Pada mulanya sebuah siluet yang remang di suatu kamar penginapan. Tokoh utama kita (Xavier Lafitte) merupakan seorang pria gondrong dengan tatapan tajam – tanpa nama dan hanya kita kenal dengan sebutan dia. Dia datang ke sebuah kota (Strasbourg) untuk mencari dambaan hatinya — Sylvia. Wanita tersebut pernah dijumpainya 6 tahun lalu, di sebuah bar remang dengan lampu dansa kelap-kelip bernama Les Aventeurs. Sebuah premis cerita yang terlihat sederhana dari José Luis Guerín – namun nyatanya, yang sederhana justru mengundang segudang tanya.
Di adegan awal, penonton diajak melakukan observasi bersama sang tokoh utama – di sebuah kafe pada cuaca yang terik, penonton disajikan aktivitas orang-orang yang beragam. Ada dua wanita yang saling berbincang, ada sekumpulan orang memesan makanan, ada pasangan yang saling memandang – penonton diajak ‘mengintip’ kehidupan kota tersebut dari mata sang tokoh utama. Tak sekadar memandang – lambat laun kita tau bahwa si tokoh mencari Sylvia di antara kerumunan orang-orang tersebut. Kita sendiri semakin yakin bahwa pria ini tak betul-betul ingat rupa wajah Sylvia – terlihat ia menggambar berbagai sketsa wanita di sekitarnya. Tak menentu – siapa saja yang menarik pandangannya.
Makin jauh kita makin ragu – adakah tokoh Sylvia? Namun keraguan ini justru memercikan rasa penasaran lebih jauh. Seakan-akan Guerín mematri penontonnya untuk terus ikut mencari Sylvia bersama sang tokoh utama. Sepanjang film, Guerín tak memberikan penontonnya plot cerita layaknya sajian film pada umumnya. Tak ada plot cerita yang harus diselesaikan. Tidak ada ledakan ala Hollywood. Tidak ada kisah seorang ksatria yang menyelamatkan tuan putri – walaupun roman nampaknya bisa jadi tema utama film ini. Obsesi – mungkin lebih tepat sebagai tema keseluruhan In The City of Sylvia. Obsesi pada bentuk yang sempurna – khayali mungkin, yang direpresentasikan dalam sebuah memori tentang wanita bernama Sylvia di suatu kota.
Menonton film ini butuh kesabaran lebih – dan mungkin memang tipe film yang tak cocok untuk selera banyak orang. Namun di sinilah sisi yang spesial dari karya Guerín. Kita diajak bersama si tokoh utama memperhatikan orang-orang — kebanyakan wanita (dan atraktif), mencari Sylvia yang mungkin ada di antara mereka. Penonton mungkin akan kurang nyaman dengan pengambilan gambar yang diambil dari jarak dekat — yang seolah-olah ‘menatap’ dan ‘ditatap’ oleh orang-orang yang berada di dalam layar. Pertukaran tatapan ini seakan-akan sebuah tes psikologi bagi penonton.
Pengambilan kamera yang beberapa kali sengaja memperlihatkan potret dekat ekspresi dan aktivitas para tokoh dalam film, seakan-akan membuat penonton disodorkan sebuah cermin. Seakan-akan motif hingga perasaan penonton dikorek – dimintai respons terhadap mise-en-scène yang tersaji di hadapannya. Bagaimana respons kita menatap pasangan berargumen? Menatap pasangan berciuman di hadapan kita? Menatap wanita yang diam-diam menyadari sedang ditatap? Menatap pelayan yang menerima komplain dari pelanggan? Menatap perempuan manis bermain violin? Seakan-akan batas antara ‘yang nyata’ dan yang terbentang di layar berhasil dibongkar Guerín. Seperti sebuah sajian dokumenter – yang sedang menyorot lingkungan yang kita kenal. Ada keterkejutan – ada kedekatan dengan yang nyata oleh apa yang di tampilkan dalam layar film.
Padahal – itu Strasbourg. Lanskap nun jauh di wilayah Prancis. Namun, kita dibuat dekat juga dengan permainan suara dalam film ini. Suara-suara seolah bocor –diisi gema langkah kaki di gang-gang, percakapan orang-orang di kafe, permainan violin dari pengamen di jalan, suara trem yang menggema, seakan-akan semua sama di berbagai tempat dan kota. Strasbourg atau Jakarta, atau New York, atau Osaka – suara-suara dari ‘yang sehari-hari’ ini membuat siapa pun merasa dekat dengan setting film ini. Merasa tak terasing dan terlalu jauh dengan yang ditatap.
Satu-satunya momen intensitas yang meninggi pada film ini justru terjadi pada adegan ketika tokoh utama kita mengikuti (‘menguntit’) seorang wanita cantik (Pilar López de Ayala) yang dilihatnya ketika duduk di kafe. Dalam benaknya ia meyakini dengan memori yang samar – bahwa yang diikutinya adalah sosok Sylvia yang ia cari-cari. Dari sini penonton disajikan elemen suspense ala Hitchcock – dengan derap kaki yang menggema di antara gang-gang kecil dan adegan persembunyian di etalase toko. Semuanya terlihat natural – namun lagi-lagi di sini sebuah tes psikologi kedua disajikan pada penonton. Di mana batas antara sang pemimpi yang mengejar cinta sejati dengan obsesi untuk merengkuh dan memiliki?
Margin antara ‘pencarian’ dan ‘perburuan’ menjadi sangat tipis pada adegan ini. Antara act of searching dan act of hunting seakan-akan menjadi kabur. Penonton dibuat bertanya – apakah si tokoh utama betul-betul mencari cinta sejati pada sosok Sylvia? Atau justru membenarkan cinta menjadi sebentuk obsesi untuk memiliki yang sempurna – merengkuh yang ideal. Namun kita tahu – setiap ambisi untuk menuju kesempurnaan adalah sebuah pathos – sebuah cacat yang utopis.
Erich Fromm seorang psikoanalis asal Prancis – menyebut dua bentuk ini sebagai ‘mode of have’ dan ‘mode of being’. Cinta yang dikendalikan dengan perasaan ‘to have’ – menghasilkan bentuk konsumsi dan obsesi pada orang lain. Dengan modus kepemilikan – ia menuntut yang sempurna pada orang lain, menjadikan orang lain sebagai objek pengendalian, objek manipulasi, dan kontrol. Sedangkan cinta dengan modus menjadi (mode of being) – maka tindakan cinta tidak akan membuat orang lain hancur. Cinta menjadi pencarian bukan sekadar obsesi untuk merengkuh – namun mencari, menemukan makna dalam dirinya sendiri. Menurut Fromm, cinta yang dihasilkan dari modus menjadi adalah cinta yang produktif. Saling membangun dan melengkapi. Tidak menuntut kesempurnaan – namun saling menambal yang gompal.
Kembali pada adegan ‘menguntit’ – di film, tokoh utama kita berada pada ambilvalensi antara cinta dan obsesi. Di ujung – kita tau wanita tersebut bukan Sylvia. Ia sengaja menghindari si tokoh utama karena mengetahui sedang diikuti. Itu membuatnya merasa tak nyaman dan ketakutan. Tokoh utama kita tersadar – dan sangat menyesali perbuatannya. Bahwa ada kalanya pengejaran pada apa yang kita impikan dan cintai bisa berubah menjadi bencana saat tergelincir pada sebentuk obsesi buta. Apa yang dialami tokoh utama sejatinya dikotomi yang selalu kita hadapi sehari-hari.
Manusia bisa tergelincir pada obsesi dan perburuan yang tak sadar, sebetulnya mengasingkan dirinya sendiri. Terlebih – sebuah obsesi dan perburuan pada kesempurnaan adalah sesuatu yang mustahil dikejar. Sekalipun kita yakin bahwa yang sempurna itu ada – layaknya tokoh utama membayangkan Sylvia. Namun kesadaran akan suatu ‘batas’ adalah sejatinya yang harus dimiliki manusia. Batas itu adalah penerimaan pada yang ganjil, obskur, tak pejal, dan tak sempurna.
Dikotomi ini juga ditampilkan sangat sublim oleh Guerín melalui fragmen-fragmen minor dalam film In The City of Sylvia. Jika kita setuju bahwa tema film ini adalah obsesi pada kesempurnaan – namun ternyata banyak ‘ketaksempurnaan’ yang hadir di sepanjang film. Layaknya kehidupan – Guerín menyisipkan simbol itu pada potongan adegan seperti ketika pengemis meminta uang pada tokoh utama, seorang penjual korek yang ditolak pelanggan, seorang pelayan yang dikomplain, seseorang yang lunglai di pinggir jalan sambil menggelindingkan botol alkohol, seorang penganggur yang memberi makan burung, dan tentu saja – cacat obsesi pada si tokoh utama yang tergelincir dari pencarian cinta sejatinya sendiri. Namun – begitulah hidup seharusnya, tak diisi dengan kesempurnaan terus menerus karena orang perlu belajar dari ketergelinciran, dari kesilapan, dari kelemahan yang ada pada dirinya sendiri.
Guerín menyajikan semua itu dengan baik dan sederhana. Seakan-akan cermin – ia membuat In The City of Sylvia sebagai ruang tanya bagi penonton. Tes psikologi yang membuat penonton berpikir lama – tentang obsesi dan cinta, tentang kesempurnaan dan ketaksempurnaan, tentang menerima hidup yang tak sesuai dengan mimpi dan pencarian. Jangan-jangan kita juga memiliki Sylvia dalam hidup yang selalu kita cari – kita impikan. Di manapun dan apa pun Sylvia kita – setidaknya pencarian itu harus mengenal batas agar terhindar dari jebakan obsesi, bahkan ketika perjalanan tersebut tak selalu sempurna. Izinkan saya mengutip satu kalimat dari Goenawan Mohamad yang saya rasa sangat cocok menggambarkan film ini:
“Jangan-jangan Tuhan menyisipkan harapan bukan pada nasib dan masa depan, melainkan pada momen-momen kini dalam hidup—yang sebentar, tapi menggugah, mungkin indah”.
***
Editor: Ghufroni An’ars