Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti, menggulirkan wacana untuk mengembalikan jurusan IPA, IPS, dan Bahasa dalam beberapa waktu belakangan. Tujuan diadakannya kembali jurusan “klasik” tersebut sebagai upaya mendukung pelaksanaan Tes Kemampuan Akademik (TKA).
Wacana tersebut tentu saja langsung menimbulkan kontroversi. Ada yang setuju karena bisa menjadi solusi untuk siswa era Kurikulum Merdeka yang dianggap lebih malas ketimbang siswa era kurikulum sebelumnya, ada juga yang tidak setuju karena membuat kurikulum pendidikan terkesan plin-plan dan tidak memiliki orientasi jangka panjang
Menurut Iman Zanatul Haeri selaku Ketua Bidang Advokasi Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), kembalinya penjurusan di SMA ini positif karena sarana dan prasarana pendidikan di Indonesia saat ini memang belum cocok dengan konsep Kurikulum Merdeka. Namun, sisi negatifnya adalah dikhawatirkan dapat menimbulkan “kasta” dalam jurusan di SMA—jurusan IPA dianggap lebih superior daripada jurusan IPS.
Selain itu, dengan adanya TKA yang isinya terdapat mata pelajaran tertentu, dikhawatirkan akan menimbulkan anggapan mengenai adanya mata pelajaran yang penting dan yang tidak penting. Artinya, siswa dikhawatirkan akan mengabaikan mata pelajaran lain yang tidak ada di TKA.
Baca juga:
Bentuk Romantisme Pendidikan di Masa Lalu?
Mungkin sudah banyak dari kita yang melihat dan membaca berita di media sosial mengenai adanya TKA serta kembalinya penjurusan di SMA ini. Bagi saya, yang menarik adalah isi kolom komentarnya, ada yang setuju dan ada yang tidak setuju.
Menurut mereka yang setuju, siswa di era Kurikulum Merdeka seperti sekarang ini dianggap lebih malas dan tidak memiliki motivasi belajar karena tidak adanya UN yang merupakan “ujian mental”. Tentu saja mereka yang setuju itu kebanyakan merupakan mereka yang sudah lulus sekolah sejak lama.
Ketika adanya wacana untuk mengembalikan UN (yang nantinya akan bernama TKA), isi komentarnya adalah seperti selebrasi karena berhasil “balas dendam” terhadap generasi di bawahnya yang tidak merasakan UN seperti mereka. Isi komentarnya kurang lebih “rasakan penderitaan UN yang dulu kami rasakan!”
Namun, mereka seakan mengabaikan masalah-masalah kurikulum terdahulu yang ada di era mereka. Apakah Anda ingat survei dari Lant Pritchett yang menyatakan bahwa pendidikan anak-anak di Jakarta tertinggal 128 tahun ketimbang di negara maju? Ya, survei itu keluar pada tahun 2016, jauh sebelum UN ditiadakan dan diberlakukannya Kurikulum Merdeka.
Survei dari Lant Pritchett tersebut hanya satu dari sekian masalah yang ada di kurikulum sebelum-sebelumnya. Misalnya seperti skor PISA yang selalu rendah, nilai Uji Kompetensi Guru (UKG) yang masih di bawah standar, dan lain-lain. Lalu, mengapa mereka masih menganggap kurikulum terdahulu lebih baik ketimbang yang sekarang?
Masalah Kurikulum Merdeka
Kurikulum Merdeka juga bukan berarti tanpa celah. Sebagai siswa yang masih duduk di kelas XI, saya merasakan betul mengenai banyaknya kerja kelompok, adanya P5 yang menguras uang saku, dan lain-lain yang menjadi pembeda Kurikulum Merdeka dengan kurikulum sebenarnya.
Baca juga:
Saya merasakan betul, bagaimana rasanya bekerja kelompok dengan teman yang rajin dan teman yang malas. Bahkan, saya merasa ada tugas kelompok yang seharusnya bisa—setidaknya bagi saya sendiri—untuk saya kerjakan sendiri.
Selain itu, masalah berkepanjangan berupa guru yang lebih sibuk dalam urusan administrasi ketimbang mengajar ini juga memengaruhi bagaimana siswa menerima ilmu. Seharusnya Kurikulum Merdeka bisa menyelesaikan persoalan administrasi ini. Tetapi nyatanya tidak juga.
Penutup
Alih-alih menyelesaikan masalah-masalah yang sudah ada sejak lama seperti perkara administrasi guru, Pak Menteri justru mengembalikan “sistem usang” yang sudah ditinggalkan dan terkesan agar punya legacy dalam kepemimpinannya. Selain itu, mengembalikan “sistem usang” juga memperlihatkan bahwa pendidikan kita tidak berorientasi pada jangka panjang.
Ketika kebijakannya berhasil, akan dibanggakan dan menunjukkan ke publik bahwa kebijakannya berhasil. Namun, ketika kebijakannya gagal, akan diam seribu bahasa dan mungkin akan cari alasan sana-sini.
Lagi-lagi, siswa dan guru hanya seperti “pion” dalam percaturan politik—bukan suatu hal yang baru. Siswa dan guru hanya dianggap sebagai mesin politik terselubung untuk tujuan-tujuan tertentu yang bukan untuk siswa dan guru itu sendiri.
Andaikata TKA benar akan diadakan dan penjurusan SMA kembali diberlakukan, maka pendapat-pendapat dari para ahli harus benar-benar didengarkan. Kebijakan yang berpengaruh terhadap masa depan siswa ini harus benar-benar disiapkan dengan matang dan jangan sampai yang membuat kebijakan juga ikut terjebak dalam romantisme pendidikan di masa lalu. (*)
Editor: Kukuh Basuki
