suka mageran.

Mungkin Salah Sepatu?

Solu Erika

4 min read

Kulirik Mas Enthus mengelus-elus motornya pakai kanebo sambil memerhatikanku berjalan pelan di depan rumahnya. Mas Enthus memanggilku, kulihat dia tersenyum. Eng, tapi lebih kelihatan seperti menyeringai, sih. Aduh aku deg-degan. Menurut cerita para tetangga, Mas Enthus suka menjaili anak-anak perempuan, memeluk bahkan menggendongnya bak penculik sampai anak perempuan itu nangis ketakutan. Ngeri sekali kalau itu terjadi padaku. Aku jadi merinding. Aku berusaha sekali berjalan cepat karena berlari rasanya tak mungkin, atau kaus kakiku akan menyentuh tanah. Di sekolah, teman-teman bilang jalanku seperti siput semenjak sepatuku dilem kuning. Emak dan Bapak bilang, nanti ketika dapat uang dari MaJu, sepatu butut ini baru bisa dibuang jauh-jauh.

Emak menyuruhku membeli gorengan sebelum Rere dan Ira mengajak berangkat. Jalan terdekat menuju warung Mbok Nah memang harus melewati depan rumah Mas Enthus yang berhadapan dengan kebun jati lebat. Lega sekali rasanya setelah melewati rumah Mas Enthus. Nampaknya, Mas Enthus hanya ingin memanggil. Tidak macam-macam. Kasihan memang Mas Enthus, orang-orang bilang dia jaka terkutuk karena tak kunjung dapat istri.

Warung Mbok Nah sudah terlihat. Di warung Mbok Nah, selalu ramai Paklik-Paklik yang  berbincang sambil menyeruput seteguk demi seteguk kopi hitam tak lupa rokok di gamitan. “Mbok Nah masih di dalam,” kata Paklik Sam—entah sedang apa, Paklik Sam tak memberi tahu lebih—aku duduk di dipan yang begitu menopang tubuhku langsung terdengar bunyi decitan. Paklik Sam dan beberapa orang lainnya sama seperti Emak dan Bapak di rumah, sama-sama membicarakan MaJu.

Paklik Sam berkata lantang pada paklik-paklik lainnya, kalau MaJu tidak terpilih jadi bupati, dia akan mengawinkan Mbak Wati, anak perempuannya, dengan Mas Enthus.

Aku tercengang, Mas Enthus, kan jaka tua yang bodoh, terkenal lelaki tak normal di desa dengan paras tidak tampan dan seperti yang kulihat tadi, bila tersenyum mengerikan. Lalu dia akan dijodohkan dengan Mbak Wati? Yang benar saja. Mbak Wati itu perempuan yang cantik dan lulusan SMA. Paklik Sam ini bagaimana ya, Emak saja mewanti-wanti aku benar, untuk milih lelaki yang tampan, mapan, kelak, tidak seperti Mas Enthus. Ini kok Paklik Sam malah mau menjodohkan Mas Enthus dengan Mbak Wati.

Mbok Nah datang dengan menenteng sebaskom tahu isi. Dia lantas menanyaiku ingin beli apa, tapi sebelum aku menjawab, Paklik Sardi memotong pembicaraan kami.

“Saksi ya, Mbok, kalau Mahmud Junaidi kalah lagi tahun ini, Wati akan dijodohkan dengan keponakanku, Enthus!”

“Ndak bakal kalah! Saat ini, semua tergantung isi amplop!”

“Alah, mau siapa pun yang jadi bupati aku ya tetep jual gorengan begini. Apa mungkin mereka ngangkat aku jadi juru masak kabupaten,” ucap Mbok Nah.

Orang-orang tergelak, aku segera menyatakan pada Mbok Nah bahwa aku ingin beli tempe goreng empat, bakwan sayur dua, lalu aku menyodorkan dua lembar uang dua ribuan dan Mbok Nah memberikan gorengan yang kuminta.

Hendak berlalu, Paklik Sam menegur cara jalanku yang menimbulkan bunyi gesekan keras.

“Kakimu sakit, Nik?”

“Tidak, Paklik. Menik cuma jaga sepatu Menik agar lemnya tetap merekat.”

“Wealah, minta yang baru, lah, Nik.”

“Nanti Paklik, kata Emak dan Bapak bakal dibeliin sepatu baru setelah MaJu kasih saku.”

Aku tidak mengerti mengapa orang-orang makin tergelak, kemudian Paklik Sam bilang agar aku bersabar sebentar. Nanti malam atau besok, Paklik Sam akan bagikan uangnya.

“Bilang bapak emakmu, ya, jangan goyah! tetep pilih MaJu!”

Aku mengangguk girang dan segera berlalu pulang. Ketika akan melewati rumah Mas Enthus, kuharap sangat Mas Enthus tidak ada di teras lagi. Aku takut sekali kalau tiba-tiba Mas Enthus menggendongku, tubuhnya yang gemuk itu pasti tak kesulitan untuk menggendong bocah yang bobotnya tak lebih berat dari sekarung beras ini.

Syukur tinggal motornya saja yang berada di teras. Aku bernapas lega. Namun tak lama Mas Enthus keluar dan menyiuliku. Nekat kutenteng sepatu dan berlari kalang-kabut hingga kaus kaki putih ini berubah jadi cokelat dan Emak mengomel setibaku di rumah.

Malam pun datang setelah pagi mengerikan itu terjadi. Paklik Sam berkunjung. Bapak dan Emak diberinya amplop. Bapak protes. Kata Bapak yang kudengar, “Kok cuma segini sih, Kang?” Aku memang tidak melihat berapa uang yang Bapak dan Emak terima, tetapi Emak dan Bapak sangat tampak kecewa. Selepas Paklik Sam pergi, aku keluar kamar dan berniat menagih janji Emak dan Bapak, tapi hasilnya aku malah kena bentak. Uangnya cuma sedikit, tak seperti janji Paklik Sam, kata mereka.

“Sebagian uangnya itu dikantongin Sam, ngerti kamu, Nik?” ucap Emak.

“Besok kita ke tukang jahit pasar saja, Nik. Sementara sepatumu dijahit dulu biar agak kuat, nanti kalau ada uang lagi baru kami belikan kamu sepatu baru, ini uangnya gak cukup,” ujar Bapak yang disetujui Emak membuatku balik badan masuk kamar lagi. Emak dan Bapak tak kali ini saja ingkar janji dan aku harus tegar memaklumi.

Suara pintu diketuk, aku mengintip lagi. Rupanya kali ini Paklik Sardi yang bertamu.

“Pilih ALim, ya!”

“Pak Anwar dan Ngalimin itu angkuh, nggak merakyat sama sekali, Kang.”

“Angkuh itu luarnya, dalemnya baik kok!”

Mataku terbelalak saat Paklik Sardi menyodori Emak dan Bapak masing-masing seratus ribu. Itu artinya besok ke pasar bukan ke tukang jahit, tapi ke toko sepatu. Aku memukul-mukul bantal saking senangnya.

“Bisa buat beli sepatu Menik itu, kembali malah.”

Paklik Sardi juga menyebutku, ah Paklik Sardi memang orang baik.

Bapak menepuk pundak Paklik Sardi

“Nomor berapa to? Dua, ya?” Bapak mengangguk-angguk.

Sepulang Paklik Sardi aku keluar kamar lagi.

“Iya, beli ya beli, tapi yang murah saja, ya!” ucap Emak. Aku senang sekali, besok aku pakai sepatu baru.

***

Sepatu baruku, yang baru dibelikan sepulang sekolah kemarin ini lebih enteng dipakai ketimbang yang lama. Aku pertama kali memakainya ke warung Mbok Nah, disuruh Emak beli tempe gembus dan bakwan sayur lagi. Ketika melewati rumah Mas Enthus aku berlari. Sekelebat kulihat Mas Enthus sedang duduk di teras sambil memandang pohon-pohon Jati, kali ini agaknya dia tak tertarik menjahili. Syukur. Mas Enthus jika sedang melamun, tak menakutkan sama sekali.

Pagi ini warung Mbok Nah sepi. Paklik-Paklik yang kemarin itu, tak berbincang dalam satu meja lagi. Paklik Sardi di meja dalam sedang Paklik Sam di meja luar.

“Mana mungkin aku rela ngasih anakku buat si Enthus, ya, kan, Mbok.”

“Memang jalan pikirnya busuk! curang kok, ya jelas menang, Kang!”

Dari dalam, aku mendengar Paklik Sardi bersuara lantang, suaranya menakutkan. Mbok Nah hanya berkomentar singkat, “Sudah, sudah, jangan diributkan, wong hanya pilihan aja, lo!”

“Orang tahu mana yang pantas dipilih, mana yang enggak ya, Mbok.”

“Iya, Kang. Saya tahu sendiri orang curang itu gak awet!” Aku mengintip Paklik Sardi. Di dalam dia juga berbincang dengan Paklik-Paklik lain, hanya saja suaranya terdengar menyahuti Paklik Sam.

“Keponakane gak dapat perempuan ya harusnya legowo, dan sadar diri! Orang si Enthus itu bodoh, jelek, jorok, tua, ya masak mau nyanding anakku yang cantiknya nggak ketulung, anakku pinter lagi!”

Paklik Sardi menghampiri Paklik Sam dengan tonjokan langsung ke wajah Paklik Sam. Warung Mbok Nah jadi ribut sekali. Setelah gorenganku dibungkus Mbok Nah, aku segera berlari. Benar-benar menakutkan situasinya. Paklik Sardi membabi buta.

Sampai rumah, sepatuku kotor. Segera aku mengambil lap, dan mengelap bagian kotornya. Bapak dan Emak usai mendengar ceritaku mengatakan kalau itu wajar, nanti setelah beberapa hari atau minggu, dua orang itu akan lupa, ya mungkin hanya tidak lagi bertegur sapa.

“Lagian kalau enggak yakin menang, gak mungkin Sam itu taruhan nasib anaknya. Semua sudah dirancang.”

Rere dan Ira memanggilku untuk berangkat bersama seperti biasanya. Sesampai di kelas aku menceritakan perkelahian Paklik Sam dan Paklik Sardi pada teman-teman, menurut mereka Paklik Sardi-lah yang jahat, betapa kasihan Paklik Sam.

“Tapi sepatu baruku ini uangnya dari Paklik Sardi, bukan Paklik Sam.”

“Jadi kau membela yang jahat? Ih, jangan temenan sama Menik teman-teman. Menik nggak membela orang baik.”

“Tidak, tidak seperti itu.” Aku menjelaskan pada mereka, tetapi mereka tetap tak mau bermain denganku. Ketika mereka bermain di depan kelas tiga, aku mengamati sepatuku. Setelah sepatuku baru, rasanya hal-hal tidak menyenangkan silih berganti kurasakan. Satu per satu air mataku jatuh di atasnya. Kuusaplah bagian yang kena air mata dengan ujung dasi merah ini.

*****

Editor: Moch Aldy MA

Solu Erika
Solu Erika suka mageran.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email