Serupa Haiku dalam Tubuhku
Sewaktu malam
di dalam kamar
lampion merah
memunculkan
sketsa bunga:
“setubuhilah ia
tanpa suara
sepi derita
akan sirna
oleh anganan
cinta.”
Tuhan,
Engkau
ke
mana?
(10.01)
–
Mata
Sripanggung melukis dunia
pada pertunjukan drama: Tuhan,
pulanglah, aku sudah membuat
minuman bernuansa samudera
—dan toping butir pasir waktu
asmara dalam gejolak batinku.
(02:20)
–
Kepala
Lingkungan adalah gambaran
cermin kehidupan—
Rumah adalah potret nirwana
persona riasan.
(14:04)
–
Hati
Ada yang lupa bermimpi
bahwa sendiri tak selalu sepi
begitupun dengan hati
ada detak waktu yang menemani:
Tuhanmu di bagian detak-detik
—kanan atau kiri?
(03:00)
–
Kaki
Teras rumah obat segala lara: Ganja-ganja!
semua berkaca menyetubuhi cahaya
memandang bias yang tak mesti
berakhir tanpa dukacita.
(18:00)
–
Tangan
Pementasan dunia hanya terlihat oleh nurani
karena para lakon seperti bunglon
rumit ditangkap-basah: lautan-lautan!
Tuhan tak pernah tenggelam.
(17:05)
–
Lidah
Tuhan?
Rasa pahit cinta ini
laksana nestapa
pada sang makna
Raut anggun
dalam lamunan
hadir sejak gelak tawa
—mengenangku
pada sanubari
surga dan neraka:
apakah semua itu
memanglah ada?
(22.22)
*****
Editor: Moch Aldy MA