Saat Warganet Jadi Wasit di Media Sosial

Ahmad Izzul Haq

3 min read

Di era digital saat ini, peristiwa sosial, politik, ekonomi, hingga olahraga tidak hanya berhenti di dunia nyata, tetapi juga menemukan “hidup kedua” di ruang maya. Apa yang berlangsung di jalan, ruang sidang, ruang rapat pemerintahan, bahkan di lapangan hijau, sering kali justru mendapatkan gaungnya jauh lebih besar di lini masa media sosial.

Di ruang maya, jutaan mata menjadi saksi, jutaan jari menjadi perekam, dan jutaan mulut virtual menjadi komentator. Peran masyarakat tidak lagi sebatas menonton; mereka ikut menafsirkan, menilai, dan bahkan mengadili.

Warganet menjelma menjadi wasit bagi setiap peristiwa. Mereka bisa bersorak, mencemooh, mendukung, atau menjatuhkan vonis sosial kepada siapa pun yang tengah menjadi sorotan. Kekuasaan baru lahir dari ribuan komentar, tagar, dan unggahan yang bersatu padu membentuk arus opini publik.

Fenomena ini tentu bukan hal sepele. Dulu, opini publik dibangun melalui media massa arus utama, dengan redaktur dan wartawan sebagai penyaring. Ada proses seleksi, verifikasi, dan pertimbangan etis sebelum sebuah peristiwa diberitakan.

Kini, siapa pun bisa menjadi jurnalis dadakan dengan modal kamera ponsel. Siapa pun bisa menjadi komentator ulung hanya dengan menulis satu kalimat pedas di kolom komentar. Bahkan, siapa pun bisa menjadi hakim moral dengan menjatuhkan “vonis sosial” tanpa pernah bertemu langsung dengan pihak yang bersangkutan. Video berdurasi 30 detik bisa menjatuhkan reputasi seorang pejabat yang sudah dibangun selama puluhan tahun. Sebuah cuitan 280 karakter bisa memicu gelombang solidaritas nasional, tetapi juga bisa memantik kebencian massal.

Warga sebagai Wasit, Hakim, dan Algojo

Kekuatan warganet sebagai wasit peristiwa terlihat jelas dalam banyak kasus di Indonesia. Ketika ada kasus hukum yang dianggap tidak adil, publik maya segera merespons dengan membuat petisi daring, mengangkat tagar dukungan, hingga menyebarkan informasi secara masif. Tekanan dari lini masa itu tidak jarang memengaruhi aparat penegak hukum untuk meninjau ulang proses penyidikan atau persidangan.

Baca juga:

Misalnya, dalam kasus kekerasan seksual yang dahulu sering berakhir tanpa kejelasan, kini mendapat sorotan begitu besar di media sosial sehingga aparat penegak hukum terpaksa bertindak lebih tegas. Demikian pula ketika sebuah kebijakan pemerintah dirasa merugikan masyarakat, suara keras dari warganet bisa menjadi “alarm” yang terdengar hingga ke gedung-gedung kekuasaan.

Namun, posisi warganet sebagai wasit tidak selalu adil dan berimbang. Media sosial sering kali memperlihatkan wajah bising dari demokrasi digital. Siapa yang paling keras bersuara, dialah yang paling didengar. Akibatnya, sebuah isu bisa viral karena aspek dramatis, emosional, atau sensasionalnya, bukan karena bobot substansinya.

Sementara itu, isu-isu penting yang kompleks, seperti kebijakan fiskal, perjanjian internasional, atau persoalan energi berkelanjutan, justru kalah pamor dibanding kabar selebritas atau konflik politik yang penuh drama. Mekanisme atensi digital lebih mengutamakan apa yang cepat mengundang emosi daripada apa yang menuntut analisis mendalam.

Bahaya lain muncul ketika warganet mengambil peran bukan hanya sebagai wasit, tetapi sekaligus hakim dan algojo. Fenomena “trial by social media” telah berulang kali terjadi: seseorang yang terekam kamera dalam posisi tertentu langsung dicap bersalah oleh jutaan orang tanpa ruang klarifikasi.

Linimasa yang gaduh sulit memberi tempat bagi asas praduga tak bersalah. Vonis sosial ini bisa menghancurkan karier, keluarga, bahkan kehidupan seseorang sebelum pengadilan resmi menjatuhkan keputusan. Di sinilah paradoks besar peran warganet: keadilan bisa diperjuangkan, tetapi juga bisa dipelintir menjadi ketidakadilan baru.

Meski demikian, tidak dapat disangkal bahwa peran warganet juga membawa sisi positif yang luar biasa. Media sosial membuka akses luas bagi masyarakat untuk ikut serta mengawasi jalannya kekuasaan. Jika pada era lalu banyak kasus tenggelam karena minim liputan media besar, kini suara rakyat kecil bisa membesar karena diviralkan. Seorang ibu yang memperjuangkan hak anaknya bisa mendapat dukungan luas. Seorang korban kecelakaan yang membutuhkan biaya rumah sakit bisa mendapat bantuan dalam hitungan jam berkat penggalangan dana daring.

Gerakan solidaritas kemanusiaan, bantuan untuk korban bencana, hingga kampanye lingkungan semua bisa mengguncang hati publik melalui ruang maya. Dalam kapasitas itu, warganet benar-benar menjadi “mata tambahan” bagi demokrasi, yang mampu menyorot hal-hal yang luput dari perhatian media arus utama dan aparat negara.

Persoalan yang kini mendesak adalah bagaimana masyarakat mengelola peran barunya ini. Warganet sejatinya bukan jurnalis, bukan hakim, apalagi aparat penegak hukum. Namun, media sosial memberikan panggung begitu luas sehingga batas-batas itu menjadi kabur. Dibutuhkan literasi digital yang matang.

Sadar terhadap Konsekuensi

Setiap orang perlu menyadari bahwa jempol mereka punya konsekuensi, bahwa komentar yang mereka tulis bukan sekadar angin lalu, dan bahwa tagar yang mereka suarakan bisa menolong, tetapi juga bisa melukai. Tanpa kesadaran ini, media sosial mudah sekali berubah menjadi arena fitnah, ujaran kebencian, atau perundungan massal.

Baca juga:

Pemerintah, lembaga hukum, dan media arus utama pun dituntut untuk merespons fenomena ini dengan bijak. Alih-alih membungkam, mereka seharusnya membangun kanal komunikasi yang transparan dan terbuka. Jika masyarakat merasa memperoleh informasi yang jelas, utuh, dan terpercaya, mereka tidak perlu lagi mencari “kebenaran alternatif” dari potongan video atau rumor yang belum terverifikasi. Media sosial harus dipandang bukan sekadar ancaman, melainkan mitra kritis bagi demokrasi. Kehadirannya bisa menjadi sarana kontrol sosial, sekaligus jembatan komunikasi antara rakyat dan penguasa.

Akhirnya, warganet sebagai wasit peristiwa adalah potret paling nyata dari zaman digital kita. Ia menunjukkan bahwa masyarakat tidak lagi pasif menunggu informasi, melainkan aktif terlibat dalam mengawal jalannya kehidupan bersama.

Di balik riuhnya komentar yang sering kali emosional, tersimpan kepedulian kolektif. Tugas kita adalah memastikan energi besar ini tidak melahirkan ketidakadilan baru. Peran warganet bisa berbahaya jika tidak diimbangi dengan tanggung jawab, tetapi bisa pula menjadi kekuatan luar biasa untuk memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

Dunia maya memang tidak sempurna, tetapi di sanalah denyut masyarakat kini paling kencang terasa, dan di situlah wajah demokrasi digital sedang dibentuk.

 

 

Editor: Prihandini N

Ahmad Izzul Haq

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email