Ibu dua anak, merdeka, dan berbahagia

Cara Naila Fauzia Berkisah di Dua Novelnya

Katarina Retno Triwidayati

3 min read

Meski (baru) menerbitkan dua novel solo, tapi saya tidak menangkap kesan bahwa penulisnya adalah penulis pemula. Naila Fauzia memang tidak bisa disebut sebagai penulis pemula. Ia merupakan kontributor artikel ulasan film dan penerjemah. Kesukaannya pada film dan buku memberi warna yang sangat kuat pada gaya bercerita di novel solonya.

Kidung dalam Kabut merupakan novel kedua Naila Fauzia yang diterbitkan PT Falcon pada 2024 ini. Novel sebelumnya berjudul The Venus Trap (Jeratan Venus) diterbitkan Bukuditeras pada 2022 lalu. Dia merupakan co-writer Sukhdev Singh di buku Rintu Tentangmu Tak Pernah Pergi. The Haunted Book Shop dan Parnassus on Wheels merupakan dua buku terjemahannya.

Kedua novel solonya sama-sama melibatkan tokoh yang berprofesi sebagai polisi/detektif yang berhadapan dengan kejahatan yang luar biasa. Ada remang-remang kisah cinta, tapi jelas itu hanya bumbu-bumbu saja. Di The Venus Trap bahkan tokoh yang berpotensi jatuh cinta dan menjalin hubungan asmara tidak dikisahkan lebih lanjut. Demikian juga di Kidung dalam Kabut yang meski di paragraf akhir pembaca mengetahui ada kisah asmara yang muncul, tapi jelas itu hanya sebagai sebuah penutup yang manis.

The Venus Trap berkisah tentang polisi di sebuah dunia (baru) bernama Erabiya. Kehidupan unik dan khas di Erabiya dijabarkan dengan sangat baik dan pembaca tidak bisa menolak semesta baru yang dimunculkan Naila. Erabiya dikisahkan muncul setelah Hari Kiamat terjadi dan memusnahkan hampir seluruh isi bumi. Dalam novel ini, pembaca bersua dengan Derek dan Patricia yang bahu-membahu menyelesaikan sebuah kasus.

Derek yang merupakan kekasih gelap Patricia adalah mantan polisi yang saat itu menjadi detektif swasta. Ia menangani kasus yang ternyata beririsan dengan kasus yang tengah ditangani Patricia. Dalam kerja sama mengungkap kasus itulah, mereka menyadari adanya pengkhianat di antara mereka. Siapakah pengkhianat itu?

Lain kisah di Kidung dalam Kabut. Kematian misterius terjadi beruntun. Korban pertama yaitu Purnama Dissa yang merupakan orang kepercayaan Markus Khalid, pengusaha dan pewaris tunggal perusahaan rokok kretek terbesar di Indonesia sekaligus orang terkaya di negeri ini. Korban selanjutnya adalah Linda yang merupakan istri Purnama sekaligus juru masak di keluarga Matteo Khalid, ayah Markus Khalid. Korban selanjutnya adalah Markus Khalid.

Ketiga korban memiliki kesamaan penyebab kematian. Masalahnya, penyebab kematian itu tidak wajar dan tidak masuk akal. Hal itulah yang membawa Erik Bimasena, polisi yang menangani kasus ini, bertemu dengan Kyra Fauzi (yang nama aslinya adalah Karina Khalid) dan akhirnya bisa menemukan benang merah kematian ketiganya. Termasuk kemudian menjadi saksi kematian korban keempat, Ratih yang merupakan istri Markus Khalid sekaligus ibu kandung Karina.

Kemampuan Naila Fauzia yang dengan sabar menyebar potongan petunjuk dari bab awal merupakan hal yang paling menarik perhatian saya. Hal ini tentunya sangat penting karena novel dengan genre misteri seperti ini memang tidak bisa mengandalkan sesuatu yang datang mendadak. Jalinan peristiwa menjadi penjelasan sebab akibat dan menghasilkan kisah yang kokoh.

Kemampuannya mendeskripsikan latar waktu dan tempat sangat hidup. Tak heran jika pembaca merasa seperti tengah menonton film, alih-alih membaca novel. Saya pikir, ini memang buah dari kecintaannya menonton film dan kekritisannya pada detail adegan.

Gambaran rawa yang seram di Kidung dalam Kabut bisa begitu jelas muncul dalam benak pembaca karena kekuatan diksinya. Naila menulis detail kabut, pepohonan, dan suasana mencekam secara telaten. Erabiya di The Venus Trap pun digambarkan dengan jelas, lengkap dengan lorong dan hal unik yang hanya terdapat di dunia baru itu. Itu sebabnya, dunia baru ini terasa begitu masuk akal meski terlihat mirip dengan dunia sekarang versi yang berbeda.

Kedua novel ini jelas bukan jenis kisah yang ditulis mendadak tanpa riset mendalam. Pada Kidung dalam Kabut, Naila mengutip pula Sir Arthur Conan Doyle tentang ektoplasma, zat kental agar-agar yang tampaknya berbeda dari setiap bentuk materi karena dapat memadat. Ektoplasma dikatakan sebagai residu media fisik yang terjadi saat terjadi interaksi antara dunia orang hidup dan dunia arwah. Dari sini jelaslah pandangan Naila tentang sosok hantu yang tidak serta merta mau digambarkan asal seram, menakutkan, memiliki kekuatan luar biasa serta melakukan hal di luar nalar.

Secara khusus, kedatangan hantu di Kidung dalam Kabut tetap dijabarkan Naila sebagai rangkaian sebab akibat yang sangat bisa diterima: jawaban atas doa seorang anak. Tokoh dan karakter yang solid mendukung cerita seluruhnya dan memiliki motivasi yang jelas. Jika di The Venus Trap saya merasa kewalahan dengan banyaknya tokoh, Kidung dalam Kabut menjawab kegelisahan saya itu. Tokoh yang hadir dalam Kidung dalam Kabut bukan tokoh-tokoh sepintas tanpa motivasi yang sungguh kuat. Mereka punya peran dan turut membawakan petunjuk misteri yang diceritakan.

Kritik sosial yang tajam juga diselipkan Naila dengan manis di kedua novelnya. Satu hal yang sama adalah kritiknya terhadap perilaku sesuka hati dari mereka yang memiliki kekuasaan atau menggenggam uang lebih banyak. Ambisi dan keserakahan menuntun tokoh-tokoh dalam kedua novel menjalani alur yang berliku, tapi padat.

Secara khusus di Kidung dalam Kabut, saya melihat upaya Naila memberi perspektif berbeda sebagai upaya ‘pembenaran’ sikap buruk tokohnya. Manusia yang bersifat abu-abu, dunia yang begitu abu-abu, terasa begitu kental dalam novel apik ini. Kemarahan Kyra pada Markus terasa kuat tanpa diberi penjelasan sejak awal. Pembaca disuguhi petunjuk samar dari halaman 36 hingga 189. Dengan deskripsi yang halus sepanjang itu, tak heran jika pembaca memihak pada Kyra. Lalu hal itulah yang bisa jadi mendorong pembaca menyetujui ketidaksukaan Kyra pada Ratih, ibunya.

Sifat manusia yang abu-abu itu juga dimunculkan Naila Fauzia dalam respon Kyra saat ia dinyatakan sebagai pewaris tunggal. Kemarahan dan kebencian Kyra disandingkan dengan pernyataan bahwa tokoh itu tidak menampik ada rasa senang saat mengetahui isi surat wasiat Markus Khalid. Tampak bertentangan, tapi ya … begitulah manusia, bukan?

Demikian juga dengan perspektif Ratih yang dijabarkan apik oleh Naila di halaman 406. Pandangan bahwa sikap diam dan acuh tak acuhnya pada penderitaan anak kandungnya itu bukan tanpa sebab. Itu juga yang membuatnya mengambil sikap “biasa saja” saat anaknya hilang. Ini sebuah upaya pertolongan yang lemah, tampak pengecut, tapi kita bisa dibuat memahami dasarnya.

Pada akhirnya, saya pikir, kedua novel karya Naila Fauzia bukan sekadar menghantar kritik penulisnya. Bukan pula soal sekadar punya karya berupa novel. Kedua novel ini mempertegas bahwa meski fiksi memiliki unsur dramatisasi dan melibatkan imajinasi penulisnya, tetaplah memiliki kedekatan dengan fakta yang ditangkap oleh penulisnya. Dan fakta itu adalah realitas sosial masyarakat kita hari ini.

*****

Editor: Moch Aldy MA

Katarina Retno Triwidayati
Katarina Retno Triwidayati Ibu dua anak, merdeka, dan berbahagia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email