Suka bingung kalau disuruh milih, "Radiohead apa Pink Floyd?"

Sasana, Dangdut, dan Pemberontakan

Muhammad Ridwan Tri Wibowo

5 min read

Novel Pasung Jiwa karya Okky Madasari menggali pertanyaan mendasar tentang kebebasan. Apakah kita benar-benar bebas menentukan jalan hidup kita? Atau, tanpa kita sadari, hidup kita justru dikendalikan oleh norma dan ekspektasi orang-orang di sekitar kita?

Seluruh hidupku adalah perangkap,” kalimat pertama dari novel ini langsung menyedot perhatian saya. Sejak membaca kalimat tersebut, saya langsung jatuh cinta pada pandangan pertama.

Kemudian, kalimat pertama tadi dilanjutkan menjadi satu paragraf, yang membuat saya semakin dibuat klepek-klepek

“Tubuh adalah perangkap pertamaku. Lalu orang tua, dan semua orang yang kukenal. Kemudian segala hal yang kuketahui serta segala sesuatu yang kulakukan.”

Okky, Pasung Jiwa (2013)

Kalimat di atas, begitu kuat dalam menggambarkan bagaimana belenggu fisik, sosial, dan mental sering kali membatasi kebebasan seseorang. Oleh karena itu, saya memutuskan untuk sedikit meresensi novel Pasung Jiwa

Kisah Singkat dalam Novel

Suara yang pertama kali Sasana dengar adalah denting piano. Orang tuanya telah memperkenalkan sejak ia baru lahir. Mereka percaya bahwa dengan mendengarkan musik klasik, Sasana akan tumbuh menjadi anak yang cerdas, baik, dan memiliki mental yang stabil. 

Sejak kecil, Sasana telah mendapatkan les piano dua kali seminggu di rumah. Berkat inilah, Sasana banyak meraih penghargaan lomba piano di masa kecilnya. Namun, ketika memasuki usia remaja, semua berubah drastis.

Pada suatu malam, Sasana tertangkap basah ibunya menonton konser dangdut di perkampungan belakang komplek rumahnya. Di rumah, Sasana diceramahi untuk tidak mendengar musik dangdut. Orang tuanya menganggap penikmat musik dangdut identik dengan “kaum pemabuk” dan tidak memiliki masa depan.

Berapa tahun berlalu, Sasana melanjutkan kuliah di Malang. Di sana, ia bertemu dengan Cak Jak di warung kopi Cak Man. Kemudian, bersama Cak Jak, Sasana mengamen, dan tampil dari panggung ke panggung.

Berada di Malang membuat Sasana merasa bebas. Tidak ada yang melarangnya berdendang dan bergoyang bersama irama dangdut. Ia mulai memanjangkan rambutnya dan merias tubuhnya seperti wanita. 

Namanya pun ia ubah menjadi Sasa. “Sasa Sang Biduan” atau “Sasa Sang Bintang”. 

Namun, perjalanan musik Sasa dan Cak Jak tak berjalan mulus. Di tengah karier yang mulai melonjak, mereka melakukan aksi protes di depan pabrik di daerah Sidoarjo. Sasa dan Cak Jak tidak sendirian, mereka dibantu anak kecil bernama Memed dan Leman, serta pengamen jalanan beraliran punk bernama Marjinal. 

Sebab hal inilah mereka ditangkap dan ditahan oleh aparat.

Aksi tersebut dipicu oleh hilangnya Marsini, anak Cak Man, pemilik warung kopi tempat Sasa dan Cak Jak biasa nongkrong. Marsini sendiri dinyatakan hilang, sehari sebelum melakukan aksi mogok kerja untuk menuntut kenaikan upah. 

Selama di penjara, Sasa mengalami pelecehan dan kekerasan seksual seperti disuruh mengisap kelamin sipir penjara, dan ia kerap kali disodomi. Hal ini mengakibatkan Sasa mengalami trauma berat.

Setelah keluar dari penjara, Sasa kembali ke rumah dan berusaha keras untuk meninggalkan masa lalunya. Ia ingin kembali menjadi Sasana. Bukan lagi “Sasa Sang Biduan” atau “Sasa Sang Bintang”.

Meskipun ia berusaha menghapus jejak-jejak masa lalunya, jiwanya tetap sama—hanya tersembunyi di balik topeng yang ia ciptakan. Kemudian, Sasana memutuskan untuk melanjutkan kuliah, berharap dapat menjalani hidup seperti orang kebanyakan.

Namun, bayang-bayang masa lalunya di Malang—Cak Jek, Cak Man, Memed, dan Leman, serta Marjinal—terus menghantuinya. Saat Sasana sendirian, kenangan pahit itu selalu mengganggunya tanpa henti. 

Suatu ketika, kenangan traumatis itu begitu kuat. Kemudian membuat Sasa panik, berteriak dan berlari tanpa arah. Melihat kondisi Sasa yang semakin buruk, orang tuanya pun memutuskan membawanya ke rumah sakit jiwa. 

Kekuasaan Disipliner 

Menurut Michel Foucault, kekuasaan ada di mana-mana. Di setiap tempat yang melibatkan hubungan antara manusia dan sistem, kekuasaan beroperasi secara halus melalui pengaturan dan aturan. Dalam cerita Sasana, terlihat bahwa ia tumbuh dalam tekanan budaya elit.

Maka, tak usah heran, kalau orang tuanya memandang musik klasik sebagai simbol kelas dan moralitas yang baik. Nah, sebaliknya, musik dangdut yang disukai oleh Sasana dianggap rendah dan memalukan bagi orang tuanya. Ini menunjukan bagaimana kekuasan dan norma sosial memengaruhi pilihan dan identitas seseorang.

Foucault, juga mengatakan bahwa pengetahuan dan kekuasan tidak dapat dipisahkan. Maksudnya, pengetahuan tidak hanya mencerminkan kekuasaan, tetapi juga dibentuk oleh kekuasaan.

Dalam konteks cerita ini, norma elit menganggap musik klasik sebagai “baik” dan musik dangdut dianggap “rendah”, adalah contoh bagaimana kekuasaan memengaruhi apa yang dianggap sebagai pengetahuan, atau nilai-nilai yang benar.

Bahasa gampangnya, pengetahuan yang diterima dan dianggap “benar” dalam masyarakat sering kali adalah hasil dari kekuasaan dan norma yang ada di sekitar kita.

Kekuasaan ini tidak hanya berupa paksaan langsung, tetapi juga melibatkan pengawasan dan penyesuaian yang lebih halus. Contohnya, seperti mengatur pola pikir dan perilaku Sasana. 

Nah, apa yang dilakukan oleh orang tua Sasana tadi mencerminkan teori kekuasaan disipliner (disciplinary power). Orang tuanya berusaha mengatur setiap aspek hidup Sasana, agar sesuai dengan harapan mereka. Ini melibatkan pengawasan dan normalisasi.

Panopticon

Sebenarnya, yang menarik dalam novel ini adalah kehidupan Sasana di rumah sakit. Kehidupan Sasana di rumah sakit mencerminkan konsep “panopticon”. Panopticon sendiri adalah model penjara berbentuk melingkar dengan menara pengawas di tengahnya.

Penjaga di menara tersebut bisa melihat seluruh narapidana, tetapi narapidana tidak tahu kapan mereka diawasi. Efeknya, para narapidana selalu merasa diawasi dan bertindak sesuai aturan.

Dalam konteks novel ini, rumah sakit yang seharusnya menjadi tempat penyembuhan, justru seperti penjara dengan kontrol ketat yang mengatur setiap aspek kehidupan pasien. Rutinitas harian di sana, mencerminkan bagaimana masyarakat di sana mendefinisikan kewarasan. 

Mereka yang dianggap tidak waras adalah mereka yang menolak mengikuti aturan, meskipun bisa jadi pasien di sana lebih sadar akan kondisi dirinya. Dibandingkan perawat-perawat yang menganggap dirinya normal.

Setiap malam, Sasana dan teman-temannya diharuskan untuk masuk ke kamar setelah terdengar bel. Ini menandakan di rumah sakit jiwa tersebut sudah larut malam. Kemudian para perawat berdiri di depan pintu untuk memastikan semua pasien masuk ke kamar.

Barulah, setelah sebulan, Sasana mulai merasa nyaman dengan rutinitas di sana. Ia meminta ibunya untuk membawakan sisir, bedak, lipstik, dan baju-baju perempuan. Ini akan ia gunakan saat berkumpul di lapangan setiap pagi.

Suatu pagi, Masita—seorang perawat magang—mengantar Sasana ke lapangan. Di sana, Sasana kembali menjadi “Sasa”. Ia mulai bergoyang semaunya, bukan mengikuti arahan perawat. 

Ketika Sasa sedang bergoyang. Banua, seorang pasien lain, memanggilnya dan ikut bergoyang bersamanya. Setelah itu, mereka duduk. Banua mengobrol dengan Sasa tentang hubungan antara tubuh dan pikiran.

Menurut Banua, tubuh Sasa bergerak sendiri tanpa perintah dari pikirannya. Ini menunjukan bahwa tubuhnya memiliki kehendak bebas yang berbeda dari apa yang dipikirkan Sasa.

Bebas

Banua bercerita bahwa tubuhnya telah lama menderita. Ia mengungkapkan bahwa pikirannya sudah mati rasa karena terlalu sering mengikuti apa yang dianggap benar oleh orang lain.

“Pikiranku ini sebenarnya bukan punyaku. Ini pikiran banyak orang yang kebetulan saja ada dalam diriku.”

Okky, Pasung Jiwa (2013)

Dari kecil, tubuhnya dipaksa mengikuti ritual-ritual dan aturan yang tak pernah ia pertanyakan. Ia mencoba menjelaskan konflik antara apa yang ia rasakan secara fisik dan apa yang dipaksakan pikirannya.

“Dalam pikiranku ini, sudah ada tempelan-tempelan bagaimana seharusnya hidup yang benar, yang sama kayak hidup banyak orang. Pikiran yang Cuma tempelan ini lalu jadi penjelajah tubuhku sendiri.”

Okky, Pasung Jiwa (2013)

Sementara jiwa adalah kesadaran yang menempel dalam keberadaan manusia. Sangat kecil, sangat termbunyi. Suaranya selalu jernih, tetapi lirih tak terdengar. Kesadaran yang lama tak diperhatikan, akhirnya makin bersembunyi. Kalah oleh timbunan-timbunan suara luar yang diyakini sebagai kebenaran.

“Kamu pikir aku mau tinggal di sini, Sa? Tidak! Pikiranku semakin penuh tempelan di sini. Jadi orang gila harus begini, jadi orang tak waras tak boleh begitu.”

Okky, Pasung Jiwa (2013)

Sasa tertawa. Sasa teringat apa yang terjadi pada dirinya. Menjadi “Sasa” telah memerdekakan tubuhnya, tetapi belum pikirannya. Banua membuat Sasa tersadar. Banua sedang terpenjara. Terpenjara aturan. 

Keesokan paginya, Banua ditemukan tergeletak di lantai. Tubuhnya tak berbusana. Sebilah pisau tertancap di dadanya. Darah berserakan di sekitarnya. Di tembok dekat cermin, terdapat tulisan besar berwarna merah yang dibuat dengan spidol: 

“AKU SUDAH BEBAS.”

Dua hari setelah kematian Banua, Sasa tidak keluar dari kamarnya. Masita sering datang menemuinya dan bertanya, “Apakah Sasa masih merasa takut saat menjadi ‘Sasa Sang Bintang‘?”

“Sasa hanya membebaskan tubuhku. Tapi tidak pikiranku. Saat menjadi Sasa, justru ketakutan itu bertambah besar. Aku takut menyakiti ibuku, ayahku, juga adikku. (…) Aku takut dianggap gila. Dan sepertinya sekarang ini, aku sebenarnya takut berada di tempat seperti ini.”

Okky, Pasung Jiwa (2013)

Masita mengobrol dengan Sasa. Sudah enam bulan dia di sini. Masita belajar dari pengalaman. Dan ia semakin yakin, tidak ada masalah jiwa dalam pasien-pasien di tempat ini.

“Tempat ini justru membunuh jiwa kalian.”

Okky, Pasung Jiwa (2013)

Kemudian Sasa menjawab bahwa di luar sana sebenarnya sama saja. Di rumah sakit jiwa, mereka terkurung oleh jeruji dan tembok tinggi. Sedangkan di luar, mereka terikat oleh aturan dan norma masyarakat. 

Namun, menurut Masita, di luar sana, kebebasan masih bisa terus diperjuangkan. Tapi di rumah sakit jiwa ini, kebebasan itu sengaja dimatikan.

“Kalian harus memberontak.”

Okky, Pasung Jiwa (2013)

*****

Editor: Moch Aldy MA

Muhammad Ridwan Tri Wibowo
Muhammad Ridwan Tri Wibowo Suka bingung kalau disuruh milih, "Radiohead apa Pink Floyd?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email