Tokoh Totto-chan dalam novel ini adalah diri penulisnya sendiri, yaitu Tetsuko Kuronayagi. Dengan mata yang polos, antusias dan peduli, Totto-chan merajut kenangan masa kecilnya secara ritmis dan menggugah benak pembaca agar bercermin pada masa lalunya. Saya seperti diajak tamasya empat dimensi ke zaman perang dunia kedua pecah di Jepang. Namun, menariknya, tamasya itu tidak berlatar suasana yang kebak darah, desing peluru, kelabu mesiu, hal-hal tragis, keseriusan, dan ketegangan geopolitik.
Kunjungan imajiner itu mengajak anak kecil dalam diri saya untuk melihat sebuah sekolah aneh bernama Tomoe Gakuen—lengkap beserta sistem, bangunannya yang bekas gerbong kereta, murid-muridnya uniknya, dan kepala sekolahnya yang tak terkatakan. Terbitlah rasa iri dalam diri saya sembari membatin, andai saja di masa kecil, saya menjalani pendidikan seperti ini.
Dalam buku ini, selain tingkah dan pandangan lugu Totto-chan, sekolah Tomoe Gakuen menjadi magnet cerita yang kuat. Adalah Sosaku Kobayashi yang menjadikan keseharian di Tomoe Gakuen begitu menyentuh. Sosok pria tua yang jadi kepala sekolah ini memiliki kecintaan yang tulus, penerimaan yang luas, dan dedikasi penuh pada pendidikan anak-anak.
Baginya, pendidikan untuk anak adalah upaya menjaga keriangan mereka. Tugas mulia seorang pendidik adalah menerima puspawarna karakter di diri setiap siswa. Tidak peduli bentuk tubuh, watak, jenis kelamin, maupun mereka yang berkebutuhan khusus. Melihat figur Sosaku ini, tampak sekali bahwa guru perlu menjaga nyala jiwa kanak-kanak pada siswanya. Yakni antusiasme, kesenangan, dan kebebasan untuk mencoba sesuatu yang baru dan mereka minati.
Ironisnya, sejak jaman baheula kita menjumpai banyak pendidik yang tidak memiliki penerimaan selapang Sosaku Kobayashi. Para siswa dipaksakan untuk mengikuti sesuatu yang tidak mereka sukai. Kurikulum dari pemerintah pun sering kali hanya main menjejalkan sesuatu yang sangat mungkin tidak menyenangkan dan jauh dari kehidupan asli mereka.
Bahkan, dalam hal tertentu di setiap sekolah, jika ada anak kecil yang terlalu aktif, tidak menyimak dan sulit dikondisikan, seketika stempel “nakal” atau “bodoh” akan terpatri di dahi mereka. Padahal tidak semua anak yang sulit diatur adalah anak yang bodoh. Mereka hanya punya ketertarikan pada hal lain. Dan mirisnya, ketertarikan pada hal lain itu pun terbunuh secara sistemik sejak kanak-kanak, sehingga mereka tidak lagi mendapat ruang untuk tumbuh.
Meski sudah banyak yang sadar bahwa setiap anak memiliki keunikan dan kecerdasan yang berbeda-beda, namun pendidikan anak masih saja jalan di tempat. Tidak mewadahi multipotensi yang ada. Jangan kaget kalau ada jiwa pengukir, seniman, atau petani anggrek yang mati, calon jenius musik yang gagal tumbuh, profesor bidang cacing yang stunting dan aneka cikal bakal kegemilangan di masa depan yang tewas di diri anak-anak kita.
Jika pendidikan anak masih juga tidak beranjak, inilah yang membuat Kepsek Tomoe khawatir akan tumbuh generasi yang punya mata, tapi tidak melihat keindahan; punya telinga, tapi tidak mendengar musik; punya pikiran, tapi tak memahami kebenaran; punya hati tapi tak tergerak.
Maka dalam urusan mendidik, kepala sekolah Tomoe itu pernah berucap, “Serahkan mereka pada alam. Jangan patahkan ambisi mereka. Cita-cita mereka lebih tinggi daripada cita-cita kalian.”
Mengintip Masa Depan dari Masa Lalu
Sosaku Kobayashi adalah sosok nyata. Kelahiran 18 Juni 1893 di desa barat laut Tokyo. Ia sezaman dengan tokoh nasional dan tokoh dunia di tengah pergolakan perang masa itu. Ia cuma beda 4 tahun dengan Ki Hadjar Dewantara (1889-1959), yang sering disebut bapak pendidikan kita—yang bahkan tak ada satupun nama jalan dengan namanya di tanah kelahirannya sendiri.
Agar konteks luas lebih dapat kita tangkap, Sosaku Kobayashi, dengan begitu, sezaman dengan H.O.S Tjokroaminoto, H. Agus Salim, Rabindranath Tagore dan Maria Montessori. Kesemuanya memiliki titik temu yang sama: kepedulian terhadap dunia pendidikan, terutama generasi baru.
Bisa kita petakan, di zaman peperangan terjadi, muncul inisiatif-inisiatif sipil yang brilian. Gerakan sosial maupun pendidikan. Mulai dari Rumah Peneleh-nya Tjokroaminoto, Taman Siswa-nya Ki Hadjar, hingga Shantiniketan-nya Tagore, berjalan seiringan dengan Tomoe Gakuen milik Sosaku Kobayashi. Sekalipun berada di teritorial geografis yang berbeda, mereka memiliki frekuensi yang sama: menyediakan ruang pembelajaran yang menyenangkan untuk generasi mendatang.
Pertanyaannya: apakah saat ini semua itu tercapai? Jikapun sudah mampu memerdekakan, tapi potret realita terkini bagaimana? Model pendidikan seperti apa yang kita tanam dan siapkan untuk anak-anak kita? Terutama sekarang, tantangan dan semangat zaman sungguh berbeda sejak revolusi kembar (teknologi informasi-komunikasi & rekayasa biogenetik). Apa yang akan kita wariskan dalam sistem pendidikan?
Pembelajaran dan Metodenya
Di luar semua itu, buku Totto-chan juga menawarkan sejumlah potret detail mengenai cara belajar yang menyenangkan, sekaligus metode mengajar yang ramah anak. Contoh kecilnya, pelajaran menggambar dengan kapur dan lantai kayu sebagai kertasnya. Berenang telanjang bersama-sama semua siswa, baik yang cacat maupun yang normal, agar mereka merasa biasa—yang cacat tidak minder, yang tidak cacat tidak superior atau heran dengan yang cacat. Dan masih banyak tamsil rinci di dalamnya.
Sementara satu sisi metode mengajarnya saya rasa cukup applicable. Misalnya penggunaan euritmik, mengajar musik, sembari menari sesuai irama, dan diiringi lagu/hafalan lirik tertentu. Ini juga melatih konsentrasi. Kemudian berbasis riset dan belajar langsung ke ahlinya: berkebun bareng petani, menanam, memahami tanah, musim, dan hama.
Agaknya hal ini tentu sejalan dengan semangat Ki Hadjar Dewantara, bahwa semua orang adalah guru sekaligus murid. Saling belajar adalah intinya. Dan kata “taman” pada Taman Siswa, menegaskan bahwa pendidikan yang baik adalah yang menyenangkan. Bukan malah membebani dan menimbulkan stres, hingga fobia belajar.
Nilai lainnya yang bisa kita ambil dari pendidikan di Tomoe Gakuen ini, antara lain: metode penerimaan siswa melalui wawancara personal dengan siswanya, menularkan minat baca dengan perpustakaan unik, menerima siswa tanpa pandang bulu, bahkan mereka dibebaskan memilih mata pelajaran apa yang akan dimulai hari itu.
Saat makan siang pun, siswa diberi kesempatan untuk berdiri dan bercerita apa pun di hadapan teman-temannya. Ini akan membangun rasa percaya diri sekaligus berlatih public speaking tanpa minder. Tentu saja ini tidak akan mudah diterapkan di sekolah negeri, mengingat hantu “kurikulum nasional” kerap jadi hambatan.
Soal Kenangan
Di Indonesia sendiri, aslinya sudah ada beberapa sekolah alternatif semacam Tomoe Gakuen ini. Saya sendiri di Yogya tahu ada Sanggar Anak Alam (Salam) dan Sekolah Gajah Wong yang sangat aktif, unik, dan humanis memperlakukan siswanya. Di sayap berbeda, ada juga Sokola Rimba yang oleh Mbak Butet Manurung diperhatikan penuh cinta kasih. Sekali waktu, saya kerap membayangkan jadi bagian dari mereka, entah sebagai siswanya atau mungkin fasilitatornya.
Hal itu membuat saya semakin greget. Cemburu. Kalau kata Seno Gumira Ajidarma saat mengomentari buku Wali Berandal Tanah Jawa, perasaan saya mungkin envy, yaitu iri yang positif. Ingin ikut mencoba dan menirunya. Di samping itu, saya jadi berefleksi: Totto-chan setua itu masih mengenang banyak hal di sekolah masa kecilnya. Sementara saya, yang saya kenang, tentu hanya waktu yang menyenangkan saja, bukan momen belajarnya.
Nah, inilah uniknya cara kerja otak manusia. Ya, kita hanya mengenang yang bahagia saja. Totto-chan mengenang rinci aktivitas sekolahnya karena memang menyenangkan. Sementara saya, yang saya kenang ya lari kabur, bolos ketahuan, dijedutkan kepala saya dengan teman karena main bola di kelas, atau mengubur buah sawo curian di sekolah. Sebab momen itulah yang membahagiakan bagi saya. Tidak saat di bangku mendengar pelajaran.
3 Hal: Sebuah Refleksi
Dulu saya pernah mendengar dari almarhum Prof. Budi Darma tentang 3 pencapaian manusia menurut Jacob Bronowski—seorang matematikawan andal yang gemar menulis puisi dan teman Jonas Salk penemu vaksin polio.
Sepanjang sejarah ini, ada tiga pencapaian puncak manusia. Pertama, invention, penemuan sebagaimana Edison dengan bohlam, Watt dengan mesin uapnya. Kedua, discovery, penyingkapan, seperti spesies baru atau penjelajahan benua.
Nah keduanya ini akan masih bisa digantikan oleh orang lain. Jikapun Thomas Alpha Edison tidak lahir atau mati muda, suatu waktu pasti akan ada yang menemukan bola lampu, karena unsur semesta mendukung dan manusia butuh itu. Juga yang kedua, andaikata Joseph Arnold dan Stamfort Raffles tidak menemukan bunga terbesar itu, pasti akan ada orang lain yang menemukan dan menamainya.
Tapi tidak dengan yang ketiga, yaitu creativity. Tidak mungkin akan lahir Matsnawi kalau tidak dari tangan Rumi. Mustahil lahir lukisan Guernica kalau tidak lahir Pablo Picasso. Tidak akan lahir Angin Pujaan Hujan kalau tidak via Mas Is dan Payung Teduh. Jenis ketiga inilah yang tidak tergantikan, yaitu kreativitas. Sebab ia mengandung hal yang paling intim, subtil, dan bergolak, yaitu subjektivitas. Dan buku Totto-chan ini tidak akan pernah ada, kalau tidak ditulis oleh Tetsuko Kuronayagi, si Totto-chan itu sendiri.
***
Editor: Ghufroni An’ars