Setiap kali mendengar kata korupsi, kebanyakan orang langsung teringat pada pejabat tinggi, gedung kementerian, atau persidangan kasus miliaran rupiah. Tapi jarang sekali kita mau menoleh ke desa, tempat praktik korupsi justru sering berlangsung diam-diam dan dianggap biasa. Desa seolah aman dari sorotan, padahal di situlah uang publik pertama kali bersentuhan langsung dengan kehidupan sehari-hari warga.
Fakta menunjukkan persoalan ini nyata. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat pada 2022 terdapat 155 kasus korupsi desa dengan 252 tersangka. Hanya dalam setahun, jumlah itu melonjak tajam menjadi 791 kasus dengan 1.695 tersangka pada 2023. Angka ini setidaknya menjadi gambaran bahwa sebenarnya korupsi di desa tumbuh dengan pesat, meski sering kali hanya disebut “uang rokok” atau “uang capek”.
Kenormalan yang Menyesatkan
Mari bicara jujur. Barangkali kita tidak asing mendengar kalimat, “buat uang rokok, Pak” saat mengurus surat di kantor desa atau beberapa instansi birokrasi? Jumlahnya mungkin hanya puluhan ribu. Orang-orang tidak ribut, bahkan ada yang bilang itu tanda terima kasih. Dari sinilah masalah bermula. Sesuatu yang kecil dianggap normal, lalu berkembang menjadi legitimasi untuk menyentuh hal yang lebih besar. Jika uang rokok saja wajar, mark-up biaya pembangunan jalan desa atau laporan kegiatan fiktif juga mudah dicari pembenaran.
Bagi banyak warga, uang rokok terasa seperti bagian dari adat. Hubungan sosial di desa memang rapat. Memberi sedikit uang pada perangkat desa dipandang bukan sebagai suap, melainkan penghormatan. Inilah yang membuat praktik itu bertahan. Namun kalau kita mau refleksi, bukankah ini sama saja dengan membiasakan diri membayar ekstra di luar aturan resmi? Kalau hal kecil dibiarkan, sulit berharap yang besar tidak akan mengikuti.
Baca juga:
Apalagi sejak ada Dana Desa yang digelontorkan pemerintah pusat. Jumlahnya besar, rata-rata mencapai 1 miliar rupiah per desa per tahun. Dana ini dimaksudkan untuk membiayai pembangunan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi, dan pelayanan dasar. Tetapi, di banyak tempat, hal ini justru membuka peluang korupsi baru. Kepala desa dan perangkat punya kendali penuh atas anggaran. Musyawarah desa yang seharusnya menjadi forum demokratis kadang hanya formalitas. Nama kegiatan bisa dicatat, kwitansi bisa dibuat, tetapi hasil di lapangan tidak pernah ada.
Korupsi lahir dari monopoli kekuasaan, diskresi tanpa batas, dan ketiadaan akuntabilitas, setidaknya itulah yang poin yang pernah saya ambil dari Robert Klitgaard. Rumus ini persis menggambarkan kondisi desa. Kepala desa punya monopoli terhadap anggaran, bisa mendistribusikan sesuai selera, dan mekanisme pengawasan terkadang cukup lemah. Transparansi yang diharapkan lewat papan informasi sering tidak lebih dari formalitas, deretan angka yang dipajang sulit dimengerti dan sulit diverifikasi warga.
Selain itu, banyak kepala desa sebagai pemimpin tertinggi di desa, juga tidak bekerja sendirian. Mereka terikat pada tim sukses, kerabat, atau kelompok pendukung. Proyek-proyek dana desa lalu dibagi sebagai balas budi. Inilah wajah patronase di level lokal: uang publik dipakai untuk mengikat loyalitas.
Jika warga bertanya kenapa jalan desa tidak selesai, jawabannya sering diplomatis, tetapi intinya jelas, sumber daya sudah habis dibagi ke lingkaran dalam. Atau di beberapa kasus, pengadaan bahan kontruksi hingga “biyong” atau makelar tanah dikuasai oleh lingkaran utama sang penguasa desa.
Akibatnya, desa tidak berjalan sebagaimana mestinya. Warga makin apatis, enggan terlibat dalam musyawarah, bahkan merasa semua hanya sandiwara. Rasa percaya hilang, padahal tanpa kepercayaan, sulit membangun partisipasi. Inilah dampak sosial dari korupsi kecil yang sering diremehkan. Ia membuat orang berhenti percaya, berhenti peduli, dan membiarkan desa berjalan seadanya.
Membangun Desa tanpa Korupsi
Kalau ditanya kenapa praktik ini jarang terbongkar, jawabannya sederhana. Korupsi di desa sering dianggap receh. Nominalnya kecil, tidak sebanding dengan kasus besar di pusat. Lagi pula, hubungan sosial di desa membuat warga sungkan. Melaporkan kepala desa sama artinya melaporkan tetangga sendiri, bahkan mungkin saudara. Tekanan sosial ini membuat korupsi desa lebih sulit diberantas dibanding korupsi para elite.
Namun, melihat data ICW yang melonjak drastis, jelas bahwa masalah ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Kalau dihitung secara nasional, kebocoran dana desa bisa mencapai triliunan rupiah. Lebih dari itu, ia merusak mentalitas kolektif. Generasi muda desa tumbuh dengan menyaksikan bagaimana uang publik bisa diotak-atik tanpa konsekuensi. Jika dibiarkan, ini justru akan menjadi bom waktu di masa depan juga menghambat kaderisasi kepemimpinan politik, khususnya di desa.
Baca juga:
Lalu apa yang bisa dilakukan? Tidak ada resep instan, tapi ada langkah-langkah yang layak ditempuh. Partisipasi warga harus diberi ruang. Bukan hanya musyawarah seremonial, tetapi forum di mana warga berani bertanya, menolak, bahkan mengkritik. Selain itu, audit sosial perlu digerakkan. Pemuda desa, kelompok tani, atau karang taruna bisa dilibatkan untuk memeriksa pelaksanaan program agar tidak salah sasaran dan tentu minim penyalahgunaan.
Hal yang tidak kalah penting adalah perubahan budaya. Masyarakat harus berani menolak praktik uang rokok. Tindakan kecil ini penting untuk mengirim sinyal bahwa warga tidak mau lagi hidup dengan budaya permisif. Kalau kita serius ingin membangun desa yang mandiri, integritas harus dimulai dari yang paling kecil. Menolak uang rokok mungkin tampak sepele, tetapi di situlah langkah awal membongkar lingkaran korupsi desa.
Korupsi di desa memang jarang masuk berita utama nasional. Tapi dampaknya terasa langsung di jalan yang tak kunjung diperbaiki, di balai desa yang programnya mandek, dan warga yang makin apatis. Desa adalah akar bangsa. Jika akar itu rapuh karena digerogoti korupsi receh, pohon besar bernama Indonesia juga akan rapuh.
Membersihkan desa dari praktik korupsi kecil jauh lebih mendesak daripada sekadar mengejar pembangunan fisik yang gemerlap. Desa tanpa integritas hanya akan jadi panggung kecil dari drama besar korupsi yang sudah terlalu lama kita biarkan.
Editor: Prihandini N