Margaret Mead pernah berujar, “Nenekku ingin aku memperoleh pendidikan. Karenanya, ia melarangku sekolah.” Proposisi ini tentu paradoks bagi sebagian besar kalangan, utamanya kalangan masyarakat, orang tua, atau pendidik yang cara pandangnya terhadap sekolah adalah lembaga pendidikan formal yang menjadi salah satu cara mengubah nasib untuk lebih baik—sukses, barangkali begitu.
Kontroversi pernyataan di atas juga bisa dibilang serupa tapi tak sama dengan keanehan pemikiran Ahmad Wahib sehingga muncul ulasan khusus oleh MUI yang menyesalkan peredaran buku Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib. Namun, keserupaannya itu tidak sampai pada level persamaan yang signifikan hingga memunculkan ulasan khusus oleh Kemendikbudristek yang menyesalkan terbitnya buku Sekolah Kapitalisme yang Licik karena buku ini mengutip proposisi kontroversial tersebut.
Alasannya, mungkin saja karena pernyataan yang dikutip dari sinopsis buku berjudul Sekolah Kapitalisme yang Licik itu terjemahan dari Paulo Freire on Higher Education: A Dialogue at the National University of Mexico (1994) terbitan State University of New York Press. Buku karya Miguel Escobar ini merupakan transkrip diskusi bersama Paulo Freire selama tiga hari di Universitas Nasional Mexico (UNAM).
Freire pasti bukan nama asing bagi pembaca konsep pendidikan kritis. Hal itu karena Pak Freire sudah meninggalkan bertumpuk-tumpuk karya mengenai pendidikan sampai ia menghadap Sang Pencipta. Salah satu pemikiran dasar Bapak Pendidikan itu adalah konsep mengenai pendidikan klasik yang melihat sekolah sebagai sebuah institusi masyarakat dengan tujuan mencerdaskan anak didik untuk tampil sebagai pahlawan (problem solver) bagi masyarakat setelah selesai menempuh jenjang pendidikannya.
Namun, Freire berkata, yang terjadi dominan sebaliknya. Sering kali, para peserta yang menyelesaikan jenjang pendidikan malah menjadi terasing dari lingkungan sekitarnya. Ilmu-ilmu yang dipelajari di sekolah sama sekali tidak memiliki kegayutan dengan realitas kehidupan mereka.
Itu sebabnya, kembali pada proposisi di awal tulisan ini, memperoleh pendidikan bagi nenek seorang Margaret Mead bukan lagi lewat institusi masyarakat yang disebut dengan sekolah itu. Lantas, pertanyaan yang logis diutarakan berdasarkan sebab-sebab dari pernyataan di atas adalah: apa yang harus dilakukan seorang anak untuk memperoleh pendidikan?
Pembahasan untuk menjawab pertanyaan itu dimulai dari fenomena yang menunjukkan informasi dan ilmu pengetahuan bagi anak didik sekarang, yang sumbernya tidak lagi dari sekumpulan lembaran kertas yang menjadi buku. Sumber dari sederetan hal penting dalam hidup tersebut bagi mereka sekarang adalah “mesin pencari”—semacam kantong ajaib milik Doraemon—yang dapat membawa mereka ke mana saja, sesuai kebutuhan dan kepentingan.
Namun, realita menunjukkan sekolah dengan semua komponen sistem, SDM, perpustakaan, sarana-prasarana, dan lain sebagainya tidak mungkin mampu bersaing dengan kecanggihan “mesin pencari” sebagai sumber informasi. Bila dikatakan tidak sebanding, jelas. “Mesin pencari” tentu saja menyimpan ribuan milyar data yang dapat ditemukan hanya dengan mengetikkan kata kunci.
Sementara itu, SDM di sekolah pastinya tidak. Dikotomi ilmu pengetahuan dan pengalaman pastinya tidak dapat memberi informasi memuaskan bagi anak didik yang ingin mengetahuinya. Ditambah lagi, “mesin pencari” bisa membuat anak didik kecanduan; sekolah tidak.
Nampaknya, fakta kecanduan untuk mencari informasi melalui “mesin pencari” tidak perlu disampaikan dengan terang-benderang. Riset-riset terkini mengenai lamanya waktu aktivitas di depan layar untuk anak didik yang juga dapat diketahui lewat “mesin pencari” kiranya menjadi perwakilan fakta kecanduan yang dimaksud.
Rata-rata anak didik berada di sekolah selama 8 jam; mulai dari pukul 07.00-15.00. Waktu sekolah 8 jam per hari ini membawa kita kembali kepada proposisi awal dari tulisan ini. Apakah sekolah hanya sebagai institusi atau kegiatan integratif yang menyiapkan anak didik secara afektif, kognitif, dan psikomotorik?
Bila sekolah dimaknai sebagai institusi seperti yang dimaksud pada awal tulisan ini, maka sekolah bisa juga diartikan secara hemat sebagai industri. Maksudnya, tawaran soft skill, pengalaman, dan sebagainya yang terpampang besar pada saat pembukaan tahun ajaran baru di dalam sekolah semacam ini adalah bagian dari kegiatan industrinya—pemasaran.
Untuk itu, secara tidak terburu-buru dan juga tidak memutlakkan kebenaran pendapat ini, saya menyatakan:
“Sekolah sebagai institusi masyarakat yang bertujuan mendidik anak untuk tampil menyelesaikan permasalahan di lingkungannya sudah saatnya berevolusi menjadi ‘mesin pencari’.”
Proses evolusi sekolah menjadi mesin pencari yang dimaksud tidak serumit yang dibayangkan. Cukup menjadikan perpustakaan sebagai penyedia informasi dengan mengumpulkan data-data buku bacaan, majalah, koran, dan semacamnya berdasarkan kata kunci dari setiap materi yang berkaitan dengan anak didik, baik di sekolah atau yang beririsan juga dengan aktivitas di luar sekolah. Sekurang-kurangnya, isian perpustakaan dapat menyusul kecanggihan sumber informasi dari mesin pencari.
Tidak selesai pada tersedianya bahan-bahan bacaan yang dapat menjadi sumber informasi. Sekolah, untuk menandingi mesin pencari, juga bisa dengan memaksimalkan beragam fasilitas teknologi informasi yang dimiliki. Misalnya, menyediakan monitor, proyektor, atau layar yang dapat digunakan anak didik untuk menyaksikan tayangan sebagaimana mesin pencari.
Mungkin, uraian-uraian tersebut tidak terdengar baru, relatif singkat, dan tidak mendalam. Tetapi, bagaimana bila melihat hasil survei yang menyatakan bahwa anak didik di sekolah cenderung merasa bosan dengan segala aktivitas mereka di sekolah, dan merasa lebih nyaman bermain-main dengan alat komunikasi super canggih yang mereka miliki masing-masing.
Bermain tentu bukanlah hal dilarang. Bermain ya boleh saja, tidak ada larangan dari hukum adat, agama, apalagi Undang-Undang. Lihat saja para atlet e-sport, selain menjadi suatu pencapaian positif bagi individu masing-masing dengan popularitas karena kepiawaian mekanik permainan, tentu membawa harum nama keluarga, daerah, sekolah, serta identitas lain yang melekat dengan diri mereka.
Tetapi, apakah semua anak punya nasib yang sama? Walaupun kalangan fatalisme bisa saja menjawab, “ya, apa kata takdir Tuhan”. Tapi, orang bijak pasti menjawab, “belum tentu”. Orientasi kehidupan seseorang pasti berbeda-beda. Nah, inilah yang ditawarkan Freire dalam konsep pendidikannya. Sekolah itu harus menyesuaikan roda balap dengan cuaca dan tantangan sirkuit yang akan dilaluinya.
Orang seperti mbak Rara (Pawang Hujan Sirkuit Moto GP Mandalika) yang viral akhir bulan Maret lalu, tentu tidak belajar memindahkan hujan melalui pembelajaran di dalam kelas yang ada di sekolah. Penerapan ilmunya yang terbilang mistis dan kontroversi itu bermanfaat bagi milyaran orang sedunia. Tidak ada orang yang dirugikan dari terapan ilmu itu.
Sekolah seperti yang diutarakan Freire, yakni tidak dominan menunjukkan harapan bagi anak didik yang telah menamatkannya. Sekolah cenderung mencerminkan pendidikan klasik seperti pendahuluan tulisan ini, dan sebagian fakta dominan menunjukkan ilmu yang telah mereka dapatkan dari sekolah malah membuat mereka teralienasi dari lingkungan mereka.
Peserta didik yang telah menamatkan sekolah dan terasing itu bukan karena mereka tidak mampu menyesuaikan kondisi, namun karena proses yang dilalui tidak memberikan pengalaman aksiologis. Kegiatan belajar yang dilalui cenderung didominasi oleh kegiatan yang bersifat teoritis, materi yang diajarkan tidak memberikan pengalaman belajar yang fungsional dan praktis bagi kehidupan sehari-hari.
Dan pada poinnya, apabila sekolah berfungsi sebagai ‘mesin pencari’ yang dapat memberi informasi berupa teks, gambar, audio, maupun video, baik dalam bentuk tata cara atau permainan sekurang-kurangnya akan dapat memberi gambaran pengalaman. Dengan begitu sekolah sebagai ‘mesin pencari’ akan membawa anak didik dari keterasingan menuju kedalaman penyerapan jiwa ‘problem solver’ di lingkungan sekitarnya. Maka dari itu, mulai sekarang, anak didik harus menuntut sekolah agar menjadi “mesin pencari”.