Penggemar Bill Evans dan menjagokan Manchester City

Tahun-Tahun di Mana Hidup Begitu Berbahaya

Rizki Ardhana

7 min read

Seperti biasanya, dengan berat hati, hari ini kau bangun dari tidurmu. Kau kucek matamu yang rasanya berat sekali untuk kau buka dan tentu saja bukan bangun untuk berwudhu dan sembahyang, tapi kau hidupkan ponselmu dan membuka aplikasi instagram yang dalam minggu ini rerata screentime-nya 4 jam lebih 37 menit. Tak terasa 20 menit berlalu dan kini kau hanya punya waktu 15 menit untuk bersiap berangkat ke kantor. Kau mandi, mencukur kumis dan jenggotmu dengan pisau cukur yang tak lagi tajam dan berakhir menggores dagumu, menggosok gigi dengan pasta gigimu yang sudah kau gulung sampai ujung, memakai kemeja warna biru muda yang agak apak karena beberapa hari terakhir hujan dan antriannya sedang banyak dan listriknya kemarin mati dan segala alasan yang binatu langgananmu berikan sehingga kau coba kurangi baunya dengan menyemprotkan deodoran tawas buatan salah satu selebgram terkenal ke ketiak dan menyemprotkan parfum dupe dari salah satu merk parfum niche keluaran Turki ke 6 titik nadimu. Seusai bersiap, kau berjalan sekitar 10 menit dari tempat tinggalmu ke Stasiun Bojong Gede dan masuk ke gerbong dan hari ini beruntung karena bisa mendapat kursi karena biasanya pukul 5.24 kamu sudah tidak mendapat kursi dan terpaksa harus berdiri selama 49 menit untuk sampai ke Stasiun Manggarai dan berpindah dan berdesakan menuju peron kereta Cikarang Line untuk melanjutkan berdiri selama 11 menit dan kembali bersempitan sesampainya di Stasiun Tanah Abang untuk pindah dan naik kereta Rangkasbitung Line dan berdiri lagi selama 6 menit untuk akhirnya sampai ke Stasiun Palmerah. Tapi hari ini tidak begitu dan kau memasang TWS-mu untuk mendengar EP Harapan dari The Cottons yang belakangan jadi favoritmu di spotify dan perlahan kelopak matamu makin berat karena tadi malam kau habis menonton turnamen Dota 2 di youtube dan pada akhirnya kau terlelap.

***

Kau pun terbangunkan oleh sirine penanda jam pelajaran telah usai dan waktu istirahat tiba. Di tengah pelajaran, tadi gurumu bilang hari ini ada kunjungan dari luar untuk membantu pelaksanaan pembagian makan siang gratis di sekolahmu. Kaupun bersiap merapikan meja dan memasukkan buku serta kotak pensilmu. Satu persatu kotak makanan dibagikan dan kau menyalurkannya dari teman yang duduk di depan ke belakang. Semuanya sudah dapat bagian dan ketua kelasmu memimpin doa sebelum makan, lalu kau membuka kotak makanan berwarna merah yang berisi nasi, sejumput orek tempe, potongan kecil paha ayam goreng, pisang, dan susu kotak ukuran 115 ml yang mengandung gula 8 gram dan susu murni 39%. Kau pun menyantap makanannya dan tak lama setelahnya ada beberapa orang berambut cepak dan berseragam loreng masuk ke kelasmu dan berkeliling ke meja kawan-kawanmu. Salah satu dari mereka datang dan menanyakan padamu apakah makanannya enak dan kau mengangguk iya. Setelah semuanya selesai, gurumu dan para tentara berbaris rapi di depan untuk berfoto dengan background kelasmu dengan pose andalan mengangkat dan mengepalkan tangan di depan dada dan selanjutnya gurumu mengeluarkan ponselnya dan menyuruhmu dan teman-temanmu untuk mengucapkan “terima kasih pak presiden” bersama-sama untuk direkam. Orang-orang itu akhirnya keluar dari kelas lalu kau bercengkrama dengan gengmu, membahas agenda yang ingin dilakukan sepulang sekolah. Gengmu sepakat untuk bermain ke tempat yang dekat-dekat saja, jalan kaki ke arah Blok M Plaza, makan di restoran sushi untuk mencoba menu sashimi bowl yang sedang viral, menonton film Perayaan Mati Rasa, dan mengakhiri malam dengan menyeberang ke daerah Melawai untuk makan es krim gelato. Bel pun berbunyi yang membuat geng kalian bubar dan menandakan pelajaran dimulai kembali. Gurumu telah masuk dan kau minum sedikit dari tumbler Stanley yang berwarna pink untuk melepas dahaga. Kali ini pelajarannya Sejarah Indonesia yang dari dulu tak kau sukai karena metode gurumu mengajar seperti mengobrol dengan papan tulis. Karena kekenyangan sebab menu hari ini lengkap tak seperti hari-hari sebelumnya, kau mengantuk dan membuka layar Macbookmu untuk menutupi kepala dan kau curi-curi untuk lelap sejenak.

***

Kau bangun saat langit masih gelap dan kau pergi ke kamar mandi untuk berwudhu dan dilanjut sembahyang subuh lanjut berdoa Ya Allah, semoga tangkapan hari ini banyak, tapi kau langsung merevisi doamu Ya Allah, semoga tangkapan hari ini cukup karena berharap terlalu tinggi hanya akan membuatmu makin nelangsa jika kau tak berhasil mendapatkannya. Kaupun menyiapkan ember dan pukat, membawa jerigen bensin, menyesap habis kopi buatan istrimu, lalu berpamitan dengan mencium kening anakmu yang masih tertidur nyenyak. Motor Vega R 2006 kau hidupkan dan kau berangkat menuju dermaga yang berjarak sekitar 3 kilometer dari rumah. Sesampainya di sana kau naik ke kapalmu dan menguras genangan air laut yang tertampung ke geladak karena hari-hari ini bulan terlihat penuh lalu kau tuang habis jerigen lanjut menarik tuas 9 kali sebelum akhirnya mesin tersebut berhasil berputar dan mengeluarkan suara nyaringnya. Hari ini arahmu berlayar miring karena kau perlu menghindari rintangan berupa rangkaian bambu yang entah sudah berapa lama berdiri dan makin hari makin mengular yang membuat waktu berlayarmu jadi 1,5 kali lebih lama dan perlu membeli tambahan bahan bakar solar 6 liter dalam sehari dan membuat ikan-ikan tangkapan makin sedikit dan terkadang kapalmu berhenti di tengah jalan karena mesinnya panas dan berasap. Beberapa bulan lalu kau dan kawan-kawan nelayanmu sudah datang ke Dinas Kelautan dan Perikanan di daerahmu untuk melapor adanya rangkaian pagar laut yang makin memanjang tapi tak kunjung ada penanganan yang berarti karena mereka menjawab kami juga tidak tahu siapa yang membangun dan akan mencoba mencari tahu siapa yang membangun dan akan menyelidikinya bersama aparat terkait untuk mencari tahu siapa yang membangun. Lalu kau mencoba lapor ke kantor Kepala Desa dan di sana kau melihat ada mobil Rubicon dan Avanza terparkir di depan kantor. Kau dan rekanmu mencoba menemui kepala desa tapi stafnya menjawab tidak bisa karena Pak Kades sudah ada agenda rapat di kecamatan lalu kau bertanya kira-kira kapan kami bisa bertemu kepala desa dan dijawab besok lagi coba datang ke sini dan hari itu kau pulang dengan tangan kosong dan keesokan harinya kau juga kembali dengan tangan kosong. Untung saja hari ini tidak, karena kau berhasil menangkap setengah karung berisi ikan kembung dan ikan tongkol. Kau merasa tangkapan hari ini sudah cukup atau matahari sudah makin meninggi. Akhir-akhir ini, berkat adanya pagar laut yang panjangnya ingin menyamai Tembok Cina itu, kau bisa pulang lebih awal, atau tepatnya karena waktu menangkap ikan lebih pendek karena jika kau memaksakan diri untuk berlayar lebih lama maka kau dengan sukarela menyerahkan dirimu untuk terpanggang panasnya matahari dan mulutmu dikeringkan embusan panas angin laut di perjalanan pulang yang memakan waktu lebih lama dibanding ketika kau masih bisa berlayar lurus ke arah dermaga sandarmu. Setelah entah berapa waktu berlalu kau berhasil sampai, mengikat kapal ke dermaga, dan langsung mengendarai motor bebekmu menuju ke arah pasar. Kau bertemu dengan pengulak langgananmu dan timbangan menunjukkan 10 kilogram. Kau dapat tebusan 2 lembar kertas merah untuk 8 kilo dan sisanya kau bawa pulang ke rumah untuk makan sekeluarga 3 hari ke depan. Sekarang sudah asar dan kau perlu menjemput anakmu pulang sekolah dan tak lupa kau mampir ke pom bensin tapi sayangnya hari ini solar sedang kosong dan kemarin juga. Kau tak tahu besok bisa berlayar atau tidak tapi sesampainya di rumah kau serahkan ikan pada istrimu untuk dibuatkan tongkol balado dan sayur asam kesukaanmu dan sambil menunggu kau memutuskan untuk rebah sejenak dan matamu terpejam.

***

Sekarang kau terbangun di kursi captain seat baris kedua Lexus LM350h 7 seater-mu yang berwarna hitam dan berplat 297–02. Sebelumya, kauminta dibangunkan sopirmu jika sudah dekat exit tol Slipi agar kau masih punya waktu untuk menata wajahmu agar tak terlihat muka bantalmu. Kau sampai di kantor pukul 08.42 dan langsung menuju ruanganmu, disapa stafmu yang langsung berdiri saat kaumelewatinya, dan kau memintanya mempresentasikan agenda yang perlu kau lakukan hari ini: rapat a, rapat b, dan rapat c. Pada saat mendengarkan, kau tanpa sadar mencium aroma aneh yang setelah kau perhatikan datang dari baju biru stafmu yang baunya memuakkan, mulai dari bau apak baju belum kering, wewangian murahan yang aromanya terlalu manis untuk dipakai siang hari, dan bau keringat yang mengingatkanmu ketika kau pernah naik KRL sekali-dua kali saat melakukan acara survei moda transportasi umum bersama Pemda sekaligus mencuri-curi membuat konten untuk akun media sosialmu. Semua aroma tersebut bersintesis dan berkonspirasi untuk menguar, menyerang, dan menusuk lubang indra penciumanmu. Kau pun segera menyudahinya karena sudah tidak kuat dan dibuat mual, lalu bersiap untuk mengikuti rapat pertama. Kau masuk ke ruangan rapatmu yang tataruangnya layaknya gedung teater Yunani, yang dimaksudkan agar semua audiens/anggota rapat fokus ke depan, mata dan perhatian tertuju ke sang pemeran/pemimpin di panggung utama. Lebih tepatnya, tataruang tersebut akan lebih memudahkanmu untuk doomscrolling tiktok, chattingan, atau tidur di tengah penampilan. Entah apa lakon yang dimainkan di tempatmu: drama komedi, tragedi, atau tragikomedi. Dan seperti hari-hari biasanya, lakon yang hari ini dimainkan adalah tentang kiat-kiat bagaimana caranya menyusahkan masyarakat Indonesia. Lebih tepatnya, pada episode ini kau dan sejawatmu akan membahas langkah-langkah menyulitkan masyarakat untuk membeli gas elpiji 3 kg, atau untuk memasak, atau untuk makan, atau untuk hidup. Salah satunya adalah dengan melarang penjualan elpiji secara bebas di tempat pengecer. Dengan ini, kau bisa memonopoli dan mengumpulkan massa untuk mengantre di pangkalan-pangkalan atau lebih jauh lagi kau bisa mencegah mereka untuk berpikir dan berserikat karena mereka tidak punya waktu lagi karena hari-hari mereka akan habis hanya untuk mengantre dan mengantre beli gas. Kemarin ide tersebut sudah dicanangkan oleh salah satu menteri dan sekarang kau akan membahasnya lebih lanjut bersama-sama. Namun, tiba-tiba handphonemu bergetar dan kau menengok adanya notifikasi “Daily Treat Machine — you get rewards every day you log in” dan kau baru teringat belum membuka aplikasi Candy Crush Saga hari ini dan kau tidak bisa untuk tidak membukanya. Kau centang tanda absenmu hari ini dan berhasil mendapat special reward karena kau sudah login 30 hari berturut-turut. Kau pun meyakinkan diri untuk tidak apa-apa bermain sebentar, satu level saja pikirmu. Tak terasa 23 menit berlalu dan kau sudah berhasil memenangkan 7 level, dari 345 ke 351. Kau ingin lanjut lagi tapi dari atas muncul notifikasi chat dari anakmu yang meminta izin untuk pulang agak malam karena ia akan menonton bioskop dan makan bersama teman-temannya sepulang sekolah. Kau paham maksudnya dan langsung mentransfer 500 ribu ke rekening anakmu dan berpesan agar berhati-hati dan kabari kalau ada apa-apa. Sekarang yang tersisa adalah matamu yang capai karena terlalu lama menatap layar dengan kacamatamu yang tebal itu, dan apalagi yang bisa dilakukan selain tidur, mau tak mau. Kau hanya berharap agar kau tidak mendengkur, karena jika iya, teaternya akan beralih dari lakon tragikomedi menjadi sebuah penampilan paduan suara, sebuah paduan dengkur yang mengatur ihwal nasib manusia, alunan dengkur yang menegasikan mulut dan janji manis kalian pada waktu lalu, sebuah akapela dengkuran yang mendengung dan menggema ke mana-mana.

***

Seperti biasanya, hari ini kau bangun dari tidurmu. Seusai salat subuh, kau langsung menuju ke dapur untuk menanak nasi uduk. Kau memulai dengan mencuci beras, menumis bawang, berambang, serai, daun salam, dan daun jeruk, diikuti dengan santan dan air. Setelah itu, kau memasukkan beras, garam, dan memasaknya dengan api kecil hingga matang dan empuk. Untuk lauk-lauknya: orek tempe, bihun, telur balado, dan semur kentang sudah kau buat tadi malam. Ketika semua sudah siap dan gorengan juga sudah matang keemasan, kau membuka lapakmu di depan rumah. Hari ini pelangganmu banyak, pukul 8 kurang semua menu sudah ludes terjual. Kau pun merapikan semuanya dan beristirahat sejenak untuk meluruskan kaki dan meregangkan pinggulmu yang rapuh itu. Tak lama kau pun terkesiap karena baru ingat kalau gasmu untuk memasak hari esok habis, lalu kau bersiap untuk membeli gas di warung langganan dekat rumahmu dan membawa sekalian 2 tabung melon. Sesampainya di sana kau baru dapat kabar kalau sekarang mereka sudah tak bisa menjual gas eceran, jadi kalau beli harus pergi langsung ke pangkalan lalu kaupun bertanya di mana dan dijawab di agen situ bu yang dekat pasar. Kau menghela napas tapi mau bagaimana lagi kalau tidak beli gas berarti kau tidak berjualan dan kalau tidak berjualan berarti tabungan umrahmu tidak kunjung terpenuhi. Kau bawalah dua tabung besi di lengan kanan dan kirimu yang kurus kering itu dan berjalan selama kurang lebih 10 menit untuk akhirnya sampai ke pangkalan yang ternyata dari jarak 100 meter sudah terlihat ada antrean ramai untuk bisa mendapatkan gas yang diperlukan entah untuk memasak untuk keluarga, diri sendiri, maupun dijual ke orang lain. Kaupun bergabung ke antrian dan langsung menimbrung obrolan ibu-ibu yang sama kebingungannya denganmu mengapa hal sekonyol ini bisa terjadi lalu ada yang menyeletuk ya mau gimana lagi bu namanya juga pemerintah kerjaannya cuma bisa ganggu kemiskinan kita. Akhirnya satu persatu antrian maju dan perlahan tenggorokanmu mengering. Satu jam berlalu dan akhirnya giliranmu tiba untuk menukar tambah tabung kosong dengan beban tambahan 3 kg lagi yang harus kau bawa balik sejauh 500 meter. Beberapa langkah berjalan pandanganmu mulai kunang-kunang, tanganmu mengencang dan venamu menyembul, pegal mulai melanda di sekujur tubuhmu, hingga kau tak kuasa untuk istirahat sejenak di sebuah ruko binatu pinggir jalan. Untungnya, pemilik laundry itu mengenalimu dan langsung menghubungi menantumu untuk datang menjemput dan setelah sampai kau pun langsung diangkut pulang olehnya. Sialnya, semua sudah kepalang terlambat. Di jok motor itu, kau terduduk lunglai, mulutmu terbuka lebar, dadamu kembang kempis, tenggorokanmu tercekik, tanganmu makin meregang, punggungmu nyeri, dan matamu semakin berat, dan semakin berat, dan semakin berat, dan semakin berat….

*****

Editor: Moch Aldy MA

Rizki Ardhana
Rizki Ardhana Penggemar Bill Evans dan menjagokan Manchester City

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email