Aku membayar hidupku untuk perkawinan ini.
Di sepanjang langkahku, aku berpikir bahwa tujuan hidupku adalah memakai kebaya putih dengan siger Sunda, menunggu lelaki yang mengucapkan ijab, melahirkan dan mendidik buah hati yang memang diinginkan suamiku. Tak ada keinginan untuk hal lebih seperti teman-temanku yang lain, pergi ke luar kota, dan mengejar mimpi mereka. Karena rasanya aku tak punya itu.
“Keinginan menikah juga adalah keinginan,” ujarku pada teman-temanku yang lain saat mereka mengingatkanku untuk berpikir ribuan kali untuk menikah.
Di usia menginjak 22 tahun, aku tahu apa yang aku mau. Setelah menuntaskan sekolah menengah dan bekerja di kantor pemerintahan desa, rasanya aku tak punya energi yang banyak lagi untuk diri sendiri. Saat bertemu dengan seseorang hanya dalam waktu kurang dari enam bulan, aku memantapkan hati untuk bertaruh pada pernikahan. Tetapi, mereka tidak tahu alasan sesungguhnya aku berjudi banyak di atas nota pernikahan: aku harus keluar dari keluarga yang membesarkanku.
***
Sebelum menikah, aku baru mengetahui bahwa keluargaku memiliki banyak topeng dan tak sebahagia yang kukira. Ada jurang besar yang membuat aku merasa harus menyelamatkan diri sendiri. Namun, sebagai anak pertama aku tak mungkin membiarkan masalah itu berlalu begitu saja. Masalah yang membuatku berpikir bahwa cinta dalam pernikahan bukanlah syarat utama.
“Ibu, sejak kapan berhubungan dengan orang itu?” tanyaku saat masak bersama.
Ibu yang melahirkanku bungkam. Ia menghentikan gerakannya memotong bawang sesaat lalu melanjutkannya kembali.
Ia hanya berucap, “Tak perlu kamu tahu, bapak ibu sudah bulat untuk bercerai.”
Setelah mengucapkan hal tersebut, ia tak meninggalkanku sendirian di dapur dan bertanya-tanya apa yang terjadi. Kucoba gapai kesadaranku untuk memasak sayur ini, sayur yang terakhir kali aku masak dan makan bersama Ayah, Ibu, dan kedua Adikku.
Setelah itu, kehampaan terus mengikatku dari hari ke hari. Ibu meninggalkan rumah sementara Ayah tak punya keberanian untuk membuat Ibu kembali. Bagi Ayah, membiarkan Ibu pergi adalah bentuk cinta sesungguhnya, sementara aku tak tahu apa itu cinta dan di mana cinta itu ada. Walaupun ada sosok yang menemuiku dan mengungkapkan cinta pula, aku tak sedikit pun merasakannya. Yang kumau, aku hanya ingin keluar dari belenggu ini.
***
Hari itu pun tiba. Untuk sementara, pesta pernikahan cukup menghilangkan semua masalah yang sebenarnya terbenam di benakku. Toh, aku harus menikmati acara ini dengan menyapa para tamu yang sebenarnya aku tak tahu itu siapa. Mengucapkan terima kasih kepada kenalan orang tuaku yang menyelamatiku sungguh menyesakkan terlebih dengan kencangnya kebaya pengantin yang kupakai sepanjang hari.
Kini, kupilih sosok lelaki yang menurutku bisa membimbingku setidaknya ia bisa mengubah pandanganku terhadap kehidupan pernikahan. Itulah yang kuharapkan, tetapi seperti berjudi, kita tidak tahu kapan kita menang dan kapan kita kalah menangisi penyesalan.
Begitu banyak berita menyakitkan tentang pernikahan di media sosial yang kubaca ternyata membuatku merasakannya juga. Menikah tak seperti cerita-cerita dongeng yang berhasil mengeluarkan putri dari berbagai nestapa. Aku tersadar aku bukanlah seorang putri dan tidak hidup di dunia peri.
Bentakkan suamiku menjadi lara yang kutelan dari hari ke hari, hingga aku menyadari bahwa tubuhku semakin kecil padahal aku harus menyusui. Tangisan bayi merah ini pun membuyarkan kepedihanku, aku tahu ini harga yang harus kubayar.
“Sekali lagi kau bertanya aku ke mana, kau pulang saja ke rumah. Suruh siapa memaksaku untuk cepat-cepat menikahimu?” bentaknya lagi.
Ada malam-malam di mana ia benar-benar tak pulang. Sementara, kontrakan ini terasa sangat menyesakkan terlebih tanpa ada bantuan darinya. Di saat anakku terlelap dengan tenangnya, aku memberanikan diri untuk mengirimkan pesan kepadanya.
“Kamu di mana?”
Satu jam, dua jam, dan waktu berlalu begitu saja sampai matahari mulai hadir malu-malu di ufuk timur, tak ada balasan apapun. Akhirnya, aku putuskan untuk mewujudkan hal yang ia ucapkan. Kukemas barang-barangku dan memakaikan jaket hangat untuk anakku. Segera aku keluar dari kontrakan ini dan pergi entah ke mana:
Mungkin ke rumah Ayah dengan kesenduannya yang belum juga usai atau ke rumah Ibu bersama suami barunya yang sedang menciptakan dongeng baru.
***
Di terminal aku mendengar percakapan seorang ibu berpesan kepada anak gadisnya yang hendak merantau, sepertinya akan pergi kuliah.
“Memang tak ada waktu yang tepat untuk menikah, tetapi persiapkan bahwa kau bukan bersama orang yang salah,” ungkap ibu tersebut hangat.
*Untuk semua Ibu di luar sana yang telah menyayangkan hidupnya bertaruh bersama orang yang salah.
*****
Editor: Moch Aldy MA