Perokok Cilik
Masih kau ingat tamparan itu
Tangan lembut yang pertama kali memelukmu
Sepulang sekolah, dan kau masih bocah.
“Bukankah telah kusabdakan padamu
Jangan sekali-kali kau merokok,” hardik ibumu
Kau diam
Tamparan menerpa wajahmu
Kau diam
Sebuah candu membuncah dari nafsumu
Kau tatap ibumu dan berkata
“Maaf, bu, barangkali inilah pertama kali aku jatuh cinta pada sebuah benda.”
Ibumu mendengarnya, ia diam menunggu kalimat selanjutnya.
“Bukankah ayah merokok juga?” tanyamu
“Nak, kau perlu uang untuk membuat cintamu terus bekerja!”
Kau tak paham.
Masih kau ingat tanparan itu
Tangan lembut yang pertama kali mengusap air matamu
Di tepi trotoar kau pandangi lalu lalang pekerja
Puntung terjatuh tepat di depanmu.
–
Perempuan Pegunungan
Perempuan di pegunungan
Bara tembakau temani masa-masamu
Masa kecilmu:
Kau tertegun melihat nenekmu sendiri,
Apakah boleh tembakau begitu mesra
dengan kecupan perempuan?
Waktu berjalan maju
Dan asap tembakau perlahan
Mendekap tubuhmu
Masa remajamu:
Hujan mengombang-ambing suhu tubuhmu
Kekasihmu lebih memilih menghidupkan rokok
Daripada menyalakan hangat pelukanmu
Wangi tembakau meluncur perlahan ke ceruk hidungmu
Perlahan kau curi hangatnya
Masa tuamu:
Suamimu merantau ke negeri jauh
Tubuhmu kian jarang tersentuh
Dingin pegunungan menghadirkan masa kecilmu
Hanya rokok tembakau ini yang mampu membakar
Dingin rindu yang begitu mengakar,
Katamu
Sedang ujung bara semakin mendekat
Bagaikan waktu yang menunggu tenggat
–
Malam di Terminal
Maka ia hidupkan sebuah api
Di terminal sunyi 02.00 dini hari
Pria tua menghampirinya dan bertanya
Siapa yang anda tunggu?
Hanya waktu yang tahu, tapi ia memilih bungkam
Ia isap rokoknya sekali lagi
Ia isap rokoknya sekali lagi
Bara rokok menerangi wajahnya yang tabah menanti
Ping!
Notifikasi berdenting dari gawai
Terbaca di layar gawainya sebuah pesan singkat
Dari seseorang yang tak dinamai
“Segera bergegas selagi malam masih sunyi!”
Rokoknya mati
Maka ia hidupkan sebuah api
Di terminal sunyi 02.30 dini hari
Terlihat dari ujung
Sebuah bus melaju perlahan
Ia isap rokoknya terakhir kali
Sengaja ia letakkan puntung itu tetap di bangku tunggu
Bus datang
Ia bergegas, hilang.
Keesokan hari, seorang ibu datang
membopong seonggok rasa hilang di hatinya
Terlihat di bangku tunggu terminal itu
Putung rokok itu.
“Ini putung rokok anakku!”
Digenggamnya puntung itu
Berharap ia merasakan kata-
Kata yang disampaikan
Pada isapan terakhir sebelum kepergian
–
Sepotong Cerita 3 Puntung
Puntung 1:
(Tubuhnya belum habis sempurna).
Baraku lebih nyala dibanding purnama
Telah banyak puisi yang ditulis oleh tuanku
Tapi belum lagi tubuhku habis diisap
Aku telah dimatikan sekejap
Puntung 2:
(Sebagian gabus di tubuhnya hangus)
Masih kuingat bau mulut itu
Ketika istrinya menangis di depannya
Tuanku hanya diam.
Asapku menguarkan sendu
Puntung 3:
(Tubunya gepeng dan sedikit koyak)
Aku lupa peristiwa apa itu
Terakhir kali, baraku menjadi begitu merah
Barangkali tuanku sedang marah.
Mendadak suasana gaduh oleh teriak
Aku jatuh dan mati terinjak
Tubuhku berlumur bercak dan jejak.
*****
Editor: Moch Aldy MA