Selayaknya déjà vu, pelbagai sesuatu yang membingungkan itu kembali lagi memenuhi ruang kosong dalam rongga jantung hatimu—memunculkan sewujud pengetahuan internal yang ambigu. Perlahan dan pasti sesuatu itu merambat ke sumsum tulang belakangmu, lalu menguar melewati sekujur permukaan kulitmu, untuk selanjutnya kejar-mengejar, sambut-menyambut, ikut-mengikut, menjadi perang internal dalam batinmu, dan kemudian berakhir memberikan sensasi rasa sejuk yang intim dan familiar.
Cuaca di luar agak mendung dan warung kopi yang baru pertama kali kau datangi ini tidak terlalu ramai pengunjung. Hanya ada beberapa orang hitungan jari di meja depan dan sepertinya sepasang kekasih di sudut kanan ruangan, sedangkan yang paling berisik dan sempat membuatmu terganggu—kumpulan bocah berseragam sekolah menengah di sudut lain tengah mengobrol dengan volume suara tinggi sehingga apa pun yang mereka bicarakan dapat didengar semua orang di sekitar mereka. Kendati demikian suasana warung kopi yang relatif tak terlalu ramai menyediakan nuansa aman dan nyaman. Meski saat memerhatikan sekitar, kau tetap merasa was-was, walau bila dirinci secara lebih teliti kau sendiri tidak mengerti dari apa sebenarnya dirimu sedang ingin bersembunyi.
Di warung kopi yang tak jauh dari studio foto tempatnya bekerja dan diakuinya sebagai lokasi tongkrongan langganannya inilah kalian membikin janji bertemu. Kau mengingat kumis tipis yang menumbuhi sekitar area gumunnya itu adalah hal baru bagimu. Dia tampak berbeda dengan kamera profesional yang menggantung di lehernya. Perawakannya kini terlihat jauh lebih tinggi, terkesan jadi lebih dewasa, pedahal dahulu kau sering mengejek pendek tubuhnya, teringat saat masih di bangku SMA kalian gemar saling bercanda.
Sebelum sesi foto dimulai, kalian saling menatap canggung lantaran pertemuan yang mendadak dan tak terduga. Meski tidak mengatakan apa pun, hal itu sempat membuat istrimu melihat heran ke arah kalian.
Kepada istrimu, kau pun menjelaskan bahwa dia adalah kawan lama semasa remaja. Istrimu takjub, tak menyangka bila studio foto yang dipilihnya berdasarkan rekomendasi kolega kantornya ternyata adalah tempat teman lamamu itu bekerja sebagai juru kamera. Istrimu dan dia pun saling berkenalan. Dan demi alasan menyambung kembali kabar, kau dan dia pun bertukar kartu nama.
Kalian sudah berada di satu sekolah sejak SMP meski belum menjadi teman dekat. Memasuki SMA, sejauh yang bisa kau ingat, setelah melewati masa orientasi sekolah yang melelahkan, kalian menjadi kawan akrab. Perkawanan khas remaja belia yang tanpa kejutan. Lebih mudah bagimu berkomunikasi dengannya lantaran dia satu-satunya siswa yang lebih dahulu kau kenal. Meski kalian tinggal di lingkungan yang berbeda, beberapa tugas dan jadwal kegiatan sekolah membuatmu kerap bertandang ke rumahnya. Dari perkawanan itu, kau ketahui ayahnya berprofesi sebagai tentara, sedangkan ibunya telah lama meninggal dunia karena suatu penyakit ketika dia masih balita. Sejak kecil dia telah dirawat oleh nenek dari pihak ayahnya yang masih ada.
Dia pernah lari dari rumah karena mengetahui ayahnya hendak menikah lagi. Padamu, dia mengaku jika dia tidak menyukai calon ibu tirinya itu. Ada sikap pada calon ibu tirinya yang membuat dia sering merasa kesal tanpa alasan. Kau menduga barangkali itu hanya rasa cemburu, sebab ayahnya akan membagi perhatian dengan orang baru. Barangkali dia hanya belum bisa beradaptasi, sebab ibu baru memang bukan ide yang mudah diterima setiap anak tanpa ibu.
Selama satu minggu masa pelariannya dia menginap di rumahmu. Meski akhirnya harus kembali pulang saat ayahnya menjemput paksa.
“Sudah berapa lama jadi fotografer?” Kau bertanya dan bayangan masa lalu yang bergumul dalam kepalamu pun redam.
“Baru sekitar dua tahun, foto-foto lama ibuku menginspirasiku,” dia tersenyum lagi. “Kau sendiri?”
“Sebuah harian lokal mempekerjakanku sebagai wartawan,” kau mengatakan itu sambil menggerakkan bahu guna menghilangkan kekakuan. “Keluargamu bagaimana?”
Dia lalu bercerita tentang pernikahan ayah dan ibu tirinya dan kesadaran bahwa ide tentang ibu baru ternyata tak seburuk yang dia sangka. Kau sendiri tidak pernah tahu akan hal itu. Bersama keluarganya, dia lebih dahulu pindah rumah sebelum kau bisa menyaksikan pesta pernikahan ayah dan ibu tirinya itu. Padanya kau mengungkapkan beberapa kali coba mecari alamat baru rumahnya, tapi selalu nihil hasil. Yang kau dapati hanyalah rumah lama keluarganya yang telah kosong, jerebu dan sarang laba-laba memenuhi jendela dan sekitaran dinding. Suara sember bel pintu yang memilukan membuatmu tak lagi melanjutkan pencarian. Bersama penyesalan dan putus asa yang pelik, tertinggal hanya padamu sebuah jurnal berisi catatan harian dan puisi-puisi. Kelak akan kau ketahui alasan keluarganya mendadak pindah rumah adalah karena dia pernah melakukan percobaan bunuh diri.
“Sudah usia berapa anakmu?”
“Enam tahun, tiga bulan lagi berusia tujuh tahun.”
“Kau punya putri yang cantik, membuatku iri saja,” kali ini dia yang tertawa.
Kiranya kau agak tersipu. Lalu secara terang-terangan mengaku kepadanya jika sebenarnya tidak memiliki anak kandung. Kau telah berkawan lama dengan wanita yang kini menjadi istrimu itu. Dalam sebuah keadaan rumit kau menemukannya serapuh bunga layu: hamil di luar nikah, ditinggalkan laki-laki yang tak siap memiliki anak. Kau yang iba akhirnya melontarkan ide mengejutkan; menikahinya dan mengaku kepada orangtuamu bahwa dirimulah yang bertanggungjawab atas anak yang dikandungnya. Selama tahun-tahun usia pernikahan kalian, kau menjalani lakon sebagai suami setia—seorang kepala rumah tangga yang mencintai keluarga. Kadang-kadang di tengah malam buta ketika kau tak bisa memejamkan mata, kau pun menyadari betapa kini kehidupanmu serupa panggung sandiwara, dan orangtuamu sebagai penonton yang bisa kau buat bangga.
Itu semua satu fakta yang tiba-tiba dan mengejutkan. Mendengar kisah hidupmu dia tertegun, lengkap dengan raut wajah jika dia tidak sepenuhnya percaya ceritamu. Dia sempat menatap wajahmu ragu-ragu, tapi dia putuskan tidak bertanya lebih lanjut guna lebih mencari tahu. Meski sejak tadi dia mendengarkan tanpa abai dan tak sekalipun perhatiannya luput. Mata itu, mata yang menatap penuh arti. Tatapan yang tak mampu kau maknai.
Pertemuan yang tiba-tiba, kejujuran yang tiba-tiba, terlalu banyak yang tiba-tiba dalam dua kali pertemuan, pikirnya.
“Dirimu bagaimana?” kau balik bertanya dengan maksud mengalihkan suasana yang tahu-tahu terasa menjadi kikuk.
“Aku baik, seperti yang kau lihat, bertambah tua,” kau berkelakar.
Pengakuannya dia sudah pernah menikah, tetapi pernikahannya tidak bertahan lama; dari kota P dia pindah ke kota J, lalu berkuliah mengambil jurusan Arsitektur yang sesungguhnya tidak dia inginkan dan menjalani kehidupan yang sudah lama diatur ayahnya. Beberapa wanita singgah dalam kehidupannya. Wanita terakhir adalah yang paling lama bertahan. Setelah lulus kuliah dia putuskan menikah, kendati dalam satu tahun masa pernikahan ternyata mereka sadari bahwa mereka tidak benar-benar punya kecocokan, mereka pun sepakat bercerai.
Bermodal nekat dan bakat yang diam-diam dia tekuni, dia membuka usaha studio foto tempat yang dipilih istrimu untuk membuat foto keluarga. Mendengar ceritanya kau ber-oh datar, menyapu asumsi yang selama ini dirimu sempat yakini, bahwa dia seharusnya adalah seorang pria setia yang hanya akan memiliki satu hubungan untuk jangka waktu yang akan bertahan selamanya.
Murid-murid sekolah yang masih ribut bercakap di sudut lain warung kopi ini kembali mengganggu perhatianmu. Bocah-bocah berseragam itu tengah membicaraan tugas sekolah dari guru mereka yang sepertinya tidak mereka minati. Serta merta kau mengingat pengalaman lama yang sekali lagi membuat dirimu gundah—bola-bola gelembung ingatan kembali muncul keluar dari ubun-ubun kepalamu laksana rol film, memutar beberapa cuplikan adegan yang tidak kau minta atau inginkan: Ketika kau hampir selesai menggambar enam serabut ekor dari bagian struktur virus yang tampak seperti tentakel sehingga mengingatkanmu pada cumi-cumi, bersamaan saat dia baru memulai menggambar kapsid kepala virus yang kalian contoh dari buku pelajaran biologi, dia iseng bertanya mana bagian dari tubuh manusia—telapak tangan ataukah bibir yang berpotensi paling mudah menularkan virus penyakit? Meski ragu kau menjawab telapak tangan, dengan alasan sederhana: sebab sudah tentu segala aktivitas bersih maupun kotor dilakukan oleh kedua lengan. Bukankah orang-orang membersihkan kotoran di dubur dengan tangan kiri? Dan makan dengan tangan kanan? Dan kuman penyakit mudah menular lewat jabatan tangan merupakan fakta yang tak terbantahkan, khas siswa sekolah lugu kau berteori.
Dia menggeleng, menolak pendapatmu dan secara sok tahu mengeklaim bahwa bibirlah yang paling mudah menularkan virus penyakit.
“Dengan cara?”
“Berciuman!”
Kau mengerutkan alis, merasa jawabannya konyol dan terdengar penuh sangsi. Dia secara pilon menjelaskan pernah membaca sebuah artikel koran yang mengatakan jika berciuman dapat menularkan jutaan jenis virus berbahaya. Tatapannya menjadi serius, sementara kau memandangnya ragu-ragu.
“Aku bisa buktikan,” selanya di tengah penjelasan.
Di dalam benakmu ketika kau sedang memikirkan penyakit seperti apa yang dapat ditularkan lewat sebuah ciuman, tanpa aba-aba atau hitungan satu dua tiga, dia mendekatkan wajahnya lalu mencium bibirmu, begitu saja, dengan sengaja.
Tubuhmu sontak beku.
Dalam kenanganmu semasa remaja, itu adalah ciuman pertama yang kau duga pernah kau alami (kelak kau akan mengingat ciuman lain bersamanya yang tak sengaja terhapus dalam ingatan masa kanak-kanakmu karena trauma). Matamu yang memejam kau buka perlahan-lahan dan kau pun rasakan embusan napas yang bukan milikmu. Waktu melambat, seolah-olah berjalan mundur. Ciuman itu singkat, tetapi seakan-akan telah kau lalui waktu berabad-abad. Dua lembab bibir yang bertemu, hembus napas yang beradu-menyatu, dapat dengan mudah mengaburkan konsep waktu. Sekejap yang menjadi selamanya itu pun harus diakhiri saat ayahnya yang baru pulang entah dari mana memergoki kalian. Kau yang kebingungan tak bisa menghindari amukan ayahnya, dan pasrah saat diusir keluar, kemudian berjalan pulang dengan langkah lunglai terbebani perasaan kacau seperti tertangkap basah melakukan kejahatan.
Besoknya, benar saja secara mengejutkan kau pun jatuh sakit. Demam menguasai tubuhmu sehingga kau tak bisa pergi sekolah. Selama sepekan lebih kau berbaring di kamar dan memikirkan ciuman yang pernah kalian lakukan, atau teknisnya tak sengaja kau lakukan. Kau menduga-duga, barangkali benar ciuman itu yang telah menularimu sejumlah virus sehingga membuat tubuhmu demam. Di hadapan cermin yang memantulkan refleksi wajah kanak-kanakmu, kau merabai bibirmu sendiri, merasa bimbang dan kebingungan.
Begitu sembuh dari sakit, selama berhari-hari di sekolah kau tak lagi melihatnya. Kau ingin mendatangi rumahnya, tetapi ragu saat teringat wajah ayahnya yang tempo hari mengamuk memarahi kalian. Kau putuskan bertanya pada Wali Kelas dan mendapat kabar bila dia tak akan lagi datang ke sekolah. Wali Kelas tak merinci alasan mengapa dia begitu saja pindah sekolah. Kau merasa sedih secara aneh…. dan lagi-lagi kebingungan yang tak kalah aneh, lantaran semua yang terjadi begitu mendadak, begitu tiba-tiba. Betapa aneh.
Sepulang sekolah sempat kau beranikan diri mendatangi rumahnya meski langkah kakimu terhenti hanya sampai di depan pagar. Penuh harapan kau berdiri kaku menatapi jendela kamarnya. Keraguan membuatmu enggan melangkah lebih jauh, tak mengerti kenapa. Semua yang terjadi adalah rangkaian peristiwa yang tak pernah bisa kau pahami. Kau mengalaminya, tetapi tak punya rumusan untuk mendefinisikannya. Kau merasakannya, tetapi tak melihat wujudnya, itu seperti virus yang tak kasatmata, seperti ciuman yang membikin demam. Betapa aneh.
Sejak saat itu kalian tak pernah lagi bertemu.
Ingatan-ingatan yang berkelebat dalam kepalamu itu pun buyar saat ponsel di saku celanamu berdering. Pesan singkat dari istrimu: jemput Kiara di sekolah, ada rapat mendadak di kantor, tolong ya. Kau memohon maaf kepadanya lantaran harus segera pergi. Dia memaklumi dan bertanya adakah waktu lain guna kalian dapat membuat janji. Agendamu telah penuh seminggu ini untuk meliput berita korupsi Wali Kota yang tengah hangat diberitakan. Kau pun mengusulkan pertemuan pada minggu selanjutnya. Dia mengeluh sebab pada minggu selanjutnya harus menghadiri pesta pernikahan rekan kerja sebagai fotografer wedding. Lewat perundingan alot demi mencocokkan jadwal satu sama lain, akhirnya kalian sepakat bertemu lagi pada minggu ketiga, setelah menyelesaikan urusan kehidupan masing-masing. Dia bahkan berjanji akan menghubungimu lagi untuk waktu yang lebih pasti.
Kau meninggalkan warung kopi itu dengan hati penuh. Sebuah perasaan lega bercampur cemas membuat jantungmu berdetak gugup. Sambil berjalan pergi kau melambaikan tangan padanya yang masih berada di dalam warung kopi. Lewat pintu kaca, kau melihat dia membalas lambaian tanganmu, sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil di parkiran dan melaju pergi. Dalam benakmu kini kau menyimpan janji pertemuan yang telah kalian sepakati. Tiga minggu lagi. Dan samar-samar hal itu membuat dadamu kian berdebar ganjil, bercampur degup takjub bersama sejuk yang terasa intim dan familiar.
*****
Editor: Moch Aldy MA