Kata cinta adalah simbol untuk mewakili sebuah perasaan, yaitu perasaan cinta. Namun, kita sering kali mengatakan cinta tanpa mewakili perasaan itu sendiri. Bahkan, kita menggunakan kata cinta untuk merasionalisasi tindakan-tindakan yang bertentangan dengannya. Salah satu contohnya adalah komunitas pencinta alam. Namanya menggunakan kata cinta, tetapi apakah kegiatan mereka benar-benar mencerminkan makna dari cinta?
Komunitas pencinta alam merupakan perkumpulan orang-orang yang mencintai kegiatan di alam terbuka. Kegiatannya identik dengan aktivitas di alam seperti mendaki gunung, jelajah hutan, atau aktivitas luar ruangan lainnya.
Sejak awal dicetuskan, para pendiri komunitas ini menggunakan nama “pencinta” dengan tujuan agar anggotanya memiliki kecintaan terhadap alam. Kegiatan yang dilakukan di alam terbuka pun bertujuan agar anggota pencinta alam bersentuhan langsung dan jatuh cinta terhadap alam. Dari situ, harapannya akan muncul kesadaran untuk menjaga kelestarian alam.
Saat ini, banyak orang yang memiliki minat besar terhadap kegiatan pencinta alam. Hal ini membuat perkumpulan pencinta alam menjadi semakin banyak. Akan tetapi, seiring dengan bertambahnya minat orang terhadap kegiatan pencinta alam tersebut, perkumpulan itu terlihat semakin tidak mencerminkan namanya. Kegiatan pencinta alam yang dulunya bertujuan untuk memunculkan kesadaran mencintai alam, kini justru banyak yang berbuat sebaliknya. Aktivitas pencinta alam pun menjadi kabur antara mencintai atau mengeksploitasi alam.
Kita kerap mencampuradukkan antara cinta dengan eksploitasi. Pemahaman pendek tentang makna cinta akan menjerumuskan kita dalam kesalahpahaman. Lagi-lagi, kita menggunakan kata cinta tanpa mewakili perasaan cinta itu sendiri. Bahkan, ironisnya, kita menggunakan kata cinta untuk mewakili tindakan eksploitasi. Padahal, kedua hal itu sangat bertentangan.
Lalu, apa itu cinta yang sebenarnya? Erich Fromm, seorang filsuf dan psikolog sosial, mendefinisikan cinta dengan begitu indah. Dalam bukunya, Seni Mencintai, dia pernah mengatakan bahwa, “Cinta adalah suatu tindakan, bukan suatu kekuatan pasif. Cinta berarti ‘bertahan di dalam’, bukan ‘jatuh’. Karakter aktif dari cinta adalah memberi, bukan menerima.” Bagi Fromm, cinta adalah suatu perasaan yang membuat diri kita bertindak untuk memberi secara aktif.
Tindakan memberikan perhatian, rasa nyaman, pengorbanan, bahkan memberikan diri kita sendiri untuk mengabdi, menjaga, serta melindungi objek yang kita cintai, kesemua itu adalah cinta yang sesungguhnya. Sementara itu, eksploitasi menurut KBBI adalah “pemanfaatan untuk keuntungan sendiri”, “penghisapan”, dan “pemerasan atas diri orang lain dan merupakan tindakan yang tidak terpuji”. Eksploitasi adalah tindakan mengambil manfaat dari suatu objek untuk memenuhi kepuasan diri sendiri tanpa memperhatikan dampak lebih lanjut dari tindakan itu.
Pencampuradukan cinta dan eksploitasi sering kita jumpai dalam hubungan asmara. Banyak orang dengan mudah mengatakan “aku cinta padamu” ketika dalam hatinya tebersit keinginan untuk menguasai. Terkadang, kita merasa telah jatuh cinta pada seseorang dan menginginkan agar orang tersebut menjadi pasangan kita. Keinginan tersebut berubah menjadi eksploitasi ketika tujuannya hanya untuk memenuhi kepuasan diri sendiri tanpa mempertimbangkan perasaan orang yang kita “cintai”.
Seperti halnya kekasih, banyak pencinta alam yang melakukan kegiatan di alam terbuka hanya untuk memenuhi kepuasan sendiri tanpa memperhatikan akibatnya untuk alam. Kasus menggunungnya tumpukan sampah yang ditinggalkan pendaki di Gunung Everest hanyalah salah satu contohnya. Tahun 2018, momen pembersihan Everest berhasil menurunkan 8,5 ton sampah. Contoh lainnya adalah pembukaan jalur pendakian baru atau pembangunan tempat wisata alam dengan dalih untuk membuka peluang ekonomi penduduk sekitar hingga merusak kelestarian alam.
Mencintai alam seharusnya membuat diri kita aktif bertindak untuk memberikan perhatian, pengorbanan, dan dedikasi untuk mengabdi, menjaga, serta melestarikan alam. Sebab, kita jugalah bagian dari alam, kita tinggal di dalamnya. Alam telah menyediakan kebutuhan hidup kita, maka sudah sepantasnya kita berkorban untuk menjaga kelestariannya.
Baca juga:
Komunitas pencinta alam perlu merefleksikan kembali misi dan tujuannya, serta memastikan bahwa kegiatan mereka mencerminkan kata cinta dalam namanya. Sebab, kesesuaian antara nama dan tindakan adalah kunci untuk membangun kepercayaan dan mendapatkan dukungan dari masyarakat.
Lebih dari sekadar diklat, mendaki gunung, jelajah hutan, susur sungai, dan lainnya, komunitas alam harus bisa berbuat lebih untuk membuktikan kesungguhan cintanya terhadap alam. Tidak harus muluk-muluk, kegiatan mencintai alam bisa dimulai dengan pembersihan lingkungan, penghijauan, dan edukasi tentang ekosistem. Selain itu, komunitas pencinta alam juga dapat berpartisipasi dalam kampanye konservasi guna melindungi alam dari ekspansi korporasi.
Editor: Emma Amelia