Suri (1)
parasmu cantik, katanya
dia sedang menggoda
aku terkesima, katanya
dia sedang menggoda
gadis dua belas tahun
segar bagaikan embun
merona merah muda
dua gumpalan sempurna
tersihir rayuan buaya
si gadis kian bergaya
dilucuti tak berdaya
ia dalam bahaya
tak tahu menahu
tentang niat hina itu
payah ringis pasrah
ia mati dalam darah
–
Suri (2)
/1/
kejadian itu
terjadi sangat cepat
tapi aku masih mengingat
mengingatnya dengan jelas,
selalu terbayang, tak pernah hilang
menghantui lamunanku, pikiranku
seluruh tubuhku menjadi kebas,
pada saat itu
lantas dengan lekas tubuhku
seperti koyak, seperti tersentak
dan aku tak kuasa berteriak
kedua bibirku kelu
seakan aku bisu
seluruh tubuhku kaku
aku hanya diam dan beku
/2/
kedua tangan sialan itu menari
mulutnya menganga seolah bernyanyi
seolah-olah ia sangat menikmati
/3/
dan aku masih merasa mati
air mataku menetes tak henti
memenuhi lorong yang sunyi
tapi ia seakan tak peduli
aku merintih dalam hati
memohon agar ia segera pergi
agar semuanya cepat berlalu
cepat usai, cepat selesai
/4/
tapi tak ada yang usai
dan selesai, pada akhirnya
kutelan semua yang pilu
tak seorangpun yang tahu
hanya aku bersama diriku
tertatih menghapus sendu
dan ingatan yang buruk itu.
–
Suri (3)
si gadis senantiasa tak mengenalnya/ laki-laki yang tak tahu di mana rimbanya/ hiruk-pikuk Alam Sutra/ kotak berjalan dengan roda/ tersorot lampu-lampu berpendar cahaya—namun semua seakan kedap suara/ dunia terpisah menjadi dua/ di luar hidup—di dalam mati/ si gadis mangsa laki-laki—buaya/ bibir laki-laki penuh dusta, melahap bibir merah merona seorang gadis dengan paksa/ si gadis diam sejuta bahasa/ jantung tak lagi keluarkan detaknya/ waktu tak lagi muntahkan detiknya/ dunia tenggelam seluruhnya/
malam—gelap penuh nestapa/
malam—gelap penuh nestapa/
malam—gelap penuh nestapa/
ucap gadis seakan lisankan mantra-mantra/ seolah langitkan doa-doa/ tangan legam buaya menggenggam erat kedua payudara yang menyembul paripurna/ kanan—kiri, atas—bawah/ si gadis tak berdaya/ lumpuh seketika/ gemertak gigi keluarkan suara-suara—terkunci rapat telan kata sifat putus asa/ o, sungguh duka/ o, sungguh lara/ o, duka lara/
malam—gelap penuh nestapa/
malam—gelap penuh nestapa/
malam—gelap penuh nestapa/
–
suara bisu July (4)
/1/
dirinya duduk menghadap jendela
terlihat anggun—bak malaikat
rambut hitamnya terjuntai bercahaya
lembut sinar sore menerpa wajahnya
semburat merah di pipinya—menyala
kulitnya—halus tanpa noda
jari-jarinya lentik memesona—pena
hitam di antaranya,
secarik kertas berada di depannya,
saksi akan hidupnya, dan
dalam hening ia torehkan lara
/2/
luka yang tiada usai
luka yang tiada usai
luka yang tiada usai
luka yang tiada usai
/3/
luka itu masih di sana
tak terjamah—terbuka dan menganga
luka itu masih di sana
hitam gelap—melekat pada dirinya
luka, itu, masih di sana
/5/
matanya seakan bercerita—mengenang kisahnya namun bukan memorabilia,
sejak itu—hidup dan mati tiada beda baginya
ia hidup seperti mati—ia mati tapi hidup
laki-laki itu sudah ambil paksa tubuhnya
ia telah diperkosa oleh sosok yang seharusnya melindunginya—Ayahnya.
–
Suri—July (5)
tatapnya nanar simpan guratan ungu/ penuh pilu juga merah/ kedua bola mata—hitam pekat cari cahaya yang tak tampak/ tak ada rona/ tak ada bebunga/ tak ada apa-apa/ selain kelam/ selain kelabu/ selain dusta/ mereka mengintai sesiapa yang merana/ tiap-tiap malam fragmen itu pecah di kepala/ buat kedua gadis gila/ rafka—rifki/ rafla—rafli/ alwa—alwi/ eka—eko/ beradu dalam cognito—incognito/ o hati sungguh merana/ o hati dalam durjana/
kebencian—kesedihan/
kebencian—kesedihan/
kebencian—kesedihan/
menikam dalih kesalahan sementara/ berkelut mengucap—atas sifat manusia/ benang-benang teruntai di kepala/ harap—hidupnya porak-poranda/ harap—dikoyak-koyak karma/ harap—mereka mati saja/ hanya harap yang penuh ratap/
*****
Editor: Moch Aldy MA