, gerbang masa silam.
arwah prajurit Prancis berduyun
keluar, dari tanah hikayat yang diinjak.
menyimpan sejarah, menyalakan obor dari puncak tertinggi.
menghangatkan rasa gigil si pedagang kecil

dari puncak menara yang usang, matahari tumbuh. seorang Nubia
membawaku ke embunnya, gang-gang tua, museum para raja,
pasar kehidupan, dan aroma roti yang perawan.
seekor keledai memandangiku. mengharap teduh dari rumahku yang rimbun.
seperti pemimpi yang terbangun.

sebelum gelap tiba, bagai bayangan melambai.
tandus akan lebih tenang. daratan pasir tak lagi mengoyak
busana peziarah. maka saat itu
kuda dituntun berperang, memintas sepi, mengeram kelabu,
mengelus dendam. dan aku, tertidur di antara beribu pendar cahaya
di balik jendela tua. tempat para pendahulu berdoa.

(Kairo, Juni 2023)

Rajah Ummu Ibrahim

takkan bergegas ia. wajahnya telah dilumuri duka. konon
Rajah Ummu Ibrahim
sang penyihir Gharbia tak ada duanya.
Ia mengerang di pohon yang dirajah puisi
yang tumbuh, dari suwuk penyair.

dan pemberkat yang berdoa
agar batu makam tak tersentuh satu pun. hitamnya.

kini. wajah bertopeng itu terangkat. seperti harapannya
sebelum fajar dan pegangan pertama pada batu mulia.
kini, wajahnya lekas pudar, Rajah Ummu Ibrahim menggambar
nasib. mewarnainya sedekat nadi. menghapusnya secepat mati.

(Kairo, Juni 2023)

Pohon

Pohon adalah Tuhan yang mati.
manusia jelma Adam dan Hawa;
terpaksa badan runtuh, turun ke bumi
saling melaung suara.
pertemuan yang menua
melahirkan
termatikan
terhidupkan
berteduh di rerimbun
ranting dan dedaunan.

saat kehendak berinang badan.
sekejap sejuk angin menukik.
saat kehendak redup.
menembus malam.
lenyap bayang. menghilang;
tetap Pohon merimbun ranting dan dedaunan.

sesaat. Pohon serupa Tuhan yang hidup,
manaburkan hujan.
menggelar lautan.
menyiapkan langit.
lalu menunggu disapa.
selepas panggilan.
sebelum sangkakala.

sekarang Pohon adalah, dan serupa Tuhan.
mendenyutkan malam.
menepis matahari.
menyimpan bulan di batang kokoh.
seperti rindu yang kejam dan gila.

karena siksaannya, tepat di suatu malam ganjil.
Pohon masih mendenyutkan malam,
menepis matahari.
menyimpan bulan;
namun ia membagikan cerlangnya
dengan ramah, seperti perjamuan
bunga, buah, dan seekor lebah.

(Kairo, Mei 2023)

Di Seberang Nil

Nil serupa perpisahan.
aku, air yang berminyak.

angin mendingin di seberang batu cadas.
mengirim parfummu, dan kehangatan terakhir
alun-alun Tahrir. tempat merpati
mencuri jagung; dari matamu. ladang yang membentang.

di antara ranting-ranting Judas.
nelayan berhadapan dalam kapal kecil, dayung bersahutan.
perempuan-perempuan menenggelamkan kakinya.
seluruh anak laki-laki luruh ke genangan ramai.
beriak bagai senang yang tak jauh.

Nil dan warisan Musa. reruntuhan kapal
yang terapung. seekor belibis putih mengerami udara.
aku, dermaga yang menunggu. sementara Harun
menangkap dini hari. menyanderanya. menenggelamkannya.
inilah akhir hikayat dari dermaga tua.

(Giza, Juni 2023)

Apakah Senyummu akan Bermunculan setelah Daun-Daun Ini Berguguran?

kau berbisik dengan kedalaman yang tidak bisa kujangkau.
ayahku mengajarkanku terbang, bukan meriakkan air kemudian memeluknya.
aku yang memelukmu, bukan dua pemuda yang berebut angan tak kunjung pulang itu.
ingat. kepulanganku setelah peperangan seperti menanti perempuan tua yang
meluruskan pinggang. aku hanya merayu ingatan. rok minimu, dan merah putihnya
seperti tanah air yang harus aku perjuangkan.
tapi sayang pahlawan tidak digembala. aku tidak suka mencari rumput sendiri, aku tidak bisa
menemukan pembebasan jemu cinta dan badai hujan. maka bentangkanlah petirmu di balik bukit ini.

aku di sini. dedaunan menyelimutiku seolah selimut musim gugur. tapi ia tidak seperti
senyummu yang menyentuhku sebelum fajar, bahkan sebelum matahari luruh. lantas apakah
senyummu akan bermunculan setelah daun-daun ini berguguran?

(Kairo, Juni 2023)

*****

*Wikalah adalah suatu bangunan kuno yang digunakan untuk berjualan dan menginap para saudagar yang datang dari luar Mesir.

Editor: Moch Aldy MA

Lalu Azmil Azizul Muttaqin
Lalu Azmil Azizul Muttaqin Sedang mengkhatamkan sebuah buku

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email