Band Sukatani akhirnya buka suara tentang intimidasi yang mereka terima sejak Juli 2024. Video permintaan maaf yang beredar luas itu dilakukan karena tekanan yang mereka terima. Institusi besar seperti Kepolisian Republik Indonesia (Polri) rupanya terusik dengan lagu berjudul Bayar Bayar Bayar dari Band beraliran punk asal Purbalingga Jawa Tengah itu. Tak hanya oleh lagu, kekuasaan yang dominan juga terusik dengan lukisan. Pada Desember 2024, tujuh lukisan karya Yos Suprapto tiba-tiba diturunkan dari Galeri Nasional. Pembredelan juga terjadi pada lukisan Tikus dalam Garuda karya Rokhyat di Banjarmasin.
Baca juga:
Mengapa sebuah lagu, juga lukisan, mural, karya sastra, pertunjukan dan bentuk seni lainnya bisa begitu bertenaga sekaligus mengusik pihak yang berkuasa?
Lepas dari berbagai pemaknaan tentang seni, sebagai produk budaya seni menjadi medium komunikasi yang dapat melibatkan emosi dan mampu menggugah rasa. Bentuknya yang unik, tak beraturan dan ambigu serta kadang memperlihatkan kejutan-kejutan.
Karya seni tak lahir di ruang hampa. Sebaliknya karya seni mampu merekam kondisi dan penanda zaman. Dalam catatan sejarah bangsa–yang tidak mampu diingat banyak orang, pemberedelan begitu masif dilakukan di masa Orde Baru. Tak sekali Teater Koma gagal pentas karena tidak mendapat izin pemerintah kala itu. Ada pula novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer yang dilarang beredar. Selain kesenian, beberapa media massa juga tak luput dari pembredelan.
Daya kritik dalam karya seni bisa menjadi alasan kekuasaan melakukan pembungkaman. Karya seni bisa menjadi jalan lain saat semua buntu. Ia memperlihatkan jalan baru saat kebenaran terpinggirkan oleh pengetahuan arus utama.
Kritik melalui seni dalam lintasan sejarah
Bagaimana seni sebagai media kritik dapat disimak dalam Lettres Persannes (surat-surat Persia). Sebuah karya sastra yang ditulis Montesquieu di zaman Renaisans yang berupa kritik terhadap penguasa dan sengaja ditulis dalam bahasa eufemisme atau implisit agar tidak dibredel. Pada abad ke-20 ada aliran seni dadaisme yang muncul sebagai reaksi atas terjadinya kejahatan Perang Dunia I. Dadaisme adalah seni revolusioner yang menolak cara-cara tradisional dalam menghasilkan seni. Dadaisme lalu menginspirasi lahirnya gerakan-gerakan besar seperti surealisme dan punk rock.
Perlawanan melalui sastra juga sudah muncul di zaman kolonial Belanda. Saat itu seorang jurnalis dan sastrawan bernama Mas Marco Kartodikromo mengkritik kuasa bahasa yang distandarisasi oleh Balai Pustaka. Kritikannya ditulis dalam novel student hidjo. Lalu pada zaman pendudukan Jepang, ada Amal Hamzah adik dari Amir Hamzah yang melawan dengan menulis sastra dengan menggunakan dialek pasar yang tidak disukai Jepang.
Baca juga:
Bentuk kritik lainnya ada di sudut-sudut Kota London melalui grafiti karya Bansky. Kritikannya tentang kondisi sosial yang timpang, perang dan juga pola hidup konsumtif terekam di tembok-tembok yang dingin. Di Meksiko, ada mural Diego Rivera yang meski tampak menggunakan banyak warna namun menggambarkan perjuangan pekerja dan ketidakadilan sosial yang sungguh muram.
Antara Alat Kritik dan Alat Kekuasaan
Seni ternyata tidak hanya menjadi alat kritik, tetapi juga bisa menjadi alat kekuasaan. Orde Baru pernah menggunakan film dan karya sastra untuk memperkuat hegemoni kekuasaan dan mengotrol pengetahuan. Seni dan sastra ini digunakan untuk melegitimai kekerasan pasca 1965, contohnya ada dalam film pengkhiantan G 30 S PKI dan karya sastra yaitu cerita pendek perempuan dan anak-anaknya karya Gerson Poyk (Wijaya Herlambang, 2013). Penggambaran dalam cerpen perempuan dan anak-anaknya seolah-olah melegitimasi kekerasan terhadap orang-orang yang dicap komunis.
Orde Baru memang berhasil menanamkan ketakutan terhadap komunis. Ketakutan akan bangkitnya komunis terlihat saat tumbangnya rezim Orde Baru yang dianggap sebagai penjaga dari komunisme. Setiap rezim kekuasaan memang berusaha melakukan kontrol terhadap pengetahuan dalam berbagai cara.
Tampaknya, di era digital ini kekuasaan menggunakan influencer untuk mendukung narasi kekuasannya. Tak heran jika pemerintah menggelontorkan dana yang fantastis untuk membayar para influencer. Ada pula band besar yang menulis lagu untuk mencitrakan institusi Polri sebagai pengayom yang baik hatinya. Barangkali ini juga termasuk dalam kontrol pengetahuan.
Mereka yang Melawan
Lagu Bayar Bayar Bayar dari band Sukatani, lalu lukisan karya Yos Suprapto serta lukisan tikus dalam garuda karya Rokhyat, jika memakai istilah lama, memang telah menjadi kerikil kecil dalam sepatu penguasa. Tak terlalu besar tapi cukup mengganggu.
Lagu Bayar Bayar Bayar bahkan seperti menemukan momentumnya. Kemunculan mereka ke hadapan publik dengan meminta maaf kepada Polri, tanpa embel-embel pakaian panggung, justru mendapat simpati publik yang luas.
Tak selang berapa lama, gelombang aksi Indonesia Gelap terjadi di berbagai daerah. Lagu Bayar Bayar Bayar justru semakin lantang dinyanyikan oleh peserta aksi. Dukungan terhadap band Sukatani juga menggema di media sosial. Tawaran menjadi duta Polri ditolak tegas oleh band yang vokalisnya dipecat secara sepihak di tempatnya mengajar.
Lalu bagaimana dengan pelukis Yos Suprapto? Setelah batal memamerkan lukisan-lukisannya di Galeri Nasional, ia mendapat tawaran untuk memamerkan karyanya di Korea Selatan dan Belanda. Lain lagi dengan tikus dalam garuda, jika kebetulan anda mendapati di media sosial, lukisan itu kini diiringi sebuah lagu. Konon, liriknya bisa bikin panas kuping pihak tertentu. Dan begitulah karya seni, selalu bergerak dalam arus kekuasaan, tak tertebak. (*)
Editor: Kukuh Basuki
