Aku tak menyesal terlahir sebagai seekor anjing. Hidup bukan untuk disesali, pandai-pandailah untuk bersyukur. Walaupun aku tak tahu, aku ini anjing jenis apa? Mungkin aku tergolong anjing yang tak tampan. Tapi apa pentingnya ketampanan untuk seekor anjing? Ibuku tak pernah memberi tahu perihal jenisku. Aku juga tak pernah menanyakan perihal tentang itu kepada Ibu. Bagiku itu tidak penting. Yang aku tahu hanyalah aku ini seeekor anjing. Cukup. Seekor anjing tak perlu mengetahui banyak hal.
Sungguh malang nasib ibuku, kekasihnya (ayahku) pergi meninggalkannya ketika ia sedang mengandungku. Ayahku pergi bukan karena keinginannya. Majikannya membawanya pergi entah kemana. Tentunya tempat yang sangat jauh. Dan tak kembali sampai sekarang. Sampai aku lahir. Kata Ibu, aku sangat mirip dengan ayahku. Ayah yang tak pernah aku lihat. Dan mungkin selamanya tak akan pernah aku lihat.
Ibu sangat mencintai kekasihnya. Jadi, ibuku kawin dengan kekasihnya atas dasar cinta. Bukan nafsu birahi belaka. Karena asal kalian tahu, anjing juga berhak untuk mencintai. Aku adalah penangkal rindu Ibu kepada Ayah. Dengan aku lahir, Ibu sedikit demi sedikit akan berhenti memikirkan kekasihnya. Ibu akan menjadi anjing yang bahagia.
Tidak mudah menjadi seekor anjing. Aku dianggap haram dan menjijikan bagi orang yang mengaku taat kepada Tuhan. Padahal aku tak tahu apa salahku. Aku tak pernah memakan makanan mereka, aku tak pernah menggigit tubuh mereka, aku tak pernah mengganggu tidur mereka. Tapi, mereka begitu membenciku, setiap kali aku berpapasan dengan mereka, mereka pasti melemparku dengan batu atau menggebukku dengan kayu. Sungguh malang nasibku. Aku tak pernah melawan, aku hanya mengaing tanda aku terancam. Aku masih punya kesabaran. Tuhan selalu melindungi makhluk yang sabar. Begini-begini aku masih makhluk Tuhan.
Setelah aku dewasa dan menjadi pejantan sejati, aku putuskan untuk pergi dari Ibu, mencari jati diri dan mencari cinta barangkali. Ibuku dengan sangat enteng melepas kepergianku, ia tak sedih sama sekali. Anjing adalah hewan yang kuat. Hewan yang tak pernah menangis, walau sesakit apa pun yang sedang dirasakan. Tak seperti manusia sedikit-sedikit menangis. Dasar makhluk cengeng!
“Pergilah, Nak. Carilah yang hatimu pilih, lakukan sesuka hatimu. Tapi kau ingat, jangan pernah sakiti makhluk lain. Jika, ada yang menyakitimu menggonggonglah saja. Jangan sekali-kali kau gigit mereka. Jadilah anjing yang budiman.”
“Semoga aku selalu mengingat pesan Ibu. Bagaimana jika aku tak lagi bertemu ibu?”
“Yang terpenting kau jangan melupakan Ibu. Kau adalah anak Ibu semata wayang. Ibu sangat menyayangimu. Pergilah, Nak! Pergilah dengan berani! Ingat di luar sana kehidupan sangat kejam!
Kulangkahkan kakiku dengan yakin sekaligus dengan hati yang begitu berat meninggalkan Ibu. Tapi, pejantan harus berani melangkah. Berani mengambil keputusan. Hidup adalah pengembaraan, ditinggalkan dan meninggalkan adalah hal yang biasa. Apakah dunia begitu kejam bagi seekor anjing? Semoga Tuhan selalu menyertaiku, walaupun aku hanya seekor anjing.
Di tengah pengembaraanku, di sebuah kota yang sangat padat sekali penduduknya. Bangunan-bangunan tinggi menjulang. Manusia-manusia hiruk-pikuk tanpa saling menyapa. Manusia bergegas dan akhirnya saling bertabrakan. Anak-anak kecil berperut buncit terlantar di pinggir jalan. Remaja-remaja berpakaian putih abu-abu teler. Dan diantara mereka yang paling teler meracau sambil kedua tangannya dikepak-kepakkaan layaknya sepasang sayap.
“Awas-awas ! jangan halangi terbangku menuju surga!”
Wanita tua dan wanita muda saling berebut bangkai tikus. Mereka saling pukul, mereka saling tendang, mereka babak belur, mereka berdua sama-sama kalah. Bangkai tikus itu akhirnya dicomot oleh lelaki yang kelihatan berwibawa dengan setelan jas lengkap dengan dasi. Ia lalu memakan bangkai tikus itu dengan sekali masuk mulut. Tanpa nasi.
Di sebuah tenda, banyak anjing mati, yang kemudian dikuliti, dicincang dan kemudian masuk kuali. Pantas saja di kota ini tak ada anjing berkeliaran. Dengan hati yang bergetar, aku lari sekencang-kencangnya, pergi jauh meninggalkan kota yang sangat kejam. Aku tak ingin mati konyol dan berakhir di kuali.
Setelah berlari sangat jauh. Aku tiba di sebuah kampung yang begitu lengang. Jarak antar rumah tidak teralalu jauh dan tidak teralalu dekat. Pas. Aku berjalan dengan pelan sembari melempar pandang ke kanan dan ke kiri. Aku melihat orang-orang di kampung ini seperti linglung, bingung dan tatapan mereka kosong. Mereka menggumamkan kata-kata yang tak jelas. Mereka seperti keranjingan sesuatu yang membuat mereka penuh sekaligus kosong secara bersamaan.
Aku berhenti di sebuah bangunan yang sangat lengang, kosong melompong. Bangunan itu besar, lantai dan dindingnya putih bersih. Bangunan tersebut berdiri megah, terpisah dari rumah-rumah yang berdempetan. Rumah siapa ini? Apakah aku boleh masuk? Barangkali ada manusia berbaik hati yang akan memberiku makanan yang lezat? Tidak, manusia kebanyakan adalah makhluk yang jahat. Mana mungkin ada manusia yang berbaik hati kepadaku? Tapi setelah aku amati, rumah itu kosong tak ada manusia yang menempati. Di dalamnya hanya terhampar karpet yang lebar hampir menutupi seluruh permukaan lantai yang bersih. Tak ada kursi, meja, ranjang, dan perabotan yang lain. Kalau ini sebuah rumah, pasti penghuninya adalah makhluk yang bahagia. Karena terhirup aroma kebahagian dalam rumah itu. Aku bisa dengan mudah merasakannya.
Senja sudah tiba, langit sudah menggelap. Malam akan segera tiba. Dari kejauhan aku melihat ada lelaki tua mendekat ke rumah ini. Apakah dia pemilik rumah ini? Pasti dia akan melemparku dengan batu jika dia melihatku. Pastilah dia sama seperti manusia yang lainnya. Manusia memang lebih kejam dari pada setan. Aku pun bersembunyi di semak-semak. Gelap adalah tempat sembunyi paling aman. Aku tak akan terlihat oleh lelaki tua itu.
Lelaki tua memasuki rumah itu. Dengan begitu ringan kakinya melangkah masuk ke dalam rumah itu. Pasti dia sang pemilik rumah. Tidak salah lagi. Lelaki tua bersorban tidak mungkin dia perampok. Tidak mungkin dia akan mengambil barang-barang di rumah itu. Toh di dalam rumah yang megah itu tak ada barang dan perabot yang berharga. Aku akan mengawasi lelaki itu. Jika dia terlihat mencurigakan, aku akan melolong keras. Tanda ada bahaya.
Lelaki tua itu mengambil benda tumpul kemudian mendekatkan ke mulutnya. Apa yang akan ia lakukan? Apa dia akan memakannya? Makanan apa itu? Aku belum pernah melihatnya. Apalagi memakannya.
Kemudian lelaki tua itu mengeluarkan suara. Apakah ia bernyanyi? Suaranya sungguh merdu. Walaupun ia sesekali terbatuk dan nafasnya terengah. Tapi ia selesaikan lagu tersebut. Ia sangat hafal, seperti setiap hari menyanyikannnya. Sungguh lagu yang indah. Kalau saja aku manusia, pasti aku akan selalu menyanyikan lagu itu. Sekarang aku punya lagu favorit.
Lalu ia duduk bersila dengan kepala yang tertunduk. Seperti ada yang ia pikirkan. Apakah ia sedih? Apa ia tidak bahagia tinggal di rumah semegah dan sesejuk itu? Mungkin ia kesepian? Entahlah, aku hanya seekor anjing. Aku hanya menebak-nebak.
Lelaki tua itu terlihat gelisah. Ia lempar pandangan ke luar rumah, ke halaman bahkan jauh sampai ke jalan. Apakah yang ia cari? Mungkin ia menunggu seseorang? Apa ia mengetaui keberadaanku? Padahal aku sudah bersembunyi dengan baik. Gelap sangat pandai menyembunyikan apa pun.
Setelah lama mengamati gerak-geriknya. Sekarang aku menyimpulkan lelaki tua itu sangat kesepian. Tapi ini hanya kesimpulan seekor anjing. Kesimpulan ini bisa meleset. Apalagi kesimpulan seekor anjing. Ia begitu sangat berharap ada yang menemaninya. Mungkin ia berfikir sangat mubazir rumah sebesar itu hanya ada ia seorang diri. Apakah aku harus menemaninya? Tapi banyak manusia yang membenci anjing sepertiku.
Tiba-tiba, ia berjalan keluar seperti mengetahui kehadiranku. Apakah persembunyianku akan ia ketahui? Ya, ia berjalan ke arah tempat aku sembunyi. Padahal aku sembunyi di tempat paling gelap. Ia menghampiri dengan penuh curiga. Aku meringkuk dengan penuh ketakutan.
Ia memandangku dengan sorot mata yang teduh. Sekarang aku bisa tenang. Sepertinya ia manusia yang ramah. Jadi aku tak ragu keluar dari persembunyianku. Kemudian dengan sangat lembut ia elus kepalaku dengan tersenyum. Ia memang sangat pandai menerima tamu.
Ia mengajakku masuk ke dalam rumahnya. Kulangkahkan kakiku masuk ke dalam rumahnya dengan hati-hati. Aku harus selalu waspada. Manusia sangat pandai menjebak. Manusia penuh dengan tipu muslihat. Aku harus lebih pintar dari manusia.
“Masuklah! Jangan kau sungkan. Walaupun ini bukan rumahku, Yang punya rumah pasti senang rumahnya ada yang datang mengunjungi. Rumah ini selalu tak ada yang mengunjungi. Sudah lama, entah berapa lama. Hanya aku yang selalu mengunjungi rumah ini. Yang punya rumah ini pasti sedih sekali.”
Aku mengerti apa yang ia katakan. Tanpa perasaan canggung aku berada di dalam rumah ini. Setelah berada di dalam rumah, ternyata rumah ini sangat luas. Di dinding terdapat tulisan yang melengkung-lengkung, entah apa maksudnya. Aku tak akan pernah mengerti. Aku hanya seekor anjing.
Ia melangkah ke depan, memegang benda tumpul yang tadi digunakannya bernyanyi. Mendekatkan pada mulutnya. Apakah ia akan bernyanyi lagi? Apakah ia akan mengajakku bernyanyi? Hahhh, mana mungkin, aku hanya seekor anjing. yang bisa kulakukan hanya mengaing dan melolong. Mana mungkin ada seekor anjing bisa bernyanyi?
Ya tak mungkin, ia tak akan mengajakku bernyanyi. Ia mulai bernyanyi. Lagu yang hampir sama dengan lagu yang tadi ia nyanyikan, tapi sekarang lebih sebentar ia bernyanyi. Ia terlihat lebih tergesa-gesa.
Ia menyurhku berdiri di sampingnya. Aku pun menurut. Ia mengangkat tangannya ke samping kepala dan mengeluarkan suara “Allahuakbar”. Entah apa maksud lelaki tua itu. Aku tak mengerti. Aku hanya seekor anjing.