Dinding itu dipenuhi lukisan wajah orang gemuk. Sebagian kanvas diletakkan di lantai karena semua sisi dinding telah terlalu sesak. Di atas pintu, ada jam dinding plastik murah warna merah yang kelebihan sekitar 10 menit dari waktu semestinya. Ruangan itu adalah bagian dari rumah kos yang dihuni Mustopo, di Jalan Bumi Manti. Tempat yang tak pernah jadi tempat impiannya, dan dia tak perlu menetap di sana, seandainya ia bertahan dengan pekerjaan kantornya yang memuakkan tapi uangnya lumayan.
Jika empat tahun lalu ia cukup bijak mengambil keputusan, barangkali bukan udara sumpek dan warna hijau terang yang Mustopo hadapi saban pagi. Mungkin ia sudah menikah dengan Marlena yang lebih realistis memandang hidup—yang berkali mengingatkan Mustopo untuk bertahan sebagai karyawan dan menabungkan uang gaji untuk membangun pernikahan. Tentu saja pernikahan jauh lebih ideal di mata Marlena, dibanding mengikuti panggilan jiwa untuk melukis potret orang gemuk setiap hari dan tetap tak menghasilkan apa-apa selain kepuasan pribadi yang juga fana.
Meski miskin, Mustopo selalu menyisakan uangnya yang sedikit untuk membeli kuota. Ia merasa bisa banyak makan makanan rohani dari video motivasi hidup dan filsafat praktis. Dan tentu saja sesekali untuk membuka porno sebagai kawan rancapnya. Budi, tetangganya yang masih mahasiswa, pernah bilang pada Mustopo untuk jangan keseringan merancap karena bisa bikin sel otak jadi mati. Tetapi bagi Mustopo yang sudah pernah hidup mapan berkecukupan, sebelum melarat atas kehendaknya sendiri, kematian bukan lagi hantu yang mengerikan baginya. Hidup yang rutin dalam ruang kerja yang dingin, dan pekerjaan yang menyita waktunya dari pagi ke pagi lagi, jauh lebih mengerikan dibanding kematian bagi Mustopo. Orang yang telah dianggap tak punya harapan, memang tak lagi menyimpan ketakutan. Sampai pada tahap bisa merelakan kehidupan yang mapan itu saja orang banyak mengira Mustopo ada gangguan kejiwaan atau setidaknya ada satu dua baut yang kendur di kepalanya yang peyang itu. Alih-alih menyangkal stigma tersebut, Mustopo memilih mengenakannya seperti jubah lusuh paling nyaman untuk pergi jalan-jalan keliling taman.
Ada yang bilang Mustopo akan mati muda, seperti seniman miskin kebanyakan. Salah satu yang paling benci kehidupan yang dijalani Mustopo adalah Wak Kadir, pemilik kos-kosan tempat Mustopo tinggal. Istrinya seorang kepala sekolah, dan mereka sering ribut, sepertinya karena Wak Kadir lebih milih menjaga rumah kos warisan orangtuanya itu dibanding kembali kerja sebagai guru honorer yang gajinya rapelan.
Wak Kadir yang selalu menuliskan nama lengkap beserta gelar M.Pd.-nya di profil Whatsapp itu sudah menyerah membujuk Mustopo untuk mikir dan mentas. Mustopo bukannya tak mau berpikir untuk hidup normal, tetapi yang bagi Wak Kadir normal adalah suatu kepura-puraan yang melelahkan bagi Mustopo. Tergesa-gesa saban pagi, memasang senyum kepada atasan yang kerjanya marah-marah setiap waktu, bertungkus lumus dalam pekerjaan yang konstan seperti mesin, dan menikmati masa tua di perumahan subsidi yang baru lunas beberapa tahun sebelum pensiun, itu pun kalau beruntung. Kalau takdir berkata lain, seorang karyawan bisa mati kapan saja karena kebanyakan gula atau kebanyakan duduk atau kebanyakan berpikir yang mesin-mesin. Pokoknya risiko jadi karyawan juga tak kalah besar dibanding jadi seniman miskin. Begitu pikir Mustopo.
Lain dari Wak Kadir, Budi punya pandangan lain terhadap Mustopo. Budi yang bapak dan ibunya aparatur sipil negara polpolan itu kerap berpikir bahwa menjalani hidup ala Mustopo tak sepenuhnya salah.
“Jadi aparat juga gak sepenuhnya pilihan yang benar, kok,” kata Budi suatu kali kepada Mustopo. “Bapak ibuku mungkin bisa tenang soal uang makan dan uang sekolah anak, tapi mereka kehilangan momen dan waktu untuk bisa kumpul sama keluarga. Bayangkan di hari Minggu, mereka masih harus mengurus ini itu di kantor yang malamnya mereka pisuhi dengan semangat, seperti seorang pemuka agama sedang menjelaskan sifat-sifat buruk setan. Dan aku lebih banyak menyimpan momen bersama Mbah ketimbang dengan Bapak dan Ibuk yang pulang hanya untuk misuh itu.”
“Itulah bedanya,” jawab Mustopo singkat, sembari mengembuskan asap dari lubang hidungnya yang besar-besar.
“Maksute, Mas Mus?” tanya Budi.
“Beda antara manusia dan masyarakat, Bud. Aku cuma manusia biasa, sementara orang-orang termasuk Wak Kadir menginginkan aku jadi bagian dari masyarakat yang ideal dan kelihatannya sempurna. Kan itu seperti mengharapkan sesuatu yang muluk-muluk, Bud. Bahkan mustahil.”
Mustopo agak kesal lama-lama dengan Wak Kadir. Kalau bukan karena ia masih dibolehkan tinggal di kosan itu meski sering nunggak, Mustopo punya rencana meracuni orang Madura itu diam-diam. “Padahal dia yang master pendidikan saja malah memilih jadi juragan kos-kosan. Kenapa malah ngurusi hidupku?”
Budi jadi cekikikan mendengar keluhan Mustopo. Karena baginya Wak Kadir dan Mustopo adalah dua orang yang sama-sama menanggung kutukan. Mungkin itulah mengapa mereka saling membenci, pikir Budi. Wak Kadir dikutuk dengan gelar akademis yang malahan terasa jadi beban dibanding kebanggaan, sementara Mustopo dikutuk dengan bakat yang sia-sia. Dan keduanya saling menuntut satu sama lain agar bisa keluar dari kutukan yang menjerat masing-masing.
Sambil lalu Budi bilang, “coba sesekali Mas Mus gambarnya orang kurus. Mungkin lebih laku dibanding lukisan orang gemuk. Ha ha!”
“Kalau kurus, jadinya bukan aku, Bud.”
Budi pun melirik tubuh kurus Mustopo dari atas ke bawah, sebelum mengira tentangga kosnya itu sudah benar-benar gila untuk mengira dirinya gemuk.
“Aku ini gemuk, tapi di dalam,” kata Mustopo. “Lukisanku itu… itulah caraku melihat diriku sendiri. Gemuk dan bahagia. Ha ha! Terserah kamu atau orang Madura itu mau bilang apa.”
Selanjutnya hanya hening. Budi pamit ke kamarnya sendiri, setelah dia pikir hari sudah cukup larut untuk membicarakan hal yang logika dengan seorang Mustopo.
Mustopo menutup pintu kamarnya setelah Budi pamit untuk kembali mengerjakan skripsi. Samar-samar terdengar suara kucing cari makan di tong sampah depan rumah, dan sesekali suara bentakan Bu Kadir yang dibalas entah oleh lirih suara kucing atau itu suara Wak Kadir, keduanya terdengar tak beda jauh di telinga Mustopo. Sembari memandang orang gemuk di cermin lemari kamarnya, Mustopo mengambil kuas, mencelupkannya ke wewarna di palet, dan kembali dalam tragedinya sendiri.
*****
Editor: Moch Aldy MA