Musik adalah bagian yang sangat dekat dalam hidup kita. Setiap orang entah suka atau tidak suka, setiap hari hampir pasti selalu mendengarkan musik. Bagi yang tidak suka musik setidaknya mereka mendengarnya dari nada dering telfon, jam dinding, bel pintu rumah, nada di lift, atau mendengarkan lagu saat berbelanja di mini market. Begitu dekatnya musik dengan hidup kita membuatnya menjadi sesuatu yang tidak perlu dipikirkan secara mendalam lagi. Tanpa definisi yang ndakik-ndakik hampir semua orang ‘bisa’ membedakan mana yang musik dan mana yang bukan.
Permasalahan baru muncul ketika musisi profesional John Cage membuat aransemen musik berjudul 3’44’’ yang hanya berisi partitur kosong tanpa nada. Ketika pertama kali dimainkan oleh pianis David Tudor dalam sebuah konser, komposisi 3’44’’ benar-benar tidak bersuara. Sontak banyak kritik dan umpatan dari penonton konser. Mereka merasa dipermaikan ketika hanya melihat pianis duduk diam membuka dan menutup kap piano tanpa membunyikan satu tutspun hingga waktu tiga menit empat puluh empat detik berakhir.
Perdebatan apakah karya 3’44’’ John Cage ini musik atau bukan ditangkap dengan cermat Karina Andjani untuk selanjutnya dijadikan titik awal untuk memikirkan kembali definisi musik secara lebih komprehensif. Dalam bukunya berjudul “Apa itu Musik? Kajian tentang Sunyi dan Bunyi Berdasarkan 4’33’’ Karya John Cage” Karina menuliskan pemikiran filosofisnya tentang musik sebelum menentukan secara tegas batas-batas suatu entitas itu musik atau bukan.
Avant Garde
Menjelang abad ke-19 budaya avant garde lahir di Eropa dan menjadi gaya produksi yang belum pernah ada pada era-era sebelumnya. Budaya ini muncul dari kekritisan generasi baru terhadap budaya lama kelas menengah dan kelas atas dengan cara memunculkan seni yang inovatif dan eksperimental.
Pembangkangan terhadap pakem seni tradisional ini dimulai dari seni rupa. Pada 17 Mei 1863 Salon des Refuses (Exhibition of Reject) dibuka untuk menampung karya-karya seni rupa yang ditolak oleh juri Salon Paris. Sebagai pameran seni resmi Akademi Seni Rupa (Academie Des Beaux-Arts), Salon Paris merupakan pameran bergengsi di barat yang menunjukkan ketinggian selera seni dan didukung oleh kerajaan. Pameran itu menolak karya-karya Gustave Courbet, Edouard Manet, dan James McNeill Whistler yang dianggap kontroversial, mengejutkan, mengganggu, membingungkan, dan melenceng dari nilai-nilai kepatutan.
Semangat avant garde yang awalnya ditujukan pada nilai artistik seni saja, perlahan tapi pasti juga menyasar pada masyarakat. Secara politis avant garde dianggap membahayakan kekuasaan pemerintah dan kestabilan sosial. Avant garde selalu mempertanyakan, bahkan tak jarang terkesan menantang norma-norma yang berlaku dalam masyarakat pada abad 19. Hingga abad 20 pun penikmat seni avant garde masih sangat sedikit.
Dalam perkembangannya, avant garde tidak bersifat tunggal. Anjani dalam bukunya menjelaskan setidaknya ada dua pembagian berdasarkan bentuk dan fungsinya, yaitu avant-gardeness dan avant-gardism. Avant-gardeness menekankan pada kebaruan artistik. Di dalamnya, kecerdikan seniman menjadi lebih penting dibandingkan inspirasi dan orisinalitas. Akan muncul bentuk-bentuk baru hingga ke arah yang tidak terpikirkan saking liar eksperimentalnya. Sebaliknya, avant-gardism tidak terlalu mengejar kebaruan artistik, tapi lebih menekankan pada efek mengejutkannya. Efek kejutnya terjadi karena apa yang ditampilkan tidak sesuai dengan kebiasaan budaya dan sering berjalan di luar ekspektasi sosial.
Musik Kontemporer
Gejala avant garde secara pelan tapi pasti merambah ke dunia musik. Musik kontemporer, yang pada awalnya adalah usaha pencarian “musik Amerika” menjadi laboratorium musisi-musisi di dalamnya untuk bereksperimen dan mengeksplorasi bentuk musik, sehingga muncul teknik-teknik baru. Mereka ingin menentang sekaligus lepas dari konvensi musik Eropa yang ortodoks dan dianggap final. Beberapa musisi pionernya adalah Harry Partch (1901-1974) yang membagi oktaf menjadi 43 nada dan Conlon Nancarrow (1912-1997) yang berantusias dengan tempo cepat dan rumit. Bahkan musik elektronik seprti yang sekarang kita kenal dengan EDM (electronic dance music), sudah dirintis oleh Elisha Gary sejak tahun 1870an.
Dua nama paling ikonik dalam musik kontemporer adalah Richard Wagner (1813-1883) dan Arnold Schoenberg (1874-1951). Jika Wagner sangat identik dengan ciri khasnya yaitu musik kromatis, maka spiritnya diteruskan oleh Schoenberg yang membuat musik dengan tonalitas sendiri berdasarkan hitungan matematis.
Cage dan Musiknya
Cage yang terlahir di Los Angeles California meneruskan semangat avant garde yang ada dalam musik kontemporer tersebut. Berbekal wawasannya yang luas, ia membuat musik secara eksperimental hingga ke bentuk-bentuk yang dianggap tidak lazim. Dalam Imaginary Landscape, Cage bereksperimen membuat musik elektro akustik yang melibatkan piano hingga gramofon dan amplifier. Bahkan dalam karyanya berjudul Sonatas and Interludes for Prepared Piano, Cage menyelipkan benda-benda seperti paku, sekrup, baut, hingga karet dan plastik.
Karya 4’33’’ sendiri mungkin merupakan interpretasi Cage dari spirit musik timur yang dipelajarinya dari Gita Sarabhai (India) dan Ananda Coomaraswamy (Sri Lanka) yang menekankan ketenangan, dan keselarasan dengan alam. Cage juga mengambil spirit dari ajaran Zen-Buddhism untuk lebih menghargai suara-suara di sekitarnya, alih-alih memanipulasinya menjadi bunyi yang tidak natural. Cage menemukan satu cara alternatif baru memainkan musik dengan membiarkan suara-suara di sekitarnya sebagaimana adanya.
Cage hanya menetapkan durasi penampilan empat menit tiga puluh tiga detik dengan tiga movement yang masing-masing diberi judul 30’’, 2’33’’, dan 1’40’’. Seluruh partitur dibiarkan kosong sehingga jika dimainkan tidak menghasilkan bunyi apapun melalui piano. Dengan diamnya piano ini, Cage memaksudkan bahwa apapun yang didengar dalam konser baik decitan kursi, gumaman penonton, dan suara apapun yang muncul pada saat aransemen itu dimainkan adalah bagian dari musik.
Perdebatan apakah 3’44’’ itu karya musik atau bukan masih berlangsung hingga sekarang. Baik pendukung ataupun penentangnya mempunyai argumennya masing-masing dan saling berdialektika. Dalam buku terbitan Marjin Kiri tahun 2014 ini, Karina Andjani memberikan ulasan kritisnya terhadap karya John Cage tersebut dan secara tidak langsung mengajak pembaca untuk turut memikirkan ulang apa itu musik secara lebih mendalam.
*****
Editor: Moch Aldy MA