Zohran Mamdani bukan hanya berhasil mencatat sejarah sebagai muslim pertama yang memenangkan pemilihan Wali Kota New York 2025 melalui Partai Demokrat. Ia, bukan hanya fenomenal bagi masyarakat New York dan Amerika Serikat. Tapi, Ia menjadi simbol perlawanan kaum mustadl’afin yang akan menginspirasi dunia.
Identitasnya sebagai Islam (Syiah lagi), terlahir dari beragam budaya Asia-Afrika-Amerika. Punya prespektif sosialisme adalah hal yang unik dan agak kontradiktif dengan watak politik AS yg imperialis.
Baca juga:
Janji politik Mamdani yang sosialis itu di antaranya: pajak progresif pada orang kaya, pembekuan sewa bagi warga berpenghasilan rendah, bus gratis, penitipan anak gratis, jaminan kesehatan universal, nasionalisasi supermarket yang dikuasai swasta (kapitalis), pro pada imigran, dan yang lebih mengejutkan pro Palestina dengan mengancam akan memenjarakan Netanyahu jika nekat menapakkan kakinya di NY (sebagaimana keputusan ICJ).
Konsekuensinya Mamdani dikeroyok oleh Donald Trump, para kapitalis AS, Netanyahu dan zionis, Elon Musk, bahkan partainya sendiri (Partai Demokrat). Nyaris, Mamdani hanya punya satu modal: memanfaatkan muaknya masyarakat NY terhadap logika sayap kanan yang merusak tatanan politik kemanusiaan.
Mamdani memang tidak didukung oleh modal material yang mapan. Seperti endorsement penguasa dan orang-orang kaya. Tapi, Mamdani didukung oleh mayoritas masyarakat yang lelah dengan akrobat politik sayap kanan.
Meski diserang secara masif, Mamdani tak gentar untuk terus maju. Dan dia dengan sadar masih menggunakan alat politik (partai). Sekalipun alat politik itu tidak memberi jaminan, kenyamanan, apalagi sebagai tesis kebenaran politik yang mutlak.
Berkaca pada kondisi kita hari ini, dari pengalaman politik di Indonesia (mungkin juga terjadi di banyak negara), jika merujuk dari berbagai temuan empiris, kiprah partai politik dan ormas Islam begitu banyak yang selaras dengan agenda kapitalis. Akibatnya, masyarakat (terdidik) luas kini tidak lagi percaya pada alat politik.
Namun secara rasional, kondisi seperti ini justru malah menguntungkan neoliberalisme dan zionisme itu sendiri. Karena kemarahan, protes, dan tuntutan rakyat atas ketidakadilan, seolah berserak tanpa alat politik yang memadai, dan tepat di sinilah celah neoliberal melemahkan peran negara.
Gerakan politik, gerakan rakyat, gerakan non-kekerasan kini tak punya legitimasi. Ia tak punya alat politik dan daya tawar yang kuat. Dan akhirnya tak mampu membuat perubahan signifikan.
Padahal, masalah struktural di negeri ini seperti isu lingkungan, perburuhan, masyarakat adat, kriminalisasi aktivis, korupsi, toleransi agama, solidaritas Palestina serta narasi anti-kolonial dan lain sebagainya butuh diakomodasi. Tanpa saluran dan alat politik, gerakan rakyat sepertinya masih akan berjalan di tempat.
Di Indonesia, meski argumen ini sporadis, dengan lancang bisa dikatakan ormas Islam itu setara parpol. Terutama dua ormas Islam yang besar: PBNU dan PP Muhammadiyah. Namun, dua ormas Islam ini seolah tak punya kemandirian politik selain membebek pada agenda oligarkis. Selain hal tersebut, teologi pembebasan seperti melompong dalam diskursus ekonomi politik.
Posisi politik ormas Islam ini sangat esensial bagi masyarakat muslim Indonesia. Meski mereka bukanlah otoritas tunggal yang bisa dijadikan sandaran. Sayangnya, dua ormas Islam ini masih menjadi rujukan mayoritas masyarakat muslim tanah air. Entah itu sebagai preferensi politik dalam negeri maupun solidaritas internasional (Palestina).
Baca juga:
- Palestina: Panggung Pertaruhan Integritas Indonesia
- Membedah Kolonialisme Pemukim Lewat Israelisasi Kuliner Palestina
Jika Mamdani bekerja mengartikulasikan kembali Islam di tengah kerasnya islamophobia dan stereotip Islam “teroris” terutama sejak propaganda kolektif pasca peristiwa “9/11” dengan tindakan politik kiri, di Indonesia, diskursus Islam politik masih pada level seputar isu pro-kontra salim kiai sambil tunduk dan jongkok sebagai label feodal; peristiwa pondok pesantren rubuh yang direspon oleh kiai yang dituduh irasional; dan perosalan keaslian nasab habib sebagai dzuriat Nabi SAW.
Agak miris dan sedih sebetulnya. Tapi kabar kemenangan Zohran Mamdani seperti membawa harapan baru. Dia seperti menyalakan cahaya kecil di tengah kegelapan Islam politik.
Karena Islam bukanlah sekadar agama, tapi juga sesuatu yang potensial menjadi motor revolusioner. Dalam tradisi pesantren kita misalnya, tak ada yang salah dengan tradisi tawadhu kepada guru, dan mengaji kitab kuning yang masih menjadi primadona kaum santri. Tapi mengaji kitab anti-kolonial dan belajar ekonomi-politik adalah sebuah tuntutan yang juga mendesak.
Karena itu, kealiman dan kesalehan kaum santri tidak kontradiktif dengan nilai peradaban Islam itu sendiri yang kompatibel di segala zaman. Terutama sejarah melawan penindasan.
Kita tahu, santri sendiri punya posisi historigrafi di republik ini. Perannya dalam perjuangan anti-kolonial menjadikan ia layak dibanggakan bahkan diberi keistimewahan sehingga kini dikenang sebagai “Hari Santri Nasional”.
Di luar santri, masyarakat muslim (dan seluruh rakyat Indonesia tentunya) juga punya peran dan tanggung jawab yang sama dengan para santri. Namun sayangnya perselisihan antar kelompok dan mazhab dalam tubuh muslim di Indonesia nampaknya masih memikat meski menguras energi yang mubazir. Seolah perbedaan akidah mazhab lebih penting diperdebatkan ketimbang ukhuwah islamiyah melawan ketidakadilan, kapitalisme, dan kolonialisme.
Ibadah Vertikal dan Horizontal
Tajuk berita di AS mungkin agak histeria, sosok Zohran Mamdani digambarkan sebagai cahaya baru perubahan. Namun bagi kaum Muslim, ini momentum refleksi. Bagaimana kesalehan ritual bisa selaras dengan kesalehan sosial. Bisa ibadah khusyuk secara vertikal tapi tak mengabaikan persoalan horizontal.
Epistemologi Islam kiri Hasan Hanafi menjelaskan hal ini dan kini tak lagi mangkrak di rak buku. Dia tak lagi teronggok dan diselimuti debu pesimisme. Mamdani seolah membuka kembali lembar demi lembar kitab Islam kiri. Kini ia membacanya bukan lagi dengan wacana tapi tindakan.
Mamdani seolah melanjutkan estafet intelektualisme Hasan Hanafi yang mendefinisikan visi Islam kiri dengan pendistribusian kekayaan hingga menyasar pada kaum mustadl’afin.
Sepintas saya melihat Mamdani sedang mengaplikasikan teologi Islam Kiri dari Hasan Hanafi, Asghar Ali Engginer hingga Ali Syariati. Tentu saja Marx ada dalam daftar literaturnya. Namun, peran ayahnya Mahmood Mamdani, yang juga seorang intelektual progresif yang pernah menulis buku Good Muslim Bad Muslim paling memungkinkan dirinya punya bekal pandangan progresif.
Buku tersebut membongkar dikotomi imitasi muslim baik dan muslim buruk. Kategoriasasi muslim baik dan muslim buruk coba dihadap-hadapkan, dan seolah masalah muslim adalah mereka sendiri yang berpandangan ekstremis.
Muslim yang dinginkan elit global adalah muslim yang toleran, moderat, cinta damai, dan anti jihad. Sedang muslim yang buruk dilekatkan pada istilah fundamentalisme, terorisme, radikalisme, ekstremisme yang malah seringkali dimainkan politik keamanan internasional untuk mendeligitimasi perlawanan Palestina terhadap Israel dan penjajahan AS terhadap Iraq juga Afghanistan.
Alhasil, dikotomi ini bukan hanya menguras tenaga perselisihan umat Islam. Namun, ia mengaburkan problem yang fundamental seperti kapitalisme, neoliberalisme dan kolonialisme.
Genealogi Mamdani tak lepas dari peran ayahnya. Ia antara Islam kiri (progresif), sosialis, dan seorang yang multi kulturalis. Analisa kelasnya nampak pada jejak politik dan janji politiknya. Dan juga cara dia berbaur pada kelompok-kelompok minoritas dan yang tertindas.
Mamdani, semakin disudutkan semakin melawan. Ia tidak menutupi identitasnya sebagai muslim (syiah lagi) sekalipun stereotip dan umpatan terorisme diasosiasikan pada Islam masih melekat (meski sekarang berangsur-angsur memudar).
Dan Mamdani bukan saja seorang muslim. Ia berpandangan kiri progresif. Ia, dengan sadar dan usaha keras merebut alat politik, Partai Demokrat. Sekalipun partai itu separuh hati mendukungnya. Namun, pada akhirnya Ia menang!
Akhirnya, Mamdani adalah antitesis kemandekan gerakan Islam yang pro-oligarki, kapitalis, dan zionis. Kini, para demagog yang anti dengan politik Islam (kiri) nampaknya sedang mencari cara menyembunyikan dengan cerdik rasa kesalnya atas kemenangan Mamdani. (*)
Editor: Kukuh Basuki
