Penulis lepas, terlepas dari apa saja. Masih suka bingung mau nulis apa dan bagaimana.

Tiga Puluh Menit yang Monumental

Dani Alifian

4 min read

Cerita ini akan berakhir tiga puluh menit setelah pertemuan. Pertemuan dengan siapa? Sebaiknya simpan dulu pertanyaan itu, siapkan seperangkat rokok, dan minuman kesukaanmu. 

Malam menyedotku pada putaran waktu yang sulit dijelaskan. Lampu, gedung, dan jalan raya tidak berubah. Di sudut kanan, kilatan cahaya memecah malam yang sudah lewat setengah. Aku melihat layar ponsel, ternyata tiga menit lagi tepat tengah malam: 00.00.

Aku hanya ingin berjalan, membawa naskah puisi yang gagal atau lebih tepatnya tidak bisa disebut puisi. Kalau tidak salah ingat, kata-kata gagal itu begini tulisannya.

Di Kota Ini

Di kota ini, takdir tidak ramah 

patung Chairil berdiri tegar

enam puluh tujuh tahun lamanya, 

dilewati lalu lalang , 

korosif dan beradu deru dengan waktu

Di ruas jalan kayutangan 

senja mekar di barat , 

tapi gemuruh langit hambar

burung – burung gereja mengitari pelan

di antara kerlap kerlip lampu kendaraan

ruang tersingkap di sudut timur

seseorang pejalan tangguh memupus sepi

malam itu, jam berdentang keras

tapi suaranya hening 

Ia melambai ke arah trotoar

parasnya nanar, 

diiringi musik keroncong 

dan gitar klasik 

tapi, pada siapa tangan itu kenal?

Paras yang tak pernah singgah sesaat, 

datang dan pergi di kota ini

Ia berputar tujuh kali

layaknya tarian sufi

Hari berganti, di kota ini

Dan cemas masih dibekapnnya erat

pada siapa ia akan bertanya takdir?

jika mata itu terus berpendar

tak pernah diam barang sebentar

Malang, 2022

Di sudut kanan kilatan cahaya itu semakin mendekat. Mula-mula hanya cahaya, lalu tampak seorang pria, ya aku tidak salah lihat. Pada ramai lalu lalang, seorang pria itu nampak menunggu dan mengerti apa yang sedang aku perbuat.

“Kamu merenung di tengah jalan, tengah malam begini? Dengan lalu lalang yang sudah makin sepi, sedu sedan betul hidupmu, wahai anak muda,”

Aku kesal bukan main. Siapa pula pria bohemian itu, di tengah malam datang lewat sekilat cahaya. Lalu memecah sunyi, dan permenungan.

“Aku Chairil,” suaranya lantang, tatapannya membekas pada mataku. Tapi benarkah dia Chairil?

Pria bohemian itu hadir di depan lewat kilatan Cahaya. Seolah menjawab apa yang sedang aku pikirkan, dia tiba-tiba membaca sebuah puisi.

 Sajak Buat Basuki Resobowo.*

I

Adakah jauh perjalanan ini?

Cuma selenggang! — Coba kalau bisa lebih!

Lantas bagaimana?

Pada daun gugur tanya sendiri,

Dan sama lagu melembut jadi melodi!

Apa tinggal jadi tanda mata?

Lihat pada betina tidak lagi menengadah

Atau bayu sayu, bintang menghilang!

Lagi jalan ini berapa lama?

Boleh seabad… aduh sekerdip saja!

Perjalanan karna apa?

Tanya rumah asal yang bisu!

Keturunanku yang beku di situ!

Ada yang menggamit?

Ada yang kehilangan?

Ah! jawab sendiri — Aku terus gelandangan….

II

Seperti ibu + nenekku juga

tambah tujuh keturunan yang lalu

aku minta pula supaya sampai di sorga

yang kata Masyumi + Muhammadiyah bersungai susu

dan bertabur bidari beribu

Tapi ada suara menimbang dalam diriku,

nekat mencemooh: Bisakah kiranya

berkering dari kuyup laut biru,

gamitan dari tiap pelabuhan gimana?

Lagi siapa bisa mengatakan pasti

di situ memang ada bidari

Suaranya berat menelan seperti Nina, punya    

         kerlingnya Jati?

Malang, 28 Februari 1947

“Aku sedu sedan, membosankan sekali, tengah malam di kota ini.” Sambungnya seusai membaca puisi. Aku masih tertegun tidak percaya, kalau-kalau itu hanya mimpi saja. Atau fantasiku yang fana telah menjebakku seperti Don Quixote. Tapi tunggu dulu, Chairil berkata-kata lagi.

“Bangkit dari kubur ternyata tidak enak. Surga rupanya lebih indah dari puisiku. Meskipun orang-orang masih mengingatku selama seratus tahun. Tapi masih ada sembilan ratus tahun lagi. Mampukah ingatan mereka membekapku dengan puisi Aku.”

“Apakah ini nyata?” Aku bertanya pada pria yang memegang rokok cerutu, di tangan kanannya. Mata itu nanar, terlihat sudah dua hari tiga malam ia belum mencicipi aroma bantal dan kasur.

“Bukankah yang nyata dan yang fiksi sulit dibedakan. Mengapa kau bertanya kenyataan. Jangan bodoh anak muda.” Kata-katanya diiringi lampu kota yang nyala begitu deras, angin menggelayut di sekitar patung Chairil Anwar. Aku masih belum paham, mengapa patung itu justru hanya mirip rambutnya saja. Mata hidung, pipi, dan mulutnya jadi lebih mirip seorang kawanku, bukan Chairil.

“Aku bangkit, ya aku bangkit. Kebangkitanku mungkin mirip kisah novel terkenal yang ditulis novelis sombong. Dia sombong bukan main, aku sudah berniat kalau aku bangkit akan kuracaukan ceritanya.”

 “Pelan-pelan aku masih tidak paham. Apakah bung ini Chairil? Chairil Anwar? Tapi ini 2022, bukan 1947 saat sidang KNIP.”

“Aku Chairil Anwar. Tapi aku tidak bangkit untuk jangka waktu lama. Aku hanya akan bangkit selama tiga jam. Ini jam 12 malam. Tiga jam lagi aku harus kembali ke Surga. Surga yang indah.” Dia, yang mengaku Chairil, berlagak dengan kepulan asap cerutu yang membumbung ke langit. Kalau saja hari itu, jam itu, ada orang lain, pasti mereka bersaksi bahwa aku telah bertemu si binatang jalang. Tapi, hari itu sepi. Kendaraan memang lalu lalang, tapi lewat begitu saja, seolah mereka asing pada kedua pria yang saling bercakap-cakap di bawah neon gereja Kayutangan.

“Aku akan memberi tiga pesan. Tolong sampaikan pesan ini ke pamflet-pamflet di jalan raya, mading di kampus, atau kau tempelkan saja di jidatmu, anak muda.” Sebenarnya aku ingin bertanya, mengapa tiga jam, mengapa tiga pesan. Tapi dia, yang mengaku Chairil, ibarat deru senjata AK47 yang tak memberi kesempatan pada korban. Aku tidak bisa menyanggah percakapan penting itu. Hanya aku, Chairil, dingin, dan lalu-lalang kendaraan.

“Tiga pesan untuk penulis muda, sampaikan baik-baik, jangan sampai salah. Kalau Carlos Fuentes memberi sepuluh perintah kepada penulis muda sebelum mati. Rainer Maria Rilke sampai buang-buang tenaga menulis pesan panjang untuk penulis muda. Aku berbeda, aku menyampaikan pesan setelah mati dan bangkit lagi, hanya demi pesan ini. Singkat, hanya tiga saja.” Sejenak dia memberikan jeda, namun tidak diizinkannya aku untuk bicara. Dia menyuruhku diam, karena sanggahanku hanya akan membuat ingatannya jadi kabur. Dia menyalakan cerutu yang mati tertiup angin, mengambil jeda nafas sebentar, lalu berkata lagi.

“Pesan pertama, yang ini penting. Jangan pernah bercita-cita jadi penulis yang ingin hidup seribu tahun lagi. Itu sudah milikku, dan saya yakin tidak ada penulis lain yang lebih muda mampu berbuat sehebat diriku. Mungkin pesan pertama ini terdengar megalomaniak. Tapi itulah kebenarannya. Tulisan-tulisan hari ini sudah bikin mual. Aku mendengar itu dari Budi, Budi Darma yang baru beberapa saat lalu bertemu denganku di pintu gerbang kematian.”

Aku tidak tahan dengan pesan pertama, Chairil memandang tulisan anak muda sekarang tidak ada yang berkualitas. Aku pikir, dia salah bangkit, mengapa dia bangkit di Malang. Mengapa bukan kota lain, apa di semestanya dia mendapat wangsit. Dan mengapa harus di kota Malang?. “Aku tidak terima dengan pesan pertama, ada beberapa hal lain yang ingin aku tanyakan.” Kataku pada Chairil yang secara tiba-tiba raut wajahnya berubah, dia seperti geram.

“Aku sudah katakan tadi anak muda. Jangan menyela pembicaraan ini, atau kau akan rugi. Apalagi ketidakberterimaanmu itu aku rasa jelek, sejelek tulisanmu. Oh ya, aku rasa kamu tidak menulis bukan? Kamu hanya memungut sampah kata-kata.” Jawaban Chairil, membuat hatiku teriris-iris. Aku tidak akan lagi menguar jawaban pada orang gila, psikopat di depanku ini. Biarlah dia mengakui dirinya sebagai Chairil, kalau celotehannya begitu menyakitkan.

“Pesan kedua, yang ini tak kalah penting, kau harus dengarkan, buka baik-baik telingamu. Semua penulis itu jelek, baik yang sezaman denganku, terlebih yang masih baru menulis sekarang. Oh ya sekarang tahun berapa?”

“2022.”

“Ya bagus jawab seperlunya saja kalau aku bertanya. Terlebih tahun 2022, karya-karyanya tidak ada yang asik, yang mendobrak, dan yang menembus waktu, lintas zaman. Aku tadi teringat si Pardi, Sapardi Djoko Damono. Lugu betul dia sampai harus menulis bareng dengan Tsana. Sudah puisinya tak enak dibaca, di akhir usia justru membuat karya yang bodoh.”

“Terakhir, pesan ketiga. Jangan menulis, meracau saja. Apapun yang dijanjikan orang soal menulis, semua itu bohong. Yang abadi tetap Chairil, dan hanya Chairil saja. Kalau begitu anak muda, aku rasa percakapan kita hanya buang-buang waktu. Aku akan gila jika waktu tiga jam ini hanya dihabiskan bersamamu. Sudahi saja tiga puluh menit ini. Apa kau mendengarnya anak muda?”

“Tapi masih banyak hal yang ingin kutanyakan. Dan aku tidak percaya kau Chairil si binatang jalang itu. Apakah aku sedang bermimpi?” Aku hampir tidak percaya dengan sekelebat cahaya yang memiuh di depan mata, usai ucapan terakhir soal kebosanan, seorang pria yang mengaku dirinya Chairil Anwar itu hilang ditelan cahaya.

Di depanku ada tong sampah, tempat yang layak untuk membuang ide dan gagasan. Seperti di awal, cerita ini telah berakhir tiga puluh menit setelah pertemuan. Pertemuan dengan siapa? Chairil Anwar!

*****

Editor: Moch Aldy MA

Dani Alifian
Dani Alifian Penulis lepas, terlepas dari apa saja. Masih suka bingung mau nulis apa dan bagaimana.

One Reply to “Tiga Puluh Menit yang Monumental”

  1. “Aku tadi teringat si Pardi, Sapardi Djoko Damono. Lugu betul dia sampai harus menulis bareng dengan Tsana. Sudah puisinya tak enak dibaca, di akhir usia justru membuat karya yang bodoh.”

    :’))

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email