Di tengah kecamuk yang terjadi dalam kehidupan demokrasi akhir-akhir ini, naga-naganya membahas keberadaan teknologi dan kebudayaan cukup menarik. Hal tersebut tentu tak terlepas akan kelindan yang meruyak dari perubahan teknologi—yang berimplikasi langsung dalam lini kehidupan sosial dan kebudayaan masyarakat. Betapa pun kita menyadari bahwa terdapat lapisan-lapisan yang mengemuka sebagai realitas yang perlu ditafsirkan bersama.
Untuk menuju pada diskursus tersebut, agaknya kita perlu berangkat dengan beberapa kondisi mutakhir. Adalah geliat perkembangan teknologi media sosial yang makin masif justru menabalkan pada persoalan serius. Tiada lain adalah kita mendapati momentum banjir informasi, bahkan tsunami—namun terkendala pada keamampuan mengolah dan mendayagunakannya. Situasi paradoks itu menguatkan pada pertanyaan, mampukah (dan maukah) kita untuk terus bernalar dan berpikir?
Tantangan itu makin menjadi saat geliat konten-konten pendek menjadikan kebiasaan pengguna media sosial yang ditengarai melahirkan ancaman pembusukan otak (brain rot). Apa hubungannya dalam konteks berdemokrasi? Satu hal yang mendasar tentu saja adalah kemungkinan menurunnya kemampuan berpikir panjang sebagai warga negara. Ini relevan dengan konteks politik mutakhir, tentang kepedulian dalam menyuarakan keresahan atas permasalahan yang terjadi.
Baca juga:
Ada pola yang cukup mengkhawatirkan saat negara menghadapi masalah yang menyangkut pemenuhan hak warga. Tinjauan dan telaah mendalam memang ada, hanya kalau kita sadari terbatas pada beberapa kelompok. Kerunyaman terjadi saat ditelaah mendalam, ada gejala kurang pedulinya terhadap pengetahuan dari pemerintah atas keresahan yang disuarakan oleh kelompok masyarakat.
Akan menjadi celaka jika yang demikian membabarkan wabah anti pengetahuan. Menyampaikan aspirasi dengan berdasar otoritas keilmuan bisa saja dianggap sebagai hal yang salah dalam republik. Ini tentu saja mengingkari ajaran para pendahulu maupun pendiri bangsa ini yang meninggalkan keteladanan untuk menjadi warga negara yang sadar terhadap keilmuan, mau terlibat dialog, dan menaruh kepentingan banyak orang sebagai tujuan hidup berbangsa dan bernegara.
Jebakan Teknologi
Agaknya, jika mencari akar yang melandasinya, ini tak lepas ikatan komunal yang juga menyangkut posisi negara dalam menyikapi keberadaan teknologi. Teknologi sebagai anak kandung ilmu dan pengetahuan merupakan sesuatu yang mudah merangsek dalam lapisan kehidupan. Persoalannya, paradigma yang muncul terkadang sebatas berpusar pada fungsi penggunaan. Seturut dengan itu, sebagaimana diutarakan Seno Gumira Ajidarma dalam pidato kebudayaan berjudul Kebudayaan dalam Bungkus Tusuk Gigi di Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 2019, sebagai “moral panic”.
Itu merupakan jebakan atas paradigma yang mengandaikan pada kehendak penggunaan dan seolah selalu merasa takut akan ketinggalan jika tak melakukan. Tak mengherankan ketika yang kemudian terjadi adalah posisi konsumerisme terhadap produk teknologi. Di sana ada hal yang luput, akan tugas untuk mengupayakan sumber daya manusia yang memiliki kecakapan teknologi. Kecakapan tersebut yang dimaksudkan adalah fungsi lanjutan dari konsumen, dengan merujuk pada kesadaran kritis dan ilmiah untuk menemukan hakikat tanggung jawab dalam menggunakan keberadaan teknologi.
Saat situasi yang mengharuskan namun tak kunjung dilakukan, jebakan teknologi itu kemudian melahirkan efek domino. Kita dibuat menjadi kelompok terdepan dalam menggunakan teknologi dan menyambut perubahan, namun di balik itu sejatinya absen dalam menyiapkan kecakapan yang mendalam sesuai tuntutan zaman. Tak diragukan lagi, akan ada gejala kelunturan pada kebudayaan hidup dalam tautan sejarah kebangsaan.
Betapa pun, ilmu dan pengetahuan memberi hakikat akan proses penciptaan kebudayaan baru yang kemudian berlaku pada kehidupan masyarakat atau sebuah peradaban. Sebaliknya, kita perlu menyadari bahwa keberadaan kebudayaan yang telah berlangsung perlu terus dilibatkan dalam napas kehidupan. Pengertian ini membuat kita penting untuk mengingat definisi yang pernah dituliskan oleh Ki Hadjar Dewantara dalam Mingguan Nasional edisi 6 Januari 1951.
Di dalam esai berjudul Kebudayaan dan Hidup Tumbuhnya tersebut, ia mendefinisikan sifat akan kebudayaan, masing-masing berupa kehalusan, keluhuran, menggampangkan serta menyenangkan hidup dan penghidupan manusia, dan memajukan adab perikemanusiaan. Penjelasan itu dalam telaah konteks kini, tentu membabarkan pada kita bahwa ada gejolak yang terjadi dalam kebudayaan kita seiring cara pandang terhadap perkembangan teknologi.
Tersingkirnya Kebudayaan
Perlu upaya rekonstruksi untuk mendudukkan perihal kebudayaan dalam revolusi percepatan yang dihadirkan teknologi. Titik mendasarnya adalah berangkat pada hal faktual yang menjadi keresahan kita semua atas dampak dari keberadaan teknologi. Upaya ini meletakkan peran berbagai pihak dalam menggamit kesadaran terhadap kebudayaan. Di sanalah pentingnya dialog secara berkelanjutan dalam memberi porsi tugas dan peran kebudayaan untuk memberi keselarasan terhadap kemajuan.
Baca juga:
- Menyongsong Kementerian Kebudayaan: Hakikat Revitalisasi Ruang Kebudayaan
- Perempuan, Musik dan Pendidikan Kebudayaan
Teknologi memang berjalan lebih cepat ketimbang kebudayaan. Kendati demikian, kebudayaan dapat menjadi resilien dengan penanaman sikap maupun watak yang menyangkut jalan sejarah. Itu menyangkut pula makna kebudayaan yang memiliki pengertian mendasar sebagai “buah budi”. Di dalam konteks warga negara, itu mengacu pada jalan panjang perjuangan, keteguhan sikap, dan kesadaran untuk senantiasa dilibatkan pada konteks zaman. Ini menjadi sebentuk bahwa dengan pelibatan kebudayaan, kehidupan peradaban teknologi tidak meninggalkan identitas maupun jati diri kebangsaan.
Hal yang begitu dikhawatirkan tentu saja saat terdapat pengabaian, yang bisa saja diaktori oleh negara. Ketidakseriusan dalam mencanangkan misi kebudayaan berdampak pada wajah generasi yang disebut oleh Radhar Panca Dahana (2013) sebagai generasi yang mengakses dan meresepsi data, kata, dan makna dengan cubitan kotak screen. Melalui ujung telunjuknya, mereka memindai semesta dalam kecepatan daya tangkap visual dan kognitif. Bagi Radhar, memang proses itu membuat mereka tahu banyak, bahkan terlalu banyak.
Akan tetapi, di balik itu menyembul kondisi paradoks berupa fakta bahwa kenyataannya mereka juga tidak tahu banyak dalam konteks laju percepatan zaman. Ketakutannya tentu saja adalah munculnya pertaruhan bagi mereka yang sejatinya menjadi generasi yang menentukan masa depan kehidupan bangsa dan negara. Alih-alih perkembangan ilmu, pengetahuan, dan teknologi dapat terus memupuk budaya bernalar, kemampuan berpikir, dan memiliki kecakapan untuk mengarungi zaman, namun justru terjebak dalam kemunduran akut dengan penuh kekosongan dan katastropik. (*)
Editor: Kukuh Basuki