Ketua kelas Institut Sastra Makassar.

Sepatu Ajaib Mayor Ka

Nurhalis M

5 min read

Nyonya Mayor Ka memajang lukisan Kary Kassat di dinding. Lebar lukisan Kary Kassat merajai semua perabotan Nyonya Mayor Ka di ruang tamu, dan menjadi barang paling mahal di antara barang-barang mahal Nyonya Mayor Ka.

Tepat berada di atas guci-guci Mesir, lukisan itu menggantung dan menghadap kepada tiga kursi yang terbuat dari rotan, dan dibariskan dalam bentuk U. Sewaktu Mayor Ka kedatangan tamu penting, tradisi perjamuan tamu di rumah Mayor Ka selalu dimulai dari segala hal tentang lukisan Kary Kassat. Dan, ibarat ahli lukisan, Nyonya Mayor Ka, selalu dengan wajah yang berseri-seri, menjelaskan tafsir lukisan Kary Kassat dan Kary Kassat itu sendiri.

Penjelasan Nyonya Mayor Ka tentang lukisan Kary Kassat selalu detail dan berlarut-larut, hingga membuat para tamu yang pada awalnya tidak memiliki niat untuk berlama-lama, pada akhirnya terpaksa menginap selama dua hari dua malam, tanpa pernah tidur.

Aku juga selalu melihat lukisan Kary Kassat itu, saat Mayor Ka membuka pintu rumah, dan melepaskanku dari kakinya. Aku seharusnya memikirkan sosok Ibu Manusia, ketika aku melihat lukisan seorang ibu memandikan anak dengan air berwarna jingga dari mulut guci putih. Tapi, yang lekas tersimpul dari lubang taliku, adalah kenangan tentang Mayor Ka.

Ketika aku memperhatikan lukisan seorang perempuan berwajah sendu, sedang menyeka kaki mulus seorang anak berbadan montok, semakin sempurna ingatanku tentang Mayor Ka. Mayor Ka adalah seorang pemilik legenda kaki dari seluruh kehidupanku sebagai sepatu.

Semua sepatu tahu; manusia yang memiliki dua belas jari kaki adalah hal lazim di dunia sepatu. Tapi, empat belas jari kaki bagi kaki manusia hanya dimiliki Mayor Ka; itu adalah keajaiban dalam dunia sepatu. Tentu, bagi sepatu sepertiku, keajaiban, meski hanya terjadi sesekali, merupakan sebuah peristiwa yang bisa aku mengerti: Adalah keajaiban bagi sepasang sepatu, yang pernah digunakan pelari jarak jauh dari Jepang yang mengelilingi benua Afrika selama satu bulan tanpa henti, dan berhasil selamat dari cengkraman singa betina, juga injakan empat kaki jerapah. Adalah keajaiban bagi salah satu sepatu, yang pernah digunakan seorang wartawan berita lokal dari Arab untuk melempari presiden Amerika saat sedang berpidato di depan semua orang. Adalah keajaiban bagiku, jika kaki Mayor Ka cocok terpasang di tubuhku.

Kaki Mayor Ka adalah kaki raksasa. Mata kakinya menyembul seperti bulan purnama. Lebar ibu jarinya saja, bisa digunakan sebagai stadion sepak bola. Ketika Mayor Ka membiarkan kuku-kuku kakinya memanjang, kuku-kuku itu bisa menjadi jembatan yang menghubungkan dua pulau. Setiap kali Mayor Ka memakaiku, sambil berjalan mengitari kota, mulutku selalu memuntahkan benang jahit.

Pada hari Minggu, Mayor Ka selalu mengunjungi Tukang Jahit Sepatu di Pasar Minggu. Mayor Ka selalu mengunjungi Pasar Minggu dengan memasang wajah muram. Kaki Mayor Ka, meski tanpa sengaja, selalu pandai merusak tubuhku. Karena, hanya ada satu Seniman Sepatu yang mau menciptakan sepatu untuk kakinya, dan Seniman Sepatu itu sudah tertanam di dalam tanah, Mayor Ka selalu berharap, agar aku bisa berusia lanjut, dan selalu bisa menemani kakinya berjalan-jalan menelusuri desa. Mayor Ka senang sekali menelusuri desa-desa di luar kota menggunakan sepatu daripada menggunakan kendaraan bermesin bising.

Begitu Mayor Ka duduk di sebuah bangku, dengan wajah yang tegang ia memperhatikan pekerjaan Tukang Jahit Sepatu. Tukang Jahit Sepatu langganannya adalah seorang lelaki paruh baya, berkulit gosong seperti pisang goreng. Bulu kumis Tukang Jahit Sepatu tidak pernah dicukur, kumisnya memanjang hingga menutupi kedua bibirnya. Sebenarnya, tidak ada yang tahu pasti, barangkali Tukang Jahit Sepatu sama sekali tidak memiliki bibir. Lagi pula, tidak ada satupun yang pernah mendengar Tukang Jahit Sepatu berbicara atau sekadar bersiul. Ketika kaki Tukang Jahit Sepatu terinjak atau salah satu jari tangannya terkena ujung tajam jarum jahit, Tukang Jahit Sepatu hanya menatap langit sebentar tanpa suara, lalu melanjutkan pekerjaannya seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa.

Namun, satu-satunya hal yang menarik dari Tukang Jahit Sepatu untukku sebagai sepatu, adalah tangan kirinya yang buntung. Tangan kiri Tukang Jahit Sepatu terlepas saat perang antar suku terjadi dua puluh tahun lalu. Aku mengetahui peristiwa tangan kiri Tukang Jahit Sepatu, karena Mayor Ka juga mengetahuinya. Meskipun hanya dengan tangan kanan, Tukang Jahit Sepatu selalu menjahitku dengan tekun. Gunting, gunting, gunting. Jahit, jahit, jahit. Gigit, gigit, gigit; pukul, pukul, pukul.

Keterampilan Tukang Jahit Sepatu saat menjahit sepatu terlihat seperti pertunjukan sirkus yang meriah. Namun, kemeriahan itu tidak mengundang perhatian para manusia kerdil, pengunjung pasar. Mereka tidak akan mampir, dan memilih melintas begitu saja dengan wajah cemas.

Sepatu-sepatu para manusia kerdil yang sempat melintas, berbisik membicarakanku sambil sesekali melihat tubuhku dijahit oleh Tukang Jahit Sepatu. Namun, bisikan mereka tidak cukup berbisik, hingga aku bisa mendengar pantulan suara mereka di tanah. Mereka bilang: “Seharusnya, Tukang Jahit Sepatu menolak memermak tubuhnya lagi. Biarkan saja sepatu itu rusak. Ah, kasihan desa-desa itu, dan kota ini tidak sanggup lagi menanggung kutukan.”

Kata-kata mereka itu, menyakitkan. Rasanya seperti ada sebuah paku yang menusuk kulitku. Tapi, aku tidak ingin Mayor Ka tahu.  Aku hanya ingin menjadi sepatu yang membuat Mayor Ka senang. Sama seperti, ketika kaki Mayor Ka membawaku berjalan di atas air dengan nyanyian gembira.

Ah. Kali pertama aku melihatnya, Mayor Ka memiliki tubuh raksasa. Kedua kalinya, aku melihat perut Mayor Ka tersusun dari benteng gergasi. Ketiga kalinya, aku melihat bahu Mayor Ka kukuh seperti cakar naga. Berhari-hari kemudian, aku selalu tidak bisa melihat wajahnya saat aku terpasang di kakinya. Wajah Mayor Ka terlalu jauh dan selalu tertutup awan.

Setelah Penciptaku memilih kulit-kulit sapi terbaik dari pabrik penyamakan kulit, sebuah pisau kecil memotong kulit-kulit sapi terbaik sesuai garis yang diinginkan Penciptaku. Garis-garis yang tak terbayangkan panjangnya, bagi bayangan sepatu. Jika aku memaksa membayangkan garis-garis itu, mungkin akan sepanjang usia lautan. Penciptaku, menjahitku dengan kacamata yang berembun. Jari-jari Penciptaku masih mungil. Namun, Penciptaku sama sekali tidak kelihatan kesulitan mencubit kain, merapikan benang, dan menggerakkan jarum. Penciptaku, lalu membentuk sisi-sisi tubuhku dengan palu kerdil sampai terlihat seperti tubuh sepatu.

Pada malam hari, setelah Penciptaku membentuk tubuhku dengan sempurna, Penciptaku menemui Mayor Ka di tanah merah jambu, di antara dua hutan lebat. Dengan jari kelingking raksasanya, Mayor Ka menjabat tangan mungil Penciptaku sebagai tanda terima kasih. Lalu, mata Mayor Ka bersinar terang, hingga mengubah malam menjadi terik. Mayor Ka sulit sekali menyembunyikan senang dari wajahnya ketika mendekapku dalam pelukannya yang sangat luas. Ketika Mayor Ka mencium bau kulit yang menguap dari tubuhku untuk pertama kalinya, Mayor Ka mengulangi sekali lagi sampai membuat seluruh pohon hampir terisap ke dalam hidungnya. Kaki kanannya lekas lebih dulu dimasukkan ke tubuhku. Muat juga untuk kaki kirinya. Aku lega. Mayor Ka lalu menepuk pundak Penciptaku dengan sangat senang, hingga membuat badan Penciptaku terkubur ke dalam tanah.

Malam itu penuh nyanyian gembira yang terdengar hingga ke bulan, Mayor Ka membawaku ke sebuah desa dengan sebatang pohon terbakar di tangannya. Pohon itu dicabut Mayor Ka di pinggir jalan hanya dengan satu tangan, dan dibakarnya menggunakan embusan napas. Mayor Ka berkeliling dari satu jalan sepi ke jalan yang dipenuhi manusia-manusia kerdil yang berlari menghindari kaki-kaki raksasa Mayor Ka.

Di dalam desa, Mayor Ka mengunjungi rumah-rumah sambil memindahkan kobaran api dari batang pohon di tangannya. Setiap rumah itu memajang bendera merah di pagar. Merah dan api, bagi pikiran sepatu, merupakan permainan cocok-cocokan. Ketika Mayor Ka membakar rumah-rumah, aku ikut senang, karena aku juga suka bermain cocok-cocokan.

Namun, di sudut-sudut rumah itu; lantai, rak sepatu, dan lemari kayu, sama sekali tidak terlihat sepasang sepatu. Hanya ada sepasang sandal kulit yang merupakan aroma lumpur. Rumah yang tidak punya sepatu, lebih baik tidak perlu menjadi rumah, atau diakhiri saja menggunakan api.

Saat Mayor Ka berjinjit-jinjit mengelilingi desa dengan nyanyian gembira, seluruh bagian desa sudah menjadi jelajahan api. Hanya ada beberapa rumah yang tidak terbakar; rumah yang tidak punya bendera merah dan punya sepasang sepatu. Dalam permainan yang berlangsung sepanjang malam itu, aku suka merasakan kegirangan wajah Mayor Ka yang bergetar hingga ke dalam tubuhku. Aku juga suka mendengar nyanyian gembira Mayor Ka, dan rumah-rumah yang tertelan kobaran api.

Setelah Penciptaku menciptakan tubuhku, sebenarnya aku hanya ingin menjadi sepasang sepatu biasa, sama seperti sepatu biasa lainnya. Namun, kaki-kaki Mayor Ka menjadikan aku sebagai salah satu sepatu ajaib. Mayor Ka rupanya juga bisa berjalan di atas air.

Setelah seluruh desa terbakar, Mayor Ka kembali bermain kejar-kejaran dengan manusia kerdil dari desa yang lolos dari kobaran api. Satu persatu manusia kerdil itu terinjak, dan satu persatu manusia kerdil itu dikumpulkan Mayor Ka ke dalam sumur yang luas dan dalam. Saat itulah Mayor Ka membawaku berjalan di atas air merah yang meluap dari sumur. Awalnya aku berpikir; adalah kenangan yang buruk, jika aku mengawali hari pertamaku bekerja, dengan menjadi sepatu yang basah kuyup. Aku adalah benda yang diciptakan untuk berjalan di daratan, bukan di atas air. Setidaknya, begitulah aturan dasar bagi semua sepatu. Namun, saat Mayor Ka melangkahkan kakinya di atas air merah, Mayor Ka benar-benar berjalan di atas air; berjalan dari satu ujung sumur ke ujung lainnya. Sebagai sepatu, aku sendiri tidak paham. Seharusnya aku tenggelam ke dalam sumur dan berlumuran air merah. Rupanya, aku berhasil berjalan di atas air, meskipun aromanya sungguh amis. Sejak saat itu aku menjadi sepatu ajaib Mayor Ka.

***

Editor: Ghufroni An’ars

Nurhalis M
Nurhalis M Ketua kelas Institut Sastra Makassar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email