Alangkah indah langkah

Perokok Cilik dan Puisi Lainnya

Cangker Sholihuddin

1 min read

Perokok Cilik

Masih kau ingat tamparan itu
Tangan lembut yang pertama kali memelukmu

Sepulang sekolah, dan kau masih bocah.
“Bukankah telah kusabdakan padamu
Jangan sekali-kali kau merokok,” hardik ibumu
Kau diam
Tamparan menerpa wajahmu
Kau diam

Sebuah candu membuncah dari nafsumu
Kau tatap ibumu dan berkata
“Maaf, bu, barangkali inilah pertama kali aku jatuh cinta pada sebuah benda.”
Ibumu mendengarnya, ia diam menunggu kalimat selanjutnya.
“Bukankah ayah merokok juga?” tanyamu
“Nak, kau perlu uang untuk membuat cintamu terus bekerja!”
Kau tak paham.

Masih kau ingat tanparan itu
Tangan lembut yang pertama kali mengusap air matamu

Di tepi trotoar kau pandangi lalu lalang pekerja
Puntung terjatuh tepat di depanmu.

Perempuan Pegunungan

Perempuan di pegunungan
Bara tembakau temani masa-masamu

Masa kecilmu:
Kau tertegun melihat nenekmu sendiri,
Apakah boleh tembakau begitu mesra
dengan kecupan perempuan?

Waktu berjalan maju
Dan asap tembakau perlahan
Mendekap tubuhmu

Masa remajamu:
Hujan mengombang-ambing suhu tubuhmu
Kekasihmu lebih memilih menghidupkan rokok
Daripada menyalakan hangat pelukanmu

Wangi tembakau meluncur perlahan ke ceruk hidungmu
Perlahan kau curi hangatnya

Masa tuamu:
Suamimu merantau ke negeri jauh
Tubuhmu kian jarang tersentuh
Dingin pegunungan menghadirkan masa kecilmu
Hanya rokok tembakau ini yang mampu membakar
Dingin rindu yang begitu mengakar,
Katamu

Sedang ujung bara semakin mendekat
Bagaikan waktu yang menunggu tenggat

Malam di Terminal

Maka ia hidupkan sebuah api
Di terminal sunyi 02.00 dini hari

Pria tua menghampirinya dan bertanya
Siapa yang anda tunggu?
Hanya waktu yang tahu, tapi ia memilih bungkam

Ia isap rokoknya sekali lagi
Ia isap rokoknya sekali lagi
Bara rokok menerangi wajahnya yang tabah menanti

Ping!
Notifikasi berdenting dari gawai
Terbaca di layar gawainya sebuah pesan singkat
Dari seseorang yang tak dinamai
“Segera bergegas selagi malam masih sunyi!”

Rokoknya mati
Maka ia hidupkan sebuah api
Di terminal sunyi 02.30 dini hari

Terlihat dari ujung
Sebuah bus melaju perlahan
Ia isap rokoknya terakhir kali
Sengaja ia letakkan puntung itu tetap di bangku tunggu

Bus datang
Ia bergegas, hilang.

Keesokan hari, seorang ibu datang
membopong seonggok rasa hilang di hatinya
Terlihat di bangku tunggu terminal itu
Putung rokok itu.
“Ini putung rokok anakku!”

Digenggamnya puntung itu
Berharap ia merasakan kata-
Kata yang disampaikan
Pada isapan terakhir sebelum kepergian

Sepotong Cerita 3 Puntung

Puntung 1:
(Tubuhnya belum habis sempurna).
Baraku lebih nyala dibanding purnama
Telah banyak puisi yang ditulis oleh tuanku
Tapi belum lagi tubuhku habis diisap
Aku telah dimatikan sekejap

Puntung 2:
(Sebagian gabus di tubuhnya hangus)
Masih kuingat bau mulut itu
Ketika istrinya menangis di depannya
Tuanku hanya diam.
Asapku menguarkan sendu

Puntung 3:
(Tubunya gepeng dan sedikit koyak)
Aku lupa peristiwa apa itu
Terakhir kali, baraku menjadi begitu merah
Barangkali tuanku sedang marah.
Mendadak suasana gaduh oleh teriak
Aku jatuh dan mati terinjak
Tubuhku berlumur bercak dan jejak.

*****

Editor: Moch Aldy MA

Cangker Sholihuddin
Cangker Sholihuddin Alangkah indah langkah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email