Semua mengenal Ketua Asosiasi Perempuan itu. Setidaknya di Kota X. Dari Barat ke Timur, Utara ke Selatan. Dari setapak demi setapak yang dijejaki perempuan-perempuan pekerja sawah, hingga ke rumah-rumah bordil berkedok kedai kopi di pinggiran kota.
Banyak perempuan memuja Ketua Asosiasi Perempuan bak seorang Dewi Yunani yang memegang kendali atas roh-roh mereka. Seolah-olah mereka hidup darinya. Sesungguhnya tidak semua perempuan-perempuan itu mengenalnya secara khusus, seperti melalui tatap muka dan perbincangan akrab. Sebagian hanya mengenalnya lewat surat kabar lokal dan media sosial. Ketua Asosiasi Perempuan itu sering diberitakan karena mendukung kebijakan pemberdayaan perempuan di bidang sosial dan politik. Dia juga suka berdonasi. Uangnya mengalir ke lorong-lorong rumah sakit untuk pasien anak-anak dan perempuan dengan penyakit menular.
Begitulah mereka mengenal Ketua Asosiasi Perempuan itu. Mereka sesungguhnya tidak betul-betul paham, mereka hanya sedikit tahu.
***
Kota X dikejutkan berita keterlibatan seorang politikus muda atas kasus tindakan asusila. Warga mendorong Ketua Asosiasi Perempuan turun tangan. Para perempuan turun ke jalan. Nama Ketua Asosiasi Perempuan disebutkan berkali-kali.
“Ketua Asosiasi Perempuan harus membela perempuan miskin yang diperlakukan semena-mena oleh laki-laki kotor yang kaya dan berkuasa.”
Mungkin saja, hal itu bukan tuntutan, melainkan sebuah keyakinan yang membuncah di dada para pengunjuk rasa. Seringkali, gagasan-gagasan seseorang tentang idolanya adalah kamuflase dari harapan-harapan mereka. Contohlah perempuan yang terus berada di rumah menghabiskan waktu dengan urusan domestiknya. Ketika dia butuh pelarian dari kepenatan, maka dibacanya artikel-artikel tentang perempuan sukses dengan tampilan mewah menawan. Senyum perempuan sempurna itu diartikan keramahan, ungkapan-ungkapan tertulis mereka diartikan sebagai kebaikan hati. Itu keyakinan. Tak perlulah mereka saling kenal dan saling intip kehidupan pribadi.
Begitulah yang sedang terjadi. Para perempuan yakin tak lama lagi Ketua Asosiasi akan bertindak, memanfaatkan suaranya yang tegas untuk memperjuangkan keresahan korban pelecehan sang politikus. Roda kehidupan di Kota X memang sering tak berpihak pada kaum rentan. Mereka hanya bisa menunggu bala bantuan dari sosok terkenal yang diharap memberi perhatian. Akan tetapi, hari berjalan riuh hanya di sekeliling korban dan para pemuja Ketua Asosiasi Perempuan yang sedang berharap. Sementara kehidupan sang Ketua berjalan senyap. Dan, dilambungkanlah lagi berbagai keyakinan.
“Ah, pasti dia sedang menyimpan strategi.”
“Dia tidak ingin bertindak gegabah. Kita tunggu saja.”
“Kebijaksanaan menuntunnya untuk berpikir jernih sebelum bertindak.”
***
Gadis muda Y merasakan dingin di sekujur tubuhnya. Kedua tangan gadis muda itu mencengkeram sisi tempat tidur. Sesekali kaki-kakinya menendang-nendang bergantian. Dia tidak mau seorang pun mendekatinya. Bahkan saat ibunya membujuk bahwa yang akan datang berkunjung adalah Nyonya Ketua Asosiasi Perempuan.
Ketua Asosiasi Perempuan meletakkan sekeranjang buah dan sebuah buket bunga di atas meja kayu di kediaman Keluarga Y. Sebelum duduk, dia menoleh ke kanan kiri, memastikan bahwa di sekelilingnya aman dari kuman atau kotoran. Gerakannya tetap anggun.
“Kami sekeluarga merasa terhormat karena Anda mau datang ke rumah kami yang sederhana.” Nyonya Y, ibu si gadis muda Y, mengusap air mata haru yang membasahi pipi keriputnya.
Ketua Asosiasi Perempuan mengangguk. “Apakah putrimu masih tidak ingin ditemui?”
Nyonya Y merasa malu dan berat hati karena putrinya menolak bertemu Ketua Asosiasi Perempuan yang terhormat. “Dia … dia masih merasa terpukul, Nyonya. Dia tidak bisa tidur dan tidak ingin makan.”
“Katakan kepadanya aku ingin menyuapi dia sepotong apel yang manis, sangat manis.”
“Tapi, Nyonya, dia ….”
Ketua Asosiasi Perempuan tersenyum. “Seharusnya kau bisa membujuknya. Dia butuh asupan gizi dari makanan lezat dan sedikit nasihat.”
“Nasihat, Nyonya? Nasihat seperti apa?” Ada kegetiran dalam pertanyaan Nyonya Y.
“Jangan tersinggung, aku rasa aku harus memberitahumu beberapa hal penting.”
Nyonya Y menerangkan pendengarannya kuat-kuat, petuah Ketua Asosiasi Perempuan perlu didengarkan dengan saksama. Ini keajaiban. Tidak setiap hari orang miskin seperti dirinya mendapat kunjungan dan nasihat dari orang seistimewa perempuan di hadapannya.
Sang ketua berdeham mempersiapkan nasihatnya yang langka. “Sebaiknya kau mendengarkan dulu penawaran Tuan Politikus. Dalam tekanan seperti saat ini, dia bisa saja menyerah dan menikahi putrimu. Tentu sebuah keberuntungan.”
Nyonya Y ragu. Apakah telinganya sudah beberapa pekan tidak dibersihkan? Apakah kemampuan bahasanya begitu rendah sehingga dia bisa salah mengartikan?
Perempuan tua itu mencondongkan tubuh ke arah Ketua Asosiasi Perempuan yang sekejap mata memundurkan kepalanya. Jijik? Entahlah. “Coba Anda ulangi lagi. Aku tidak begitu paham, aku mungkin salah dengar.”
“Begini, dengarkan baik-baik. Saat ini perempuan-perempuan muda banyak yang bercita-cita tinggi menikahi laki-laki dengan pekerjaan tetap yang baik. Apalagi di sini, di kota ini tak begitu banyak orang sukses.”
Nyonya Y bingung. Ketua Asosiasi Perempuan melanjutkan nasihatnya. “Menuntut Tuan Politikus hanya akan sia-sia, karena dia punya kekuatan di belakangnya. Apalagi posisi putrimu kurang kuat, dia tidak punya saksi yang melihat langsung.”
Perempuan itu lalu menghela napas. “Keluargamu akan membuang waktu. Baiknya dengarkan dulu penawarannya. Tuan Politikus mungkin hanya sedang khilaf.” Nyonya Y makin bingung.
“Oh, iya, mengenai keributan yang terjadi di jalanan, mereka akan berhenti dengan sendirinya. Akan aku tangani. Satu lagi, kalau saja Tuan Politikus tidak begitu berminat untuk menikahi putrimu, dia pasti bisa mengganti rugi dengan nilai yang bagus.”
Jantung Nyonya Y berdegup kencang. Dia terhenyak mendengar todongan penawaran Nyonya Ketua, tetapi juga penasaran.
“Apakah Anda sungguh Ketua Asosiasi Perempuan?”
***
Tuan Politikus melenggang mulus ke pemilihan senat berikutnya. Jika perlu, orang-orang akan menyambutnya dengan pengalungan bunga atau berdiri dengan sikap hormat. Keramahannya, senyum hangat, dan tutur kata santun membuat siapa saja kembali terlena. Dia baru turun dari mobil yang pintunya dibukakan petugas valet gedung senat saat telepon genggamnya berdering. Sebuah nama membuatnya sedikit terkejut hingga harus menepi dari keramaian.
“Apakah sudah kau amankan?” Tanya perempuan di seberang.
“Seperti petunjukmu.” Politikus bertubuh kerempeng itu mendorong pintu toilet umum dengan tergesa-gesa.
“Bagus. Mereka tidak akan mengganggumu lagi dan uangmu bisa mereka jadikan modal berusaha, setidaknya untuk hidup sehari-hari.”
“Terima kasih, Nyonya Ketua.”
“Berhati-hatilah di kemudian hari. Seperti pepatah lama, godaan bukanlah sebuah dosa, tetapi perangi itu saat menghalangi jalanmu.”
“Akan kuingat nasihatmu. Sekali lagi terima kasih, Nyonya Ketua.” Politikus muda itu mengakhiri pembicaraan dengan sopan kemudian kembali melangkah pasti menuju ruang-ruang umum tempat namanya akan kembali berkibar.
***
Kasus gadis muda Y dan Tuan Politikus ditutup dengan catatan “damai”. Tidak ada lagi orang-orang yang mengganggu kesenangannya. Tidak ada lagi gangguan jam tidur, jam makan, dan jam berdansa untuk Nyonya Ketua Asosiasi Perempuan.
Kini dia kembali berdansa dan mungkin tidak lama lagi muncul dalam konten-konten wawancara populer, ditonton semua perempuan dari Timur ke Barat, Selatan ke Utara. Dari layar ponsel para ibu rumah tangga hingga ke ponsel-ponsel milik para perempuan pegawai pemerintahan.
Baginya, tidak semua perempuan perlu diberdayakan hingga sekuat baja. Sebagian hanya perlu dimanjakan dengan narasi-narasi yang bagus. Bukankah dia seorang Ketua? Seorang Ketua membutuhkan sekelompok orang-orang tidak berdaya untuk menjadi anggota agar tetap menjadi Ketua. Begitulah hukum alam berjalan. Sang Ketua pun tetap dipuja. Pujaan bagi mereka yang sesungguhnya tidak mengenal siapa Ketua Asosiasi Perempuan. Mereka hanya sedikit tahu.
*****
Editor: Moch Aldy MA