Menulis cerpen dan mengamati manusia

Altar Para Babi

IK Pradana

3 min read

Bau menyengat semerbak, merayap di antara dinding gorong-gorong dan menusuk hidung siapa saja yang membaui. Albu, sedang menyunat otaknya yang setinggi satu meter. Albu berbeda dari tikus-tikus lain. Giginya sudah mandek tumbuh, tak perlu ia mengerat sabun batang atau benda-benda aneh untuk menjaga supaya giginya tetap berfungsi normal. Namun, otak Albu selalu berkembang dan membuat kepalanya meninggi lima puluh senti meter per hari. Sekarang adalah dua hari setelah ia menyunat otaknya. Walaupun cukup merepotkan, namun berkat otaknya Albu menjadi tikus paling jenius abad ini dan dianugerahi penghargaan oleh dunia perbinatangan. Salah satu penemuannya yang paling gila dan fenomenal adalah alat penyunat otak. Alat itu ia buat untuk menyunat otaknya sendiri, karena jika tidak maka kepalanya mungkin bisa mendarat di Mars tanpa harus menaiki roket.

Albu adalah tikus yang selalu ingin tahu dan dengan kecerdasannya kerap kali membantu tikus lain dalam upaya mengatasi berbagai masalah, seperti banjir lumpur yang kerap melanda. Moto hidup Albu ialah, “orang susah adalah aku, aku adalah orang susah. Susahku hilang, susah orang juga harus hilang.”

Slogan hidupnya itu ia genggam erat hingga kini. Albu paham betul, ia berasal dari dalam gorong-gorong pengap dengan udara lembab dan sempit. Kendati dengan otaknya ia bisa mendapatkan hidup yang lebih layak, ia memilih tetap tinggal di kompleks gorong-gorong spesiesnya untuk menjaga nyala idealisme dan luhurnya bakti sosial yang ia junjung tinggi. Durhaka jikalau meninggalkan kesusahan kepada puak sendiri. Namun, mau sepiawai apa dan sebanyak apapun solusi yang Albu kerahkan, badai masalah tak lekang dan tak ada niat untuk hengkang. Tak berkesudahan menimpa binatang kelas rendah seperti puaknya. 

Bulan demi bulan berjatuhan, matahari entah berapa kali meninggi, Albu berkontemplasi. Bagaimana caranya menghilangkan masalah-masalah yang kerap datang seperti kawanan belalang yang menyerbu ladang gandum. Apa yang harus ia lakukan supaya puaknya sejahtera. Bunyi-bunyi itu kerap menggonggong dalam kepala. Di tengah upayanya tersebut, Albu menjadi rutin pergi ke dalam hutan untuk bersemedi. Kecerdasannya tak sanggup untuk menemukan jawaban. Albu butuh bantuan Tuhan. Tak lama, selang separuh bulan berlalu Albu pun mendapatkan petunjuk. Ada bisikan lirih: “Masuk ke dalam sistem adalah cara menghentikan lumpur.

“Apakah kau yang bernama tuhan? Memperbaiki sistem? Sistem apa? Jika suara gaib ini berasal dari kau, maka beritahu aku tutorialnya jangan cuma bisikan yang nggantung dan ambigu! ckh!

Wajar bila Albu merasa buntu dan bingung. Albu adalah seekor tikus kecil yang berumur satu setengah bulan. Banyak hal yang belum ia tahu. Namun, karena Albu adalah tikus yang cerdas dan memiliki rasa penasaran yang begitu tinggi, ia membaca seluruh buku di perpustakaan hutan guna mencari dan memahami bisikan yang ia dapatkan. Ia ingin tahu apa itu sistem dan kenapa ia harus masuk ke dalam sistem.

“Sistem rimba perbinatangan. Ya, mungkin itu! Itu maksudnya, Nak!” ucap keledai tua penjaga perpustakaan hutan dengan bungah. “Kau harus menutup kerannya!”

“Memangnya kenapa dengan sistem rimba, Pak Tua?” Mata Albu membelalak.

“Akhir–akhir ini, anggota perserikatan di hutan kita semuanya adalah babi. Dan kau tahu nak, babi-babi itu lebih piawai melenggok dan berkubang lumpur ketimbang mengurusi hutan. Harusnya, mereka malu dengan kau.”

“Hah? Menjijikan sekali. Baiklah, Pak Tua. Terima kasih sudah mau berdiskusi denganku. Aku pamit undur diri. Aku mau jadi Kepala Rimba biar negeri ini dan orang-orangnya makmur sejahtera. Sayang bila otakku hanya tumbuh dan kusunat saja tanpa dimanfaatkan sepenuhnya. Setidaknya babi-babi itu akan kubuat sadar.”

“Kau yakin, Nak? Siapa tahu malah kau berubah menjadi babi… HAHAHA.”

Waktu berlalu, Albu kini sudah berhasil merangsek ke dalam sistem yang dibisikkan Tuhan pada mimpinya. Baru beberapa minggu, namun banyak hal yang membuat Albu bergidik ngeri. Di Altar Rimba, tempat para petinggi hutan melangsungkan diskusi dan musyawarah, penuh dengan lumpur. Lumpur busuk berbau tajam yang mencabik indra pembau. Para babi juga nampak ganjil. Mereka tak pernah melangsungkan rapat untuk menyelesaikan berbagai masalah yang menimpa para binatang. Hanya asyik main lumpur sembari berguling ke sana ke mari, tanpa tangan dan kaki. Dengan mata tertutup, kuping tersumbat dan perut yang buncit.

Albu menjadi sosok paling frontal dalam forum di Altar Rimba. Apalagi setelah tahu bahwa lumpur-lumpur yang memenuhi altar dan dipakai para babi untuk berkubang dibuang seenak jidat dan mengalir menuju kompleks gorong-gorong puaknya. 

“Kenapa kau marah, tikus kecil? Cobalah untuk berkubang ke dalam sini. Kau akan merasakan ke-nik-ma-tan surrr-gawi,” hasut babi hitam bernama Moko.

“Lumpur-lumpur ini adalah anomali sekaligus ironi! Mengapa Bapak dan anak buah bapak semuanya sibuk bermain dengan benda yang menjijikkan ini?”

Setelah mendengar jawaban Albu, Moko menyeringai penuh ketidakpedulian. Ia berguling tiga kali ke kanan untuk memberi isyarat pada asistennya. Meminta matanya untuk dibuka kemudian tangan dan kakinya yang disimpan di dalam lemari. Setelah pelayannya kembali dengan barang yang Moko inginkan, Moko bergegas memasang semuanya dan mendorong Albu sang tikus jenius ke dalam kubangan agung miliknya.

“Apa peduliku pada mereka. Jelas saja mereka menentang, karena lumpur yang mengaliri tempat lahir mereka adalah sari pati, tak seperti lumpur segar Altar Rimba yang penuh nutrisi,” Moko tertawa gelak.

“Jika sudah di sini kau tak butuh mata dan telinga, apalagi nurani. Buang itu ke tempat sampah. Simpan juga tangan dan kakimu di lemari. Alakadarnya saja. Kau hanya perlu menyiapkan sedikit akal bulus, supaya perutmu bisa terisi tanpa perlu banyak babi untuk ngepet.”

Albu menggeleng, bergegas bangun dari kubangan lumpur yang menjijikkan itu. “Kau salah, Pak. Sebagai binatang berwenang kau dan kronimu berperan mengatur yang lain. Hutan adalah tanggung jawabmu dan kehidupan para binatang adalah mulut-mulut yang harus kau isi!”

“Kau benar, tapi aku tak salah juga. Kemarilah, kita berkubang sebentar. HAHAHA.”

Kini bukan hanya kepala Albu yang membesar, perutnya juga membuncit seiring ia menjabat sebagai kubu pro hewan kelas rendah satu-satunya dalam Altar Rimba. Kelakuannya mulai mirip dengan para babi. Albu menjadi gemar berkubang bersama Moko dan kroninya ke sana dan ke mari, dengan mata tertutup dan kuping tersumbat. Tanpa tangan dan kaki. Benda itu ia simpan rapi dalam lemari. Seperti kata Moko, “Pakai seperlunya saja.” 

Perut Albu terus membesar hingga menyentuh singgasana tuhan. Tuhan yang dulu membisikkan mantra sakti dan wejangan ke dalam mimpinya. Sebegitu kecewanya tuhan pada Albu karena Albu mengabaikan petunjuknya. Tuhan menarik perut Albu, kemudian meniupnya dengan terompet sangkakala. Gema suara yang begitu dahsyat mengguncang perut Albu hingga meledak bak kaleng rombeng. Kemudian bangkai Albu ia angkat ke Kayangan dan dilemparnya kepada anjing-anjing neraka yang kelaparan.

*****

Editor: Moch Aldy MA

IK Pradana
IK Pradana Menulis cerpen dan mengamati manusia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email