Tempat bersandar dan bernaung puluhan juta umat Islam di Indonesia ini berhasil menyita perhatian publik luas. Sebenarnya tidak ada yang mengejutkan dari prahara elite pengurus Nahdlatul Ulama, kita bisa membacanya dari PP Nomor 25 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara yang menjadi dasar hukum pemberian konsesi tambang kepada ormas keagamaan. PBNU menerima tawaran ini dengan alasan pragmatis: kemandirian organisasi, keadilan distributif, dan fikih maslahat. Untuk alasan ketiga saya pernah menulisnya di kolom pandangan omong-omong berjudul gus ulil dan fikih lingkungan yang rumpang.
Masuknya PBNU ke sektor pertambangan adalah momen pertaruhan etos dan nilai. Menyeret organisasi ke dalam sebuah jebakan yang oleh Richard Auty (1993) sebut sebagai Kutukan Sumber Daya Alam. Organisasi akhirnya bergeser dari fokus pemberdayaan umat menjadi perilaku berburu keuntungan instan. Bukan hanya itu, pemberian konsesi tambang juga berfungsi sebagai alat kooptasi politik, loyalitas basis massa NU ditukar begitu saja kepada pemerintah, sementara elit organisasi agama terikat dalam hubungan atas-bawah yang saling mengunci. Akibatnya, terciptalah sebuah lingkaran setan yang oleh Adib Khairil (2024) tulis sebagai new religious oligarchy atau oligarki gaya baru berjubah agama.
Baca juga:
- Memudarnya Warna Hijau Nahdlatul Ulama
- NU di Persimpangan: Antara Merawat Kultural dan Menjaga Kepentingan Kekuasaan
Pertikaian tarik tambang elite PBNU bermula dari konsesi ini, tentu saja ormas keagamaan tidak terbiasa mengurus bisnis ekstraktif, maka dalam pengelolaan diperlukan pihak luar yang profesional. Mitra mana yang paling layak untuk mengelola lahan seluas 26 ribu hektar bekas PT Kaltim Prima Coal Tbk. Pertanyaan inilah yang menjadi awal dari rentetan ultimatum dan rebutan legitimasi organisasi. Pihak-pihak yang berseteru dalam prahara ini pada dasarnya sedang mempertahankan tujuan bahwa lahan tambang ini harus dikelola dengan baik, cuma di antara mereka punya preferensi pengusaha yang berbeda.
Sejak awal, izin konsesi tambang telah mendapat banyak kritik dan penolakan. Salah satunya dari para “wahabi lingkungan”, sebuah istilah yang digunakan oleh Ketua PBNU Ulil Abshar untuk melabeli para aktivis yang terkesan hanya menebar ketakutan akan bahaya krisis iklim. Padahal sederhana, para aktivis ini ingin agar ormas fokus menjalankan fungsi sosial dan tidak kehilangan daya kritis dalam membersamai masyarakat. Tulisan ini akan mengurai dan mencoba memahami konsep wahabi lingkungan tanpa tendensi ideologis yang berlebihan, kemudian akan merekam tarik tambang konflik internal elite PBNU antara Kubu Sultan dan Kubu Keramat.
Wahabi Lingkungan
Istilah “Wahabi Lingkungan” dibangun Ulil sebagai metafor untuk menggambarkan model aktivisme lingkungan yang dinilai kaku, dogmatis, dan ekstrem. Menurutnya, gerakan lingkungan ini mengadopsi atau berciri pada narasi “wokisme” dan “alarmisme global”, mereka menggunakan rasa takut berlebihan untuk memobilisasi massa dan memakai taktik retorik untuk pamer (performative) kebajikan ekologis, kelompok ini membingkai perubahan iklim sebagai sebuah kiamat yang makin dekat dan oleh karena itu menuntut perubahan mendasar tidak kenal kompromi seperti pemberhentian total aktivitas ekstraktif (zero mining).
Ulil menulis bahwa isu-isu seperti perubahan iklim, zero net emission, renewable energy, carbon footprints, seringkali hanya jadi kemasan indah yang dijual untuk menghalangi negara dunia ketiga mengelola sumber daya alamnya sendiri. Ia juga melancarkan tuduhan serius bahwa negara-negara maju yang telah mapan mendanai aktivis untuk menyuarakan penolakan tambang, menurutnya hal ini dilakukan untuk mematikan potensi kemandirian ekonomi negara berkembang dan menjebak mereka dalam keterbelakangan. Ulil lalu mengajak kita untuk membuka mata bahwa ada kemunafikan dan sikap tidak jujur dalam gerakan lingkungan masa kini.
Martir moral lingkungan ormas keagamaan ini kemudian mengaku tidak anti terhadap gerakan lingkungan. Ia banyak setuju dengan kritik atas praktik pengelolaan sumber daya alam yang buruk seperti: bad mining dan illegal logging. Wahabi lingkungan adalah metafor yang Ulil gunakan untuk mengkritik gerakan lingkungan yang tidak masuk akal, kelompok yang membawa gagasan zero mining, menurutnya ini adalah ekstremisme jenis baru, kita bisa mencintai lingkungan tanpa harus anti-tambang. Sebagai jalan keluar, Ulil menawarkan konsep reasonable environmentalism yang berkiblat pada pemikiran Bjorn Lomborg.
Pendekatan ini menawarkan konsep yang lebih pragmatis dan berbasis kalkulasi ekonomi. Konsep reasonable environmentalism mendorong persepsi di mana eksploitasi alam tetap diperbolehkan selama dilakukan dengan tata kelola yang bertanggung jawab, menolak standar ganda dan ketidakjujuran yang sering melekat pada gerakan lingkungan kontemporer, ide ini ingin melawan ketakutan berlebih perihal krisis iklim yang sering digembar-gemborkan wahabi lingkungan lalu menggantinya dengan pandangan yang lebih rasional dan moderat.
Tarik Tambang PBNU
Bara yang berbulan-bulan hangat di internal elite PBNU akhirnya menyala pada tanggal 20 November 2025, agenda pembahasan kelembagaan perkumpulan dalam forum Rapat Harian Syuriyah yang dipimpin oleh Rais Aam PBNU (Kubu Sultan), menyisipkan ultimatum yang menuntut pengunduran diri Ketua Umum PBNU, Gus Yahya (Kubu Kramat). Ada catatan serius dari Kubu Sultan kepada Kubu Kramat seperti isu ideologis agen zionis, penyelewengan aturan, praktik inkompetensi, hingga penyalahgunaan administrasi keuangan organisasi. Gemuruh internal itu akhirnya didengar publik luas, mencapai titik didih hingga mekanisme musyawarah diganti oleh klaim antar piihak. Kubu Keramat menganggap pelengseran ini cacat prosedural sebab tidak sesuai dengan AD/ART PBNU.
Baca juga:
- Gus Ulil dan Fikih Lingkungan yang Rumpang
- NU dan Tambang: Sebuah Kritik dari Perspektif Ekosofi Sayyed Hossein Nasr
Catatan kritis Kubu Sultan dalam agenda pemakzulan, dianggap Kubu Kramat sebagai politisasi data untuk tujuan pembunuhan karakter, bukan murni penegakan disiplin organisasi. Tak tinggal diam, Kubu Kramat meminta untuk dibukakan pintu klarifikasi formal institusional guna menjelaskan beberapa hal rumpang, kedua kubu ini sempat satu pesawat pada 27 November, publik mencatat momen ini sebagai “Islah Juanda” yang gagal. Terbukti, landasan tuduhan Kubu Sultan rapuh, dokumen audit yang digunakan ternyata hanyalah “draf progres” yang belum final, Kubu Kramat membela bahwa data keuangan tersebut telah diedit tanpa izin dan dipolitisasi untuk kepentingan tertentu.
Isu-isu lain menggelincir deras menjadi konsumsi dan perdebatan publik luas. Savic Ali, blak-blakan menyatakan bawah nyaris separuh pengurus di PBNU bermental politisi. Organisasi bukan lagi ladang untuk khidmat melainkan batu loncatan untuk posisi tertentu.
Syafiq Hasyim, Wakil Rektor UIII, menulis hal yang senada bahwa Kubu Sultan dan Kubu Kramat ini berbeda dalam pendekatan pemikiran keislaman, Kubu Sultan dikenal konservatif dan literal, sedangkan Kubu Kramat cenderung lebih progresif dan kontekstual. Yang menyamakan keduanya adalah garis pandang politik, yaitu pandangan politik rezimis. Watak politik ini dipertebal oleh Virdika Rizky, ia berpandangan bahwa konflik ini memperlihatkan pergeseran watak organisasi, dari ormas menjadi parpol yang realis, pragmatis, dan oportunistik.
Hingga saat ini, Kubu Kramat dan Kubu Sultan terus berebut tafsir legitimasi organisasi. Ultimatum mengganti konsep tabayyun, pertanyaan “siapa” jauh lebih penting ketimbang “untuk apa”. Nahdliyin tentu berharap naif, agar para elite itu mengambil jalan islah atau rekonsiliasi. Namun kasur empuk hotel itu melenakan, ruang rapat mewah kedap suara tak lagi mendengar.
Bukan konflik pertama, kapal besar berusia satu abad ini telah menerjang banyak gelombang dahsyat. Doa baiknya semoga angin ribut ini hadir untuk memulai babak tertentu, menjemput abad kedua Nahdlatul Ulama dengan lebih kuat dan bermartabat. Jangkarnya menyambung kembali tali silaturahmi dan mengikat kuat roda organisasi. Layarnya menangkap energi baik untuk membuka ruang temu dan diskusi, tentu saja agar kemudi organisasi kembali pada agenda keumatan bukan kekuasaan.
Para wangan atau wahabi lingkungan berisik agar penyambung wahyu dan ilmu (ulama) tak mengubah perenungan jadi kalkulasi kekuasaan, tidak memoles diskusi jadi soal kursi dan posisi. Mengajak ruang yang biasanya memperbincangkan kemaslahatan publik ini tetap membersamai dan menginspirasi masyarakat. Wangan-wangan hanya ingin kapal yang biasanya menebar benih kebaikan, tak disibukkan oleh agenda “pemakzulan”. Kembali menjadi rumah ulama yang penuh kasih, sikapnya mengakar pada keilmuan, bicaranya teduh mendamaikan, bukan justru memanaskan. Bila islah adalah hal susah, maka biarkan wkwkwkwk yang puitik dan profetik ini berbicara. Sekali lagi wkwkwkwk. (*)
Editor: Kukuh Basuki
