Adalah Perenungan; Tempat Berperang Melawan Kemungkinan
Ingin, kugadai apa yang mereka sebut sebagai perenungan; lagi kesadaran.
Tubuh kubiarkan bersenderan, membelah malam yang tak kunjung—atau
memang tak akan—berkesudahan.
Dan,
apakah?
Apa, kah, hidup,
bagi mereka hanya tentang hiruk-pikuk dan sebuah tarian?
Menggema: Gila-gilaan!
Sedang aku mengarungi duniaku sendiri.
Dunia penuh tanya dan lika-liku yang kunjung jadi semu:
Adalah kesadaran, telah membuatku merumuskan sebuah ketidaktahuan.
Ke-ti-dak-ta-hu-an.
“Apakah dengan mengikuti cara hidup orang kebanyakan,
maka kebahagiaan akan lekas jadi kutemukan?”
Kesia-siaan.
Rumusan seperti itu adalah kedunguan.
Maka izinkan aku untuk menepi berjauhan,
sibuk berpikir dan berperang melawan segala kemungkinan-kemungkinan—sendirian.
–
Ibu, Bapak; dari anakmu
Hanya mungkin ketika kumati;
Kuamati mereka berdua datang ke pusaraku membawa kamboja.
Bibir mereka merapal; merayakan banyak mantra.
Bu, Pak; apakah kalian tahu, bahwa anakmu sudah jauh lebih dulu,
mati dalam tangisannya.
Kapan terakhir kali kalian menatap ke dalam matanya?
–
Sesuatu yang Kau Sebut Sebagai Ibu
Aku ingin mencari ibu; sesuatu yang kutahu adalah tempat
pengasingan paling aman, dari pusara sakitku yang kian meradang.
Aku ingin memiliki ibu; sesuatu yang kutahu adalah tentang
kasih sayang, dari segala pulangku yang makin hilang.
Dalam hatiku yang penuh rindu akan ibu, kutangisi apa-apa
yang menjadi masa kecilku.
“Ibu, tak pantaskah anakmu menjumpai ibu dengan segala
kasih dan cintamu itu?”
Aku juga ingin mengadu padamu.
–
Ibu; Zalim yang Keseribu
Demi Tuhanku yang mahatahu, kalau aku
Kau perkenankan menjadi ibu, jangan
pernah jadikan aku seperti ibu; ku.
Jika memang mesti berakhir demikian, maka
jangan Kau perkenankan aku, menjadi ibu yang tidak ibu.
Dalam kesakitanku yang berbiak-biak, jika
kegagalan perlu disematkan kepadanya yang
zalim, maka jangan Kau jadikan aku
merangkaki jalan gelap yang sama.
“Lindungi aku dari kejahatan seperti itu.”
Demi Tuhan yang mahabaik, jika anak
adalah amanah, maka sungguh, telah
berdosalah ia kepadaku.
Kepadaku.
–
Dalam Zalim Kuingat Namamu, Bu.
Kalau boleh aku menakar, Bu,
Sungguh betul engkau zalim.
Pada sunyi-senyap pertapaanku;
Lima waktu kuingat namamu.
Subuh, tadarus, mandi, minum kopi dan baca puisi;
Igaunya masih dirimu.
Dan berdosalah engkau pada anak malang ini, Bu.
Diam-diam kupinang nafsimu.
Dalam satu, merdu dan selalu.
Dan sungguhlah kita tahu, Bu,
Tuhanku yang biru dan sayup-sayup itu kerap menggerutu.
Mulai menolak namamu yang masih mampir di sela
sembahku.
Kendati, Bu,
Betapapun aku meminta adamu,
Nyataku tak akan menyentuh kasih sayangmu;
Bu.
*****
Editor: Moch Aldy MA